Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tragedi Kubangan Lumpur
Mentari siang menggantung tepat di atas langit Desa Sumberjati. Hujan deras mengguyur desa sejak tadi malam. Jalan desa yang sempit kini penuh genangan dan lumpur. Anak-anak kecil berlari sambil membawa layangan, suara ayam jantan berkokok dari pekarangan, dan angin mengibaskan ranting dan daun-daun pepohonan hingga menimbulkan bunyi derikan.
Di tengah desa yang sederhana itu, semua orang mengenal seorang gadis bernama Laras Maya. Usianya baru delapan belas tahun, baru saja lulus SMA beberapa minggu lalu. Laras bukan gadis yang menonjol dengan kecerdasan luar biasa atau kecantikan mencolok seperti bintang sinetron. Ia hanyalah gadis desa biasa dengan kulit sawo matang, rambut hitamnya selalu dikuncir seadanya, matanya bening polos, dan senyumnya tulus. Namun justru itulah yang membuatnya disenangi semua orang di desa.
Laras terkenal lugu dan rajin. Tapi tak seorang pun pernah jengkel, sebab kebaikan hatinya selalu mendahului segalanya. Ia tak pernah menolak jika diminta tolong, bahkan kepada orang asing sekalipun. “Anak itu hatinya emas,” begitu kata para tetua desa.
Hari itu, Laras berjalan di jalan setapak dengan bakul anyaman bambu berisi sayuran di tangannya. Bajunya sederhana dengan daster bermotif bunga kecil. Butiran keringat membasahi pelipisnya, namun wajahnya tetap cerah dengan senyuman.
Sementara itu, di sisi lain sebuah mobil hitam mewah berhenti mendadak. Ban mobil itu terjebak dalam lumpur. Dari dalamnya keluar seorang pria berperawakan tinggi, dengan kemeja putih tipis dan jam tangan mahal yang memantulkan sinar matahari. Ia berdiri memandang sekeliling dengan ekspresi muak.
Dialah Oliver Alexander, usia tiga puluh lima tahun. Pewaris tunggal perusahaan besar yang memiliki beberapa pabrik, termasuk pabrik di dekat desa ini. Namanya harum di kalangan pebisnis, tapi di dunia malam ia lebih dikenal sebagai seorang playboy yang tak pernah puas berganti pasangan. Dimana ada perempuan yang cantik dan sexy maka di situlah tempat paling menyenangkan baginya. Ia terbiasa dengan pesta gemerlap, hotel berbintang, wine yang mengalir tiap malam.
Dan sekarang, ia terjebak di tengah desa penuh lumpur dengan panas yang menusuk kepala.
“Brengsek...” Oliver mengumpat pelan sambil menendang ban mobilnya. “Kenapa juga aku harus turun ke tempat kampungan begini? Jalanan begini dibilang layak? Tempatnya udik...”
Ia menyeka keringatnya dengan tisu, tampak benar-benar tidak sabar. Sopirnya sedang berjalan ke arah bengkel desa untuk mencari bantuan, meninggalkan Oliver sendirian di pinggir jalan.
Laras yang lewat dari arah berlawanan segera melihat mobil besar yang macet itu. Ia menatap pria asing berwajah tampan namun berwajah masam. Melihat orang itu sepertinya butuh bantuan ia mendekat tanpa berpikir panjang.
“Mas... eh, maksudnya Om, mobilnya nyangkut di lumpur ya?” tanya Laras dengan suara lembut.
Oliver menoleh, alisnya langsung terangkat. Ia menatap gadis sederhana dengan daster bunga, rambut dikuncir dua dan wajah berminyak karna cuaca panas. Reaksi pertama yang muncul di benaknya bukanlah ketertarikan, melainkan geli.
Astaga... beneran ada gadis model beginian? Bau tanah, baju kampungan. Jauh banget dari selera gue.
“Emang kamu ngerti soal mobil?” ejek Oliver sinis. “Ini bukan gerobak sayur, tahu?”
Laras tersipu, tapi tidak tersinggung. Senyumnya tetap mengembang. “Hehe... iya Om. Tapi kalau didorong bareng-bareng mungkin bisa keluar dari lumpur.”
Oliver mendengus. Apa tadi katanya? ‘Om?’
“Hei, jangan panggil aku Om. Aku belum setua itu.”
Laras bingung. “Lho? Umur Om berapa?”
