Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Foto
Aku melangkah ke kelas dengan langkah setengah malas, setengah bersemangat, masih membiarkan sisa hangat kencan semalam menempel di kulit dan pikiranku. Matahari pagi menembus jendela kelas, menebar garis-garis cahaya ke lantai dan meja, seakan ikut menyoroti kegugupanku. Nina sudah menunggu, duduk santai di dekat jendela, matanya berbinar, senyumnya seperti tahu segalanya bahkan sebelum aku sempat duduk.
Pagi ini aku terlambat bangun. Sementara Nina yang bangun lebih awal dariku, menyelinap keluar kamar untuk berangkat bersama kekasihnya, James, yang sudah menunggunya di depan asrama. Begitulah yang kutahu dari pesan yag kuterima darinya pagi ini.
"Hmm… sepertinya seseorang baru saja menikmati malam yang… hmm… sangat istimewa." godanya, nada suaranya lembut tapi menyengat, membuat jantungku seperti ingin lompat dari tempatnya.
Aku tersentak, pipiku memanas. "Nina…!" protesku, tapi senyum gugupku tak bisa disembunyikan.
Dia mencondongkan tubuh, tangan menopang dagu, matanya seperti meneliti setiap gerakku. "Aku serius, Nora. Jadi… apa kalian sudah melakukannya semalam?
Aku hampir menelan ludah. Udara di dalam kelas pun terasa mendadak panas. "Ninaaa… jangan membahasnya!" Kataku, suara bergetar sedikit, meski aku mencoba tetap santai.
Nina terkekeh, matanya penuh rasa ingin tahu yang manis sekaligus jahil. "Hmm, jadi kalian sudah..."
"Tidak, Nina!", potongku.
"Hah? Tidak?", tanyanya, heran.
"Kami tidak melakukannya semalam, Nina. Tapi, aku cukup malu, karena tanpa sengaja Nick memergokiku membawa benda itu di dalam tasku.", jelasku, sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tertunduk malu.
"Benarkah? Lalu bagaimana reaksinya? Apa dia menyukainya?"
Aku menghela napas panjang, lalu menceritakan setengah tertawa, setengah malu. "Hmm… dia… kaget, tapi… tetap tenang. Dia bilang… kita belum membutuhkannya sekarang. Tapi… kalau suatu hari nanti… saatnya tiba… itu harus keputusan kita berdua."
Nina terkekeh lagi, suara kecilnya seperti lonceng di pagi yang hangat. "Hahaha… aku tahu! Nick itu memang… hmm… goodboy sejati. Bayangkan saja, Nora! Bukannya tergesa-gesa, dia malah berkata seperti itu. Nora… kamu benar-benar beruntung!"
Aku menundukkan kepala, menahan senyum yang terasa seperti cahaya matahari lembut yang menghangatkan pipiku. "Iya. Kamu benar, Nina. Tapi… rasanya jantungku berdegup kencang semalam. Wajahku memanas dan...seluruh tubuh seperti ikut berdetak bersamanya."
"Nora, kalian benar-benar... manis.", kata Nina, matanya masih menatapku penuh rahasia, senyumnya membuat udara pagi ini terasa lebih ringan, tapi juga… menegangkan.
Aku ikut tersenyum bersamanya.
Hingga, tidak lama setelah itu, langkah kaki terdengar di lorong—dosen kami sudah tiba. Mata Nina berkilau nakal saat menepuk bahuku terakhir kali. "Baiklah, Nina. Saatnya kembali belajar. Kuharap kamu bisa meyembunyikan senyumanmu itu... setidaknya sampai kelas berakhir." bisiknya.
"Yes, Ma'am.", balasku.
Aku menarik napas panjang, menata buku dan catatan di meja. Senyum itu masih terselip, tapi kini bercampur rasa gugup, hangat, dan manis—seperti sisa cahaya matahari pagi yang menembus jendela, mengingatkanku pada Nick dan tadi malam yang tak akan pernah kulupakan.
Setelah kelas berakhir, saat jam istirahat Nick menjemputku untuk pergi makan siang berdua di kantin kampus.
Kantin kampus selalu punya aroma yang khas—perpaduan roti panggang, kopi instan, dan tawa-tawa yang beterbangan seperti kepingan cahaya di udara. Siang itu, aku duduk di meja dekat jendela, menunggu Nick yang masih memesan makan siang kami di depan sana. Cahaya matahari menimpa permukaan meja, menciptakan garis-garis hangat di atasnya yang masih kosong.
