Bagaimana jika di hari pernikahan setelah sah menjadi suami istri, kamu ditinggal oleh suamimu ke luar negeri. Dan suamimu berjanji akan kembali hanya untukmu. Tapi ternyata, setelah pulang dari luar negeri, suamimu malah pulang membawa wanita lain.
Hancur sudah pasti, itulah yang dirasakan oleh Luna saat mendapati ternyata suaminya menikah lagi dengan wanita lain di luar negeri.
Apakah Luna akan bertahan dengan pernikahannya? Atau dia akan melepaskan pernikahan yang tidak sehat ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkapan Perasaan
Setelah makan malam yang hangat dan penuh tawa, Arya mengantar Luna pulang. Namun, dia tidak langsung mengantarnya ke apartemen. Arya mengambil jalan memutar, melajukan mobilnya menuju sebuah taman kota yang sepi dan indah. Di sana, di bawah kerlipan lampu taman dan rembulan yang bersinar, Arya bertekad untuk mengungkapkan perasaannya. Jantungnya berdebar kencang, lebih kencang dari saat ia menghadapi rapat pemegang saham terbesar.
Arya memarkirkan mobilnya di tepi taman. Dia menoleh ke arah Luna, yang tampak bingung.
"Kenapa kita ke sini, Pak Arya?" tanya Luna. "Ini bukan jalan pulang ke apartemen ku."
Arya tersenyum tipis. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu, Luna. Sesuatu yang tidak bisa aku tunda lagi. "
Luna menatap mata Arya, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. "A...Apa?" tanyanya lembut.
"Ayo, turun. "
Arya mengajak Luna turun dan berjalan-jalan disekitar taman. Andai bisa, dia ingin sekalu menggenggam tangan Luna, tapi saat ini masih belum waktunya.
"Apa yang ingin anda katakan padaku, pak. " tanya Luna.
"Ayo duduk dulu. Suasananya sangat nyaman untuk menghirup udara malam. " kata Arya.
Setelah duduk berdampingan, Arya menghela napas panjang dan mulai berkata.
"Aku mencintaimu, Luna."
Luna terdiam. Kata-kata itu begitu tulus, namun sulit untuk ia percayai. "Pak Arya, jangan bercanda. Kita ini... hanya sebatas atasan dan asisten. Hubungan kita profesional."
"Tidak, Luna," bantah Arya dengan suara tegas. "Perasaanku padamu lebih dari itu. Sejak aku tahu kebenaran tentangmu, aku tahu aku tidak bisa lagi hanya menjadi atasanmu. Aku ingin menjadi lebih. Aku ingin menjagamu, melindungimu, dan membuatmu bahagia."
Luna menggelengkan kepalanya. "Pak Arya, kamu mungkin hanya kasihan padaku. Atau mungkin kamu hanya merasa bertanggung jawab. Aku tidak bisa dengan mudah mempercayai perasaanmu."
"Luna, lihat aku," kata Arya, memegang lembut kedua tangan Luna. "Aku tidak kasihan padamu. Aku jatuh cinta padamu. Aku jatuh cinta pada kekuatanmu, pada senyummu, pada caramu menghadapi hidup. Aku sungguh-sungguh."
Luna menatap mata Arya, mencari kebohongan di sana, tetapi dia hanya menemukan ketulusan yang murni. Hatinya yang selama ini beku mulai mencair. Tapi dia takut. Takut untuk jatuh cinta lagi, takut untuk kembali terluka.
"Aku... aku butuh waktu, Pak Arya," lirih Luna. "Aku tidak bisa langsung menerima ini. Terlalu banyak hal yang sudah terjadi."
Arya mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu. Tapi, ada satu syarat."
Luna mengangkat alisnya, menunggu. "Apa?"
"Selama kamu memikirkannya, kamu tidak boleh mengabaikan perhatian yang aku berikan padamu," kata Arya, matanya bersinar penuh harap. "Aku akan membuktikan kepadamu bahwa perasaanku tulus. Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku berbeda dari dia. Aku akan meyakinkanmu."
Luna tersenyum. "Anda benar-benar keras kepala, ya?"
"Untukmu, aku akan jadi pria paling keras kepala di dunia," jawab Arya sambil tersenyum.
Luna mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Tapi jangan terlalu berlebihan."
Arya tersenyum lega. "Tidak akan." Dia lalu menggenggam tangan Luna lebih erat. "Terima kasih, Luna. Terima kasih sudah memberiku kesempatan."
