NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 1

Hujan gerimis membasahi kota dengan irama monoton yang menciptakan simfoni kelam malam itu. Angin menusuk-nusuk kulit Dewi yang hanya terbungkus jaket tipis, membuat tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin, tapi juga karena kelelahan. Bau tanah basah bercampur dengan aroma alkohol yang masih melekat di tubuhnya, menjadi saksi bisu bahwa ia baru saja keluar dari dunia gelap tempatnya bekerja.

Langkah-langkahnya berat saat menyusuri gang sempit menuju rumah kost. Gang itu biasanya sepi, tak lebih dari lorong basah dan sunyi yang hanya ditemani suara jangkrik dan tetesan air dari talang bocor. Namun malam ini, sunyi digantikan oleh raungan pelan mesin mobil mewah yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

Cahaya lampu mobil menembus gelap, menyoroti jalanan sempit dan memperlihatkan pemandangan mengerikan: sekelompok pria berjas hitam mengepung seseorang yang terkapar di tanah. Tubuh korban penuh darah, wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Satu pria berdiri dengan pistol berkilau di tangan, siap mengeksekusi.

Dewi membeku. Napasnya tercekat. Tenggorokannya kering. "Apa... yang..." bisiknya, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Suara tembakan memecah malam. Letusan itu membuat lututnya lemas. Dia berbalik, mencoba bersembunyi di balik bayangan tembok yang lembab. Tapi nasib buruk datang begitu cepat. Kakinya menyenggol tong sampah logam.

BRAK!

Bunyi nyaring itu seperti petir di tengah keheningan. Semua kepala menoleh ke arahnya. Tatapan-tatapan tajam itu menghujam seperti pisau.

"Ada orang!" seru salah satu dari mereka.

Seorang pria bertubuh tegap, dengan jas hitam dan wajah dingin, memberi isyarat dengan tangannya. "Kejar dia. Jangan biarkan dia lolos."

Panik melanda. Dewi lari sekuat tenaga, hujan menghantam wajahnya, air mata bercampur dengan tetesan hujan. Nafasnya memburu, jantungnya berdentum keras di dada. Di belakangnya, suara langkah-langkah kaki memburu cepat.

"Cepat! Kejar dia! Jangan beri ampun!"

Lorong gang terasa semakin sempit. Kakinya tergelincir. Lututnya berdarah. Tapi ia bangkit lagi.

"Jangan mati malam ini… tolong Tuhan… jangan biarkan aku mati malam ini…" gumamnya penuh putus asa.

Suara langkah semakin dekat.

"Tangkap dia hidup-hidup! Tuan Rafael ingin dia bicara!"

Nama itu. Rafael.

Dewi tak tahu siapa Rafael, tapi dari cara mereka menyebutnya, pria itu bukan orang biasa. Bukan hanya pembunuh, tapi pemimpin. Otak di balik kekejaman malam ini.

Ia berbelok ke gang kecil lainnya, menabrak tumpukan kardus, membuat bunyi gaduh. Nafasnya semakin berat. Jantungnya seperti ingin meloncat dari dadanya. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok pria bertopeng mendekat dengan cepat.

Tiba-tiba tangan kuat menariknya dari samping. Mulutnya ditutup. Ia meronta, namun kekuatan pria itu jauh lebih besar.

"Diam," bisik suara dalam, berat, dan dingin di telinganya. "Kau membuat kekacauan yang tidak seharusnya."

Dewi berusaha menjerit, tapi suara itu membuat darahnya membeku.

"Kau seharusnya tidak ada di sana. Sekarang kau milikku."

Gelap menyelimuti. Kesadaran Dewi memudar saat kepalanya dipukul dari belakang. Dunia berubah menjadi kegelapan total.

Cahaya remang menerobos dari sela-sela tirai tebal ketika Dewi membuka matanya perlahan. Kepalanya berdenyut hebat, dan tubuhnya terasa seperti baru saja dilempar dari ketinggian. Ia mencoba duduk, tapi tangan dan kakinya diikat ke kursi kayu yang kokoh.

Ruangan itu asing. Dinding-dindingnya berwarna gelap dengan lukisan-lukisan klasik. Aroma kulit dan tembakau memenuhi udara. Lampu gantung bergoyang pelan di atas kepala, menciptakan bayangan yang menari di sekeliling ruangan.

"Kau sudah sadar."

Suara itu membuat bulu kuduk Dewi berdiri. Ia mendongak. Seorang pria berdiri beberapa meter darinya. Tegap. Berpakaian rapi. Mata tajamnya mengamati seperti elang.

"Siapa kau?" bisik Dewi dengan suara parau.

Pria itu tak menjawab. Ia melangkah mendekat, mengambil kursi, dan duduk di hadapannya. Kedekatan mereka membuat Dewi bisa melihat wajahnya lebih jelas, tampan, tapi dingin. Ada luka tipis di pelipisnya, dan tatapan matanya begitu gelap.

"Namaku Rafael," katanya akhirnya. "Dan kau telah melihat sesuatu yang tidak boleh kau lihat."

Dewi mencoba menghindari tatapannya.

"Aku... aku nggak akan bilang ke siapa-siapa. Sumpah... Aku cuma lewat! Aku bahkan nggak ngerti apa yang kulihat!"

Rafael tertawa kecil. Bukan tawa lucu. Tapi tawa merendahkan.

"Semua orang bilang begitu sebelum mereka membuka mulut. Tapi aku tak suka berjudi."

Ia berdiri dan berjalan ke arah rak, menuang segelas anggur.

"Kau beruntung aku tak membunuhmu saat itu juga," lanjutnya.

 "Tapi sekarang, kau ada di sini. Dan kau milikku."