Nick datang beberapa menit kemudian, membawa dua tray penuh. Senyumnya yang muncul di tengah riuhnya kantin terasa seperti pintu kecil yang langsung mengarah ke tempat aman di hatiku.
"Maaf, antreannya lumayan panjang.", katanya sambil menurunkan tray-nya.
"Hmm, aku hampir mengira kamu menghilang di balik tumpukan mahasiswa lapar.", candaku, membuatnya tertawa pelan.
Ia menyodorkan segelas jus jeruk padaku, lalu duduk berseberangan. Kami mulai makan sambil berbincang ringan—tentang kelas pagi, tentang rencana acara kampus, dan sedikit tentang cuaca yang semakin dingin. Tapi di tengah-tengah, suaranya berubah sedikit lebih serius.
"Oh iya… Sepulang kuliah nanti, sepertinya aku tidak bisa menemuimu, Nora.", ucapnya, menatapku sambil memutar garpu di tangannya. "Bosku baru saja menelepon. Ia menyuruhku menggantikan temanku yang ijin hari ini. Jadi… aku harus langsung ke bar."
Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. "Ehm, tidak apa-apa, Nick. Aku mengerti."
Dia tersenyum tipis, matanya seperti sedang meminta pengertian lebih dari sekadar kata-kata. "Akan aku usahakan untuk tidak pulang terlalu malam. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku. Oke?"
Aku mengangguk lagi, sambil memaksakan senyum. "Oke."
Sesaat kami diam, hanya suara sendok dan garpu di sekitar yang mengisi udara. Tapi entah kenapa, meski percakapan itu singkat, ada sedikit rasa kosong yang mengendap di dadaku. Mungkin karena aku sudah terbiasa melihatnya setiap hari, dan malam ini akan terasa… lebih sunyi.
Nick tampaknya menyadari perubahan raut wajahku. Dia mengulurkan tangannya di atas meja, jemarinya menyentuh punggung tanganku sebentar—hanya sebentar—sebelum ia kembali fokus ke makanannya. Tapi sentuhan itu cukup untuk menghangatkan siangku kembali.
Setelah menghabiskan makan siang kami, Nick mengantarku kembali ke fakultas bisnis untuk mengikuti kelas selanjutnya. Sementara dirinya juga kembali ke fakultas hukum untuk mempersiapkan kelasnya yang akan dimulai sekitar satu jam lagi.
Kelas terakhir hari ini berakhir sekitar pukul empat sore. Namun, Nina mengajakku pergi ke toko kamera untuk membeli sesuatu, sebelum akhirnya kami kembali ke asrama.
Malam ini udara musim gugur terasa dingin, menusuk lewat celah jendela yang tidak sepenuhnya tertutup rapat. Lampu meja di sudut kamar memancarkan cahaya keemasan yang lembut, cukup untuk membuat ruangan ini terasa seperti kepompong hangat di tengah hawa luar yang menggigil.
Aku duduk bersila di atas karpet, selimut tipis melingkari pundakku, sementara Nina dan Sarah berbagi bantal besar, bersandar santai di kasur. Di tengah kami, ada beberapa bungkus snack yang sudah terbuka, aroma cokelat dan asin bercampur jadi satu—aroma yang entah kenapa membuat hati ikut rileks.
Percakapan kami melayang-layang ke segala arah. Sarah sedang menceritakan perkembangan hubungannya dengan salah seorang mahasiswa dari jurusan teknik bernama Matt, yang ia temui di pesta malam itu di rumah Julie. Ia juga bercerita tentang hal-hal lucu yang terjadi di antara mereka sepanjang masa pendekatan itu, membuat kami saling beradu tawa. Nina, seperti biasa, selalu berhasil menyelipkan candaan yang membuat tawa itu semakin panjang.
Aku baru saja meneguk cokelat panas ketika ponselku bergetar di meja samping. Sebuah pesan masuk—Lexi. Ya, saat malam itu, di acara Law Student Gala, kami sempat bertukar nomor telepon agar bisa saling mengenal lebih jauh.
Aku membuka, awalnya tanpa pikir panjang.
'Nora, aku tidak tahu apakah ini penting, tapi baru sana aku melihat Nick bersama Alice.'
Mataku membeku membaca kalimat itu. Pesan berikutnya datang dengan cepat.
'Mereka ada di halaman depan minimarket dekat pom bensin. Nick memberi sebotol air minum ke Alice yang duduk di mobilnya. Lalu, Alice memeluknya.'
