Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~Bayangan Di Balik Tirai~
Malam itu, mereka berjalan tanpa henti meninggalkan kota hilang, hanya diterangi sinar bulan dan obor kecil yang dibawa Mira. Hutan lebat terbentang di depan, akar-akar besar menjulur dari tanah, seolah ingin menjegal setiap langkah mereka. Edrick berjalan paling depan, menggenggam Ashenlight erat-erat, sementara Darius terus memindai sekeliling dengan waspada.
Selene menyusul di samping Mira. “Kau yakin medali itu bisa dipercaya?”
Mira menatap medali bintang yang menggantung di leher Edrick. “Tidak seratus persen. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Wanita itu terlihat tahu apa yang dia bicarakan.”
Darius menyela. “Dan bagaimana kalau dia sengaja menyesatkan kita?”
Edrick menoleh sebentar. “Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya sekarang. Tapi satu-satunya cara untuk memastikannya adalah dengan bergerak.”
Mereka terus berjalan hingga suara-suara asing terdengar dari kejauhan—derap kaki kuda, banyak, bergerak cepat. Mereka saling bertukar pandang, lalu bergerak keluar jalur, bersembunyi di balik pohon-pohon tebal.
Dari kegelapan, barisan prajurit dengan baju zirah berlogo singa emas muncul. Bukan Penjaga Bayangan—ini adalah pasukan Averland Selatan, yang selama perang saudara dikenal kejam.
Salah satu prajurit berkata kepada komandannya, “Tuan, jejak yang kita ikuti mengarah ke arah ini. Kami yakin mereka membawa sesuatu yang penting.”
Komandan itu menoleh ke prajurit di sampingnya. “Tetap diam. Jika mereka mendengar kita, kita kehilangan keuntungan.”
Edrick menahan napas. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang. Darius, yang berjongkok di sebelahnya, memberi isyarat agar mereka tetap tenang.
Saat pasukan itu bergerak lebih jauh, Selene berbisik, “Mereka tahu tentang kita. Mereka mengejar.”
Mira meremas tali tasnya. “Kalau begitu kita harus memutar. Mereka tak boleh tahu arah tujuan kita.”
Mereka memutuskan menunggu beberapa menit sebelum bergerak lagi, memastikan jarak yang cukup. Namun, ketika mereka baru saja keluar dari tempat persembunyian, suara cabang patah terdengar. Darius berbalik cepat, pedang diangkat. Dari kegelapan, sosok bertudung muncul, kali ini sendirian.
Sosok itu mengangkat kedua tangannya. “Tenang. Aku bukan musuh.”
Selene menodongkan busur. “Kita sudah sering mendengar kata-kata itu.”
Orang itu melepas tudungnya, memperlihatkan wajah seorang pria muda dengan bekas luka di pipi. “Namaku Kael. Aku dulu prajurit kerajaan… sampai aku tahu siapa yang sebenarnya memulai perang ini.”
Edrick mempersempit matanya. “Bicara.”
Kael mendekat perlahan, berhenti pada jarak aman. “Perang saudara ini bukan tentang perebutan tahta semata. Ada seseorang—sebuah faksi—yang menginginkan Ashenlight. Mereka memprovokasi para bangsawan agar saling bunuh.”
Mira melangkah maju. “Siapa?”
Kael menunduk. “Mereka menyebut diri mereka The Veiled Circle. Mereka menyusup ke setiap pihak, bahkan ke keluarga kerajaan. Mereka mengatur segalanya.”
Darius menatap Kael tajam. “Dan kenapa kau membantu kami?”
Kael menghela napas. “Aku lelah membunuh demi kebohongan. Aku melihat desa-desa terbakar, anak-anak dibunuh… semua karena permainan mereka. Aku tahu kalian membawa pedang itu. Kalian butuh bantuan untuk tetap hidup.”
Edrick masih ragu, tapi Selene menurunkan busurnya sedikit. “Kalau dia berniat buruk, dia sudah bisa memberi tahu pasukan itu.”
Kael melanjutkan, “Ada jalan rahasia melewati hutan ini. Jika kita ambil jalan biasa, kalian akan dikepung sebelum fajar.”
Mira melirik Edrick. “Keputusanmu.”
Edrick menimbang sebentar. “Baik. Tapi kalau kau bohong…” Ia mengangkat Ashenlight sedikit.
Kael mengangguk. “Aku paham.”
Mereka mengikutinya melalui jalur kecil yang nyaris tak terlihat. Jalan itu berkelok, melewati jembatan kayu rapuh di atas jurang. Di tengah perjalanan, Darius berjalan sejajar dengan Kael.
“Kalau yang kau katakan benar, The Veiled Circle bisa berada di mana saja,” kata Darius pelan.
Kael mengangguk. “Mereka ada di istana, di medan perang, bahkan di desa-desa. Mereka tidak peduli siapa yang menang. Mereka hanya peduli siapa yang memegang pedang itu.”
Menjelang dini hari, mereka tiba di tepi hutan. Di kejauhan, mereka bisa melihat siluet sebuah menara kecil—markas pengintai tua.
Selene menunjuknya. “Kita bisa beristirahat di sana.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara peluit tajam terdengar. Dari balik pepohonan, tiga prajurit Averland Selatan muncul. Mereka pasti mengikuti jejak mereka.
Darius langsung menarik pedangnya, dan Selene melepaskan panah pertama, mengenai bahu salah satu prajurit. Kael bergerak cepat, menebas lawan lain. Edrick, dengan Ashenlight, maju ke depan. Cahaya pedang itu membuat musuh mundur sesaat.
Pertarungan singkat itu brutal. Darius memukul mundur seorang prajurit dengan hantaman keras, sementara Mira melemparkan batu ke arah kepala musuh terakhir. Dalam hitungan menit, semuanya berakhir.
Edrick membersihkan pedangnya, wajahnya serius. “Ini baru permulaan. Mereka tidak akan berhenti mengejar kita.”
Kael menghela napas berat. “Kalau begitu, kita juga tidak boleh berhenti bergerak.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju menara pengintai. Ketika matahari pagi mulai muncul, cahaya pertama hari itu menerangi wajah mereka yang lelah tapi masih penuh tekad.