NovelToon NovelToon
Gadis Centil Milik CEO Dingin

Gadis Centil Milik CEO Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: siti musleha

Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.

Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.

Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18 Foto

Pagi yang Penuh Tekanan

Sinar matahari masuk lewat jendela besar kamar Adrian. Tapi bukannya hangat, suasana justru terasa berat. Adrian berdiri di depan kaca, mengenakan kemeja putih rapi, sementara Alira masih duduk di ranjang dengan wajah setengah mengantuk.

“Mas… kenapa dari tadi bengong aja di depan kaca? Padahal biasanya Mas sibuk banget sama laptop.”

Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya mengancingkan kemejanya satu per satu, lalu berkata datar, “Hari ini akan jadi hari yang panjang.”

Alira menguap kecil. “Hari panjang? Maksudnya Mas mau ketemu sama Seto lagi?”

Adrian menoleh singkat. “Mungkin.”

Alira langsung bangun, matanya melebar. “Hah? Mas, serius? Kalau iya, aku ikut. Jangan tinggalin aku di rumah sendirian. Aku bisa mati kebosanan.”

Adrian menatapnya tajam. “Ini bukan soal bosan, Alira. Ini soal keamananmu.”

Alira tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. “Justru karena itu aku harus ikut. Kalau aku di samping Mas, kan Mas bisa ngawasin aku langsung.”

Adrian terdiam. Alasan itu masuk akal. Akhirnya ia hanya mendesah dan mengambil jas. “Baiklah. Tapi jangan banyak bicara.”

Alira terkekeh. “Iya, Mas suamiku. Aku janji diem… tapi diem centil boleh kan?”

Adrian hanya menghela napas, memilih untuk tidak menanggapi.

Siang itu, Adrian membawa Alira ke sebuah gedung tinggi di pusat kota. Pertemuan dengan beberapa direktur penting sudah menunggu.

Saat masuk ke ruangan, beberapa orang menoleh ke arah Alira dengan tatapan terkejut. Mereka tahu biasanya Adrian sangat kaku soal urusan pribadi.

“Selamat siang, Adrian,” sapa salah satu direktur. “Dan ini…?”

Adrian dengan tenang menjawab, “Istri saya.”

Seketika ruangan hening. Beberapa orang saling berbisik, jelas kaget.

Alira tersenyum manis, melambaikan tangan kecil. “Halo, aku Alira. Senang bertemu kalian”

Beberapa orang terkekeh pelan, suasana sedikit mencair. Tapi Adrian tetap dingin, hanya fokus pada rapat.

Namun, sepanjang pertemuan, Alira merasakan sesuatu. Tatapan Seto yang juga hadir tak pernah lepas darinya. Tatapan itu menusuk, seolah ingin menelannya bulat-bulat.

Alira menggeliat gelisah di kursinya. Ia mendekatkan tubuh ke Adrian, berbisik, “Mas, dia ngelihatin aku terus.”

Adrian menoleh sekilas ke Seto, lalu kembali menatap Alira. “Duduk tenang. Jangan tunjukkan kau takut.”

Alira menelan ludah, mencoba menegakkan badan. Tapi jelas, jantungnya berdebar kencang.

Rapat berjalan tegang. Seto beberapa kali menyelipkan komentar yang terdengar normal, tapi jelas ditujukan untuk memancing Adrian.

“Kerja sama yang baik selalu butuh… kepercayaan,” katanya sambil melirik Alira. “Dan kadang, hal itu datang dari orang yang paling dekat dengan kita.”

Adrian tetap diam, ekspresinya dingin.

Seto tersenyum tipis, lalu menambahkan, “Ah, kalau bicara soal kedekatan, saya jadi ingat… beberapa orang bisa lebih mudah terbuka dengan orang asing ketimbang pasangannya sendiri.”

Alira menegang. Ia tahu sindiran itu diarahkan padanya.