Mereka berdua lalu menghabiskan beberapa menit dalam keheningan, menikmati pemandangan malam yang indah. Setelah itu, Arya mengantar Luna pulang. Di depan rumah Luna, Arya memberinya senyum hangat sebelum pergi. Luna masuk ke dalam apartemen, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Dia tidak tahu apakah dia harus bahagia atau takut.
Sementara itu, di rumah keluarga Rafi, suasana bukannya semakin membaik, melainkan semakin kacau. Rafi yang tertekan oleh gugatan perceraian Luna dan tuntutan ganti rugi yang besar, mulai bertindak nekat. Setiap hari, pertengkaran antara dia dan Saras juga ibunya, semakin sering terjadi.
"Bu! Kita harus cari cara! Luna minta ganti rugi!" kata Rafi panik. "Dan aku tidak punya uang sebanyak itu!"
Bu Endah menatap anaknya dengan tatapan lelah. "Lalu mau bagaimana lagi, Rafi? Sejak awal Ibu sudah bilang, jangan pernah sakiti Luna! Dia anak baik-baik. Sekarang kau rasakan akibatnya!"
"Bukan itu yang aku butuhkan, Bu!" teriak Rafi frustrasi. "Aku butuh solusi! Aku sudah memikirkan semuanya. Kita gadaikan saja rumah ini ke bank."
Mata Bu Endah membelalak. "Apa? Gadaikan rumah? Apa kau sudah gila, Rafi? Ini satu-satunya peninggalan Ayahmu! Ibu tidak akan pernah mengizinkannya!"
"Jika Ibu tidak mau, maka aku akan masuk penjara, Bu!" kata Rafi dengan nada putus asa. "Luna tidak akan main-main dengan gugatannya. Dia sudah menyiapkan pengacara yang terbaik."
Bu Endah menangis. "Bagaimana bisa kau berpikiran sejauh itu? Gadaikan rumah ini? Di mana kita akan tinggal setelah itu?"
"Aku tidak tahu! Aku hanya tahu aku tidak mau masuk penjara!" balas Rafi. "Ini semua salah Ibu juga! Kenapa dulu Ibu tidak menghentikan aku menikahi Saras?"
Bu Endah terkejut. "Rafi! Jangan salahkan Ibu! Kau yang tidak bisa mengendalikan nafsu dan hatimu!"
Rafi terdiam, tidak bisa membantah. Dia tahu, ucapan ibunya benar. Ini semua adalah kesalahan dirinya.
Pertengkaran itu berakhir tanpa solusi. Rafi merasa putus asa. Dia tahu, Luna tidak akan mencabut gugatannya. Dan dia juga tahu, dia tidak bisa memaksa ibunya untuk menggadaikan rumah. Di tengah kekacauan itu, Saras hanya bisa menonton dari kejauhan. Dia merasa tak berdaya. Dia merasa dirinya menjadi penyebab semua masalah ini.
Saras mendekati Rafi yang sedang duduk termenung. "Rafi... apa yang bisa kita lakukan?" tanyanya lembut.
Rafi menoleh, menatap Saras dengan tatapan dingin. "Apa yang bisa kau lakukan? Kau? Kau hanya menambah masalah!"
"Rafi, aku tidak bermaksud..."
"Apa yang bisa kau lakukan? Pergi dari rumah ini dan cari pekerjaan,jangan hanya menjadi benalu di rumah ini?" potong Rafi sinis. "Kau benar-benar tak berguna."
Saras merasa hatinya sakit. Dia sadar, pernikahannya dengan Rafi tidak pernah bahagia. Dia hanya menjadi pelarian Rafi dari masalahnya.
Di malam yang sama, Luna tidak bisa tidur. Dia memikirkan semua yang dikatakan Arya. Hati kecilnya ingin mempercayai Arya, namun logikanya menolak. Di takut untuk membuka hatinya kembali.
Luna mengambil ponselnya. Dia membuka pesan dari Arya. "Selamat malam, Luna. Tidurlah yang nyenyak. Semoga mimpi indah."
Luna tersenyum. Pria ini begitu gigih. Di kembali memikirkan ucapan Arya tentang "syarat" yang ia berikan. Arya memang serius. Dia tidak main-main.
"Baiklah, Pak Arya," bisik Luna pada dirinya sendiri. "Aku akan memberimu kesempatan."
Luna memejamkan mata, berharap esok hari akan menjadi awal yang baru. Di sisi lain, Rafi tertidur pulas dengan gelisah. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Di dalam tidurnya, dia kembali mengigau, memanggil nama Luna. Penyesalan itu begitu besar, sehingga dia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.