Ratna yang tidak bisa hamil menjebak suaminya sendiri untuk tidur dengan seorang wanita yang tak lain adalah adik tirinya.
ia ingin balas dendam dengan adik tirinya yang telah merenggut kebahagiaannya.
akankah Ratna berhasil? atau malah dia yang semakin terpuruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadelisa dedeh setyowati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Istri Yang Diabaikan 1
Detak jarum jam yang terus memutar ke arah kanan seirama dengan detak jantung seorang Wanita muda yang Tengah duduk di kloset toiletnya, tangannya menggenggam benda yang menjadi tumpuan harapannya, bibirnya tak henti-hentinya menggumamkan sesuatu.
“Ayolah, kumohon … ayo.” ucapnya dengan tangan terkepal.
Setiap detik terasa menyiksa, menunggu memang hal yang menyebalkan.
“Tuhan, tolong … tolong beri kesempatan.” gumamnya.
Satu menit berlalu, yang di tunggu belum muncul. Ada perasaan tidak sabar yang membuncah dalam hati Wanita muda itu.
Tiga menit berlalu. Si Wanita muda mulai gelisah, “Sedikit lagi.”
Waktu terus berputar ke arah menit berikutnya.
Lima menit! Mata Perempuan itu terpejam, tangannya mengepal erat, bibirnya terus menggumam.
“Aku berjanji akan menjaganya Tuhan, aku berjanji.”
Perlahan ia membuka matanya dan menatap benda yang sedari tadi ia genggam erat. Ia berharap melihat apa yang ingin ia lihat tapi nyatanya apa yang ia tunggu sedari tadi tak menunjukkan hasil yang didambakannya.
Garis satu. Negatif!
Mendapati kenyataan bahwa hanya ada satu garis di test pack yang ia genggam seketika tubuhnya terkulai lemas. Tapi dia tidak menyerah, ia mencoba lagi dengan test pack yang kedua.
“Pasti test pack ini salah, ya pasti rusak. Mungkin sudah kadaluwarsa. Sudah tiga minggu aku tidak datang bulan, pasti aku hamil. Aku akan mencobanya lagi!” ucapnya tak menyerah.
Kembali ia menunggu lima menit berikutnya diikuti dengan perasaan gelisah seperti sebelumnya.
Namun, hasilnya tetap sama. Garis satu. Negatif.
“Tidak mungkin! Ini tidak mungkin, aku telat tiga minggu. Pasti semua test pack itu salah, pasti salah!”
Air matanya mulai berlinang, ia melempar semua test pack yang tadi digunakannya. Dari sudut matanya ia masih bisa melihat garis satu yang muncul di test pack tersebut. Garis yang menghantam jantungnya membuatnya sesak dan tak berdaya.
“Arrrggghhh … kenapa Tuhan, kenapa?” ia mulai melempar apapun yang ada di dekatnya, menimbulkan suara riuh yang terdengar sampai keluar.
“Dek, kamu kenapa?” sebuah suara bariton terdengar dari luar toilet.
Namun tak ada jawaban, hanya isak tangis dan jeritan yang keras yang terdengar.
“Dek, buka pintunya, ayo kita bicara. Kamu kenapa sayang?”
Lagi-lagi tak ada jawaban dari dalam, membuat si pria semakin khawatir.
“Sayang buka pintunya atau mas dobrak?” ancam si pria meskipun nada cemas juga terdengar samar
Setelah menunggu beberapa saat, yang di dalam toilet memutar kenop pintu dan membukanya. Memperlihatkan seorang Wanita yang cantik namun bersimbah air mata, bisa terlihat gurat kekecewaan dan putus asa dari sorot wajahnya. Masih terdengar pula isak tangis si Wanita.
Si pria langsung memeluk hangat Wanita yang ada di hadapannya, mengusap lembut punggungnya dan menepuknya perlahan – mencoba menenangkan.
Si Wanita yang ada di pelukan semakin menenggelamkan kepalanya, mencari ketenangan disana. Berharap perasaan kecewanya bisa luruh dalam kehangatan pelukan suaminya itu. Cukup lama Ratna hanyut dalam pelukan suaminya, sampai pada akhirnya Ratna mengendurkan pelukan.
“Mas ….” dengan mata berkaca-kaca Ratna menatap suaminya yang masih memperlihatkan raut cemas, lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa-rasanya ia tak sanggup mengatakan yang sebenarnya.
“Iya sayang .…” ucap Bagas dengan penuh kelembutan sembari mengamit tangan Ratna dan menggenggamnya kuat seolah meyakinkan Ratna bahwa apapun yang akan ia katakan semuanya akan baik-baik saja.
“Semuanya negatif,” ucap Ratna lirih, ada rasa perih dalam hatinya tatkala dua kata itu meluncur dari bibirnya. Seakan tak kuasa menahan rasa sesak, air mata Ratna kembali menetes deras.
Bayangan tentang raut wajah Bahagia Bagas berputar di kepalanya manakala ia berkata bahwa dia telat datang bulan. Tentang bagaimana Bagas langsung mengangguk setuju saat Ratna memintanya untuk membelikan test pack.
Ratna merasa bersalah pada suaminya. Ia merasa gagal. Ia bukan istri yang baik.
Bagas yang seolah bisa membaca pikiran istrinya kembali merengkuhnya “Tak apa, tidak apa-apa.” ujar Bagas mencoba meredakan kegelisahan istrinya. Bagas tak ingin Ratna kian terpuruk. Hatinya ikut remuk melihat air mata Ratna yang berlinang.
“Aku telat tiga minggu mas, harusnya aku hamil kan, jangan-jangan test pack itu yang salah! Kita harus ke dokter Mas, kita harus periksa. Aku yakin aku hamil Mas,” Ratna bersikeras ia yakin ia hamil, ia tak percaya hasil test pack tersebut. Mungkin lebih tepatnya ia tak mampu menerima kenyataan bahwa memang tak ada kehidupan di dalam perutnya.
“Ssstt, sayang, dengarkan Mas. Tidak apa-apa, sungguh tidak apa-apa. Mungkin kamu Lelah, akhir-akhir ini kamu banyak aktivitas di luar kan, bisa jadi datang bulannya telat karena kamu kecapekan.” tutur Bagas mencoba menenangkan Ratna. Dalam dekapannya Bagas bisa merasakan tubuh Ratna bergetar. Ia menepuk pelan bahu istrinya takut menghancurkan miliknya yang terihat begitu rapuh.
“Kenapa Tuhan tidak adil mas. Lima tahun kita menikah. Kenapa Tuhan tidak memberi kita anak?” ujar Ratna dengan isak tangisnya. Membuat batin Bagas ikut trenyuh mendengarnya.
“Ratna sayang ….” ucap Bagas sambil mengelus surai istrinya, “Bagi mas, kamu sudah cukup. Mas sudah Bahagia dengan adanya kamu sebagai istri mas. Tidak ada hal lain yang mas harapkan,” hibur Bagas mencoba meyakinkan Ratna bahwa kehadirannya sangat berarti bagi Bagas.
Ratna masih dengan sisa isaknya berkata, “Mas Bagas ga suka kalau kita punya anak?”
Bagas melepas dekapannya, supaya ia bisa menatap wajah istri tercintanya, “Bukan begitu, tapi buat mas kamu yang terpenting. Mas ga mau kamu terbebani. Bukankah selama ini kita Bahagia? Kamu Bahagia gak hidup sama mas?” ucap Bagas sambil menghapus jejak airmata yang membekas di pipi Ratna.
Ratna mengangguk cepat,”Iya Mas. Aku Bahagia hidup sama Mas Bagas.” Ujar Ratna masih dengan sisa isaknya.
“Kalau begitu bisakah kamu berhenti khawatir dan gelisah? Kita punya banyak waktu untuk berusaha sayang, tapi .…. Mas ga mau kalau kamu sampai begini, kita Jalani sama-sama yaa.” ucap Bagas
“Iya Mas, maafin aku ya Mas.” ucap Ratna
“Heii Ratna sayang ….” ujar Bagas sambil menangkup pipi Ratna, rasanya halus. Bagas tak rela jika pipi selembut itu harus berurai air mata, “Kamu ga salah. Kita sudah berusaha semampu kita. Tolong kamu jangan memaksakan diri, Mas ga suka lihat kamu sedih seperti ini.”
“Iya Mas, aku akan berupaya ikhlas sama takdir Tuhan.” kata Ratna sembari mencoba menguatkan batinnya, ia tak ingin Bagas terus khawatir melihatnya seperti ini.
“Sekarang, senyum dong. Mas pengen lihat senyum manis istri Mas yang paling cantik,” ucap Bagas sambil menyentuh dagu Ratna, mencoba menggodanya untuk mengalihkan kesedihan istri tercintanya itu.
Ratna yang mendengarnya hanya malu-malu sembari menundukkan kepala.
Bagas kembali membelai surai kecokelatan Ratna, “Kalau perasaanmu sudah lebih baik, kita sarapan yuk. Mas sudah masak nasi goreng. Dan bukannya kamu ada rencana pergi hari ini?”