Anehnya walau kesal Oliver tetap menanggapi, “Tiga puluh lima.”
“Ya itu kan udah Om...” jawab Laras polos tanpa maksud mengejek.
Oliver terdiam sejenak, lalu mendesis kesal. Gadis kampung ini berani sekali membuatnya merasa tua.
“Sudahlah, minggir sana…! Kamu nggak akan bisa bantu,” katanya ketus.
Namun Laras tetap bersikeras. Ia menaruh bakul sayurnya di pinggir jalan, lalu berdiri di belakang mobil. “Nggak apa-apa, Om. Coba aja, siapa tahu berhasil.”
Oliver menatap dengan tatapan meremehkan, tapi pada akhirnya ia ikut mendorong karena bosan menunggu sopir.
“Ya udah, ayo dorong cepat!”
Mereka berdua mendorong. Baru beberapa detik, kaki Oliver terpeleset lumpur licin. Tubuhnya oleng ke belakang. Refleks, Laras meraih lengannya untuk menahan. Sayangnya tubuh Oliver jauh lebih berat, hingga keduanya kehilangan keseimbangan.
Bruukk!
Keduanya jatuh bersamaan ke tanah berlumpur. Oliver terjerembab, wajah dan bajunya berlumuran tanah cokelat. Laras yang jatuh di sampingnya langsung panik.
“Ya Allah! Astaghfirullah... Om, maaf! Aku nggak sengaja! Ya ampun... Aduh, bajunya kotor semua...”
Oliver bangkit dengan wajah geram. Lumpur menempel di kemeja putihnya yang mahal.
“Astaga! Limited edition! Baju ini dari Selena. Dan kamu... dasar gadis kampung, lihat apa yang kamu lakukan!”
Laras buru-buru mencoba membersihkan bajunya dengan tangan yang sama kotornya. Alih-alih bersih, noda lumpur malah melebar ke mana-mana.
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotor itu!” bentak Oliver.
Warga desa yang kebetulan lewat menghampiri, sebagian menahan tawa melihat pemandangan itu. Seorang pria tampan dengan pakaian mewah, kini belepotan lumpur bersama Laras, gadis dari desa mereka.
“Laras, Gusti Allah... kamu lagi-lagi bikin heboh!” ujar seorang ibu sambil menepuk dahinya.
“Hahaha... Masnya jadi kayak petani habis panen,” canda seorang bapak.
Oliver semakin jengkel. Ia ingin kabur, tapi kemejanya basah dan lengket. Seorang warga desa menepuk bahunya dengan ramah.
“Sudah, Mas. Ayo ikut ke rumah Laras aja. Dekat sini kok, Mas bisa numpang bersih-bersih dulu di sana.”
Oliver ingin menolak, tapi tatapan warga membuatnya sulit. Dengan wajah masam, ia akhirnya terpaksa mengangguk.
Rumah Laras berada di tepi jalan desa, sederhana dengan dinding setengah kayu setengah bata. Halaman dipenuhi pot bunga, suara ayam terdengar dari kandang belakang. Begitu masuk, aroma kayu bakar dan singkong rebus menyeruak ke indra penciuman.
“Silakan Om... cuci muka dulu pakai air kendi ini,” kata Laras sambil menaruh kendi tanah liat berisi air segar.
Oliver menatap kendi itu dengan jijik. “Air di tanah liat? Kamu bercanda? Mana gelasnya?”
Laras mengangguk kikuk, lalu mengambil cangkir enamel yang catnya sudah mengelupas sedikit. “Pakai ini, Om.”
Oliver hampir muntah melihatnya. Biasanya ia minum dari gelas kristal atau botol impor. Namun sekarang, Aishh… demi menghilangkan lumpur dari wajahnya, ia tak punya pilihan. Dengan terpaksa ia menyiramkan air kendi ke wajahnya.
Laras tersenyum lega. “Nah, gitu lebih seger kan Om?”
Oliver menoleh tajam. “Berhenti panggil aku Om! Aku bukan Om-mu. Namaku Oliver Alexander.”
“Baik, Om Oliver,” jawab Laras dengan tatapan polos.
Oliver menghela napas panjang. Entah mengapa, gadis kampung ini selalu bisa membuat kesabarannya hilang... tapi juga sulit untuk diabaikan karna tatapannya yang seperti bayi tak berdosa, polos.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