Beberapa saat kemudian, Lexi mengirim sebuah foto. Buram, diambil dari kejauhan, tapi tidak salah—itu Nick. Jaketnya, postur tubuhnya… aku mengenalnya seperti mengenal nadiku sendiri.
Suara tawa Nina dan Sarah mulai terdengar jauh. Dadaku terasa mengerut, seperti ada tangan dingin yang meremasnya perlahan.
“Nora? Ada apa?” tanya Nina, nadanya berubah waspada.
Aku menelan ludah, lalu menyerahkan ponsel itu tanpa bicara. Sarah langsung meraih dan melihat foto itu, keningnya berkerut. “Ini Nick? Dan... perempuan di pesta waktu itu?”
Aku mengangguk pelan.
Nina menarik napas panjang, lalu menatapku. “Hei… jangan langsung menyimpulkan! Bisa saja itu hanya kebetulan. Atau ada alasan lain.”
Sarah menimpali, mencoba terdengar ringan meski matanya sedikit gelisah. “Iya. Mereka ada di dekat pom bensin… mungkin Nick hanya sedang membantu Alice.”
Aku mengangguk lagi, tapi rasanya kosong. Kata-kata mereka seperti bulu yang jatuh di permukaan air—terlihat, tapi tidak cukup berat untuk mengubah riak yang sudah terlanjur ada. Foto itu terus terpatri di benakku, bersama rasa sakit yang tiba-tiba tumbuh di dada.
Nina menaruh ponselku di lantai, lalu memegang kedua tanganku. Jemarinya hangat, kontras dengan dingin yang tiba-tiba merayap di bawah kulitku.
“Nora… aku tahu rasanya melihat sesuatu seperti ini.” , ucapnya pelan, matanya menatapku lurus. “Tapi tolong, jangan biarkan satu foto merusak semua yang sudah kalian punya.”
Aku ingin menjawab, tapi bibirku hanya membuka tanpa suara. Ada bagian dari diriku yang ingin percaya seratus persen, tapi ada juga bagian kecil—bagian yang rapuh—yang takut jika kali ini berbeda.
Sarah berpindah duduk lebih dekat, menepuk-nepuk bahuku. “Nick itu… dia selalu terlihat tulus padamu, Nora. Dia tidak mungkin berniat menyakitimu, apalagi diam-diam seperti itu.”
Nina tersenyum tipis, mencoba memantulkan ketenangan lewat matanya. “Kalau pun Nick ada di pom bensin bersama Alice, pasti ada penjelasan.”
Aku menghela nafas panjang, mencoba memaksa udara masuk lebih dalam, tapi dada ini terasa sesak. “Kenapa Nick tidak memberitahuku kalau dia akan bertemu Alice?” suaraku hampir tak terdengar.
“Bisa jadi karena itu bukan sesuatu yang penting, Nora.”, jawab Nina lembut. “Terkadang… pria tidak menyadari hal-hal kecil yang bisa mengganggu pikiran kekasihnya. Mereka pikir itu hanya momen singkat, yang tidak perlu dibicarakan.”
Hening sejenak. Hanya terdengar denting jam di dinding dan bunyi hujan tipis di luar jendela—hujan yang baru kusadari turun entah sejak kapan.
Sarah meraih selimut dan menaruhnya di pangkuanku. “Dengar, Nora! Kamu tidak bisa seperti ini... karena dirimu hanya akan tersiksa karenanya. Sebaiknya besok kamu temui Nick, kamu harus mendengarkan penjelasan darinya.”
Mataku mulai terasa panas, tapi aku mengedip cepat, tidak ingin menangis. Aku menatap mereka berdua—dua teman yang selalu ada untukku.
“Iya. Kurasa kalian benar. Aku harus memberi Nick kesempatan untuk menjelaskan.”
Nina tersenyum kecil, memelukku sebentar. "Aku yakin Nick pasti tidak berniat sedikitpun untuk menyakitimu, apalagi berpaling darimu. Bukan karena selama ini aku mengaguminya, lalu membelanya. Tapi, karena aku tahu Nick benar-benar mencintaimu, Nora."
Aku mengangguk. Mencoba menenangkan sendiri hatiku yang kacau.
Di luar, hujan semakin deras. Di dalam, aku berusaha membuat dinding hatiku tetap berdiri, meski retakannya sudah mulai terlihat dari dalam.