“Oh iya! Hampir lupa aku Mas, makasih sudah diingatkan.” Ratna tersenyum manis
“Sekarang hapus airmata dan cuci muka ya, Mas ga suka lihat kamu nangis.” ujar Bagas sambil mengusap sisa airmata istrinya.
“Iya Mas, makasih banyak ya Mas, Mas Bagas udah menghibur dan menguatkan aku.” kali ini Ratna yang menggenggam tangan suaminya. Ia sangat bersyukur dengan kehadiran Bagas di hidupnya. berkat Bagas ia kembali mendapatkan kekuatan untuk terus bertahan.
“Sama-sama dek, Mas tunggu di meja makan ya,”
Ratna mengangguk patuh. Segera ia masuk kembali ke kamar mandinya untuk mencuci wajahnya. Berharap air yang sejuk bisa ikut meluruhkan rasa kecewa dihatinya.
Di hadapan cermin ia bermonolog, “Aku harus kuat, aku pasti bisa hamil, aku pasti punya anak dan aku akan punya keluarga kecil yang Bahagia. Mungkin belum saatnya.” Ratna memeluk tubuhnya sendiri menepuk pelan seolah memberi kekuatan.
Ratna keluar dengan wajah yang lebih segar dan bersinar. Ia memang Wanita yang cantik dan Anggun, tak heran Bagas begitu mencintainya terlepas dari kenyataan mereka belum dikaruniai buah hati.
Ratna segera menyusul Bagas ke meja makan, takut jika suaminya terlalu lama menunggu.
Tak lama terdengar denting sendok yang beradu dengan piring, Ratna dengan lahap menyantap masakan Bagas yang sudah teruji kelezatannya. Bibirnya tak henti memuji kepiawaian Bagas dalam memasak. Raut wajahnya terlihat Bahagia tiap kali ia menyuap makanannya. Rasanya ia lupa beberapa waktu lalu ia baru saja meneteskan airmata meratapi nasibnya
“Bagaimana rasanya? Kamu suka dek?”
“Enak banget Mas.” Ucap Ratna dengan mulut penuh.
Bagas yang melihat Ratna sibuk menekuni makanannya hanya tersenyum, ia senang bisa memasakkan sesuatu untuk istri tercintanya dan ia juga senang Ratna terlihat lebih baik setelah memakan masakannya. Ia tak keberatan jika setiap hari harus memasak untuk Ratna, apapun akan dia lakukan untuk separuh jiwanya itu.
Tak lama Ratna selesai dengan sarapannya, ia mendesah puas dan tersenyum manja ke arah Bagas.
“Terimakasih Mas, masakan Mas memang luarbiasa,” tukas Ratna sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.
“Apa perasaanmu sudah lebih baik?” Bagas mengulurkan tangannya, meraih tangan Ratna dan menggenggamnya hangat.
Ratna mengangguk cepat. Ia menikmati setiap suapan demi suapan sampai tak ada yang tersisa di piringnya.
“Kalau begitu, segeralah Bersiap. Kau bilang akan pergi bukan?” ujar Bagas mengingatkan istrinya.
“Ahh yaa, Mas benar. Aku hampir lupa, bolehkah aku pinjam mobil Mas,” tanya Ratna dengan nada yang dibuat sedikit manja.
“Tentu saja, bawalah. Kuncinya ada di meja riasmu,” Bagas senang Ratna kembali ceria. Sungguh ia tak rela Ratna didera kesedihan seperti tadi.
Cup!
Ratna mengecup lembut pipi Bagas.
“Terimakasih suami ku.” Ratna tersenyum sangat manis membuat Bagas juga ikut tersenyum karenanya.
“Kau bisa berdandan, aku akan mencuci piring,”
Ratna tidak membantah dan menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Di depan cermin riasnya kembali ia bergumam dalam hati.
‘Andai ada kehadiran bayi disini, pasti kebahagiaanku akan sempurna,’ gumam Ratna dalam hati sembari mengusap perutnya.
Air matanya hampir-hampir menetes lagi jika ia tidak ingat Bagas pasti mengkhawatirkannya. Ia harus kuat, ia tidak boleh menyerah.
“Aku harus mencari cara agar bisa memiliki anak dari Mas Bagas, bagaimana pun caranya,” ujar Ratna.
Ratna menatap wajahnya yang cantik. Dengan kecantikannya dan ketampanan Bagas pasti anak mereka akan memiliki wajah yang rupawan pula.
Ratna kembali membelai perutnya, “Kami menantikanmu sayang,” tuturnya lembut.
Seolah berharap ada kehidupan disana.