"Aku bukan barang!" teriak Dewi, marah dan takut bercampur menjadi satu.

"Tidak," sahut Rafael sambil berbalik.

"Tapi kau akan tetap di sini. Sampai aku memutuskan nasibmu."

Dewi mulai menangis. Tangis tanpa suara. Air mata mengalir di pipinya saat ia menyadari bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.

Rafael berdiri memandangi Dewi sejenak, seperti sedang menimbang sesuatu. Ia melangkah pelan ke belakang, membiarkan keheningan membunuh itu menguasai ruangan. Detik berlalu, namun bagi Dewi, waktu seakan berhenti. Suara detak jam dinding terdengar seperti ledakan di telinganya. Setiap detik menambah tekanan di dada yang terasa sesak.

"Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanyanya akhirnya, suara gemetar seperti bisikan angin.

Rafael menatapnya lama. "Untuk sekarang? Tidak ada. Tapi kau harus belajar satu hal: aku tidak suka dibohongi. Sekali kau mencoba melarikan diri atau membuka mulut... aku tidak segan-segan mengakhiri mu."

Kata-katanya bagai pisau yang menembus kulit, menorehkan rasa takut yang baru. Dewi menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya yang kembali naik ke permukaan. Luka di lututnya masih terasa perih, tapi lebih perih lagi adalah kenyataan bahwa ia sekarang adalah tawanan dari pria berbahaya yang memimpin malam dengan darah.

Rafael melangkah ke pintu, lalu berhenti. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini. Akan ada seseorang yang merawat mu, memberimu makan. Tapi kau tidak akan keluar. Tidak akan menyentuh apapun tanpa izin. Jika kau melanggar..."

Ia tak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya menoleh sedikit dan memberi senyum tipis—senyum yang tak membawa hangat, tapi dingin seperti salju yang membekukan jiwa.

Kemudian pintu tertutup. Bunyi klik kunci terdengar jelas. Dewi sendiri. Di ruangan asing, penuh bayangan dan rasa takut. Ia menangis lagi. Kali ini keras. Tanpa malu. Ia memanggil Tuhan, memanggil siapa pun yang mungkin bisa mendengar. Tapi dinding itu terlalu tebal. Dunia luar terlalu jauh.

Dan ia tahu, malam itu adalah awal dari mimpi buruk yang nyata. Sebuah malam yang tak hanya mengubah takdirnya, tapi juga menjadikannya bagian dari permainan kejam seorang pria bernama Rafael.

Beberapa jam berlalu. Mungkin lebih. Dewi kehilangan jejak waktu. Tubuhnya lelah, pikirannya lelah, tapi rasa takut terus membuatnya terjaga.

Kemudian suara langkah terdengar mendekat. Lembut, ringan. Bukan seperti sepatu bot kasar para penjaga tadi. Pintu berderit terbuka, dan cahaya lampu dari lorong menyelinap masuk, memperlihatkan siluet seorang wanita.

"Aku tidak akan menyakitimu," kata suara lembut itu.

Wanita itu melangkah masuk perlahan, membawa nampan berisi semangkuk sup hangat dan sebotol air. Wajahnya tampak tenang, sekitar usia akhir dua puluhan, mengenakan pakaian sederhana: blus putih dan celana hitam. Matanya menyorotkan empati, berbeda jauh dari tatapan dingin Rafael.

"Namaku Clara," katanya sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat kursi Dewi.

"Aku yang akan menangani mu di sini."

Dewi menatapnya penuh curiga, masih bergetar. Tapi suara Clara begitu berbeda. Tidak mengancam. Tidak menghina. Justru seperti pelukan yang nyaris tak pernah ia dapatkan.

"Kenapa aku di sini...?" tanya Dewi lirih.

Clara menarik napas panjang, lalu duduk di kursi seberang.

"Karena kau melihat sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat. Rafael tidak suka saksi. Tapi dia juga bukan pria yang selalu membunuh tanpa alasan."

Dewi memalingkan wajahnya. "Dia psikopat."

Clara terdiam sejenak. Kemudian berkata pelan, "Mungkin. Atau mungkin dia cuma pria yang terlalu lama hidup dalam kekuasaan dan dendam."

Kalimat itu menggantung di udara. Ada luka dalam suara Clara. seolah ia juga pernah merasakan kekejaman Rafael, atau mungkin menyaksikannya terlalu sering.

"Aku nggak mau di sini," ucap Dewi, nyaris menangis lagi. "Aku cuma ingin pulang. Aku nggak akan bicara ke siapa-siapa, sungguh..."

Clara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu mendekat, membuka tali pengikat di tangan dan kaki Dewi dengan cepat tapi hati-hati.

"Aku percaya kamu. Tapi bukan aku yang memutuskan."

Dewi mengusap pergelangan tangannya yang merah. Ia menatap Clara, suara bergetar. "Kenapa kamu bantu aku?"

Clara terdiam sesaat. Lalu menjawab, "Karena dulu... aku juga pernah duduk di kursi itu."

Darah Dewi berdesir. Ia memandang wanita itu dengan mata membelalak. Tapi sebelum bisa bertanya lebih jauh, Clara sudah berdiri.

"Makanlah. Luka di kakimu akan ku bersihkan nanti. Tapi untuk sekarang, jangan buat masalah, ya? Mereka mengawasi mu."

Kemudian Clara melangkah pergi, meninggalkan Dewi dalam campuran rasa takut dan penasaran. Siapa Clara sebenarnya? Apa maksudnya dengan pernah berada di kursi ini? Apa hubungannya dengan Rafael?

Dan yang paling menyesakkan: berapa lama lagi ia harus bertahan di tempat neraka ini?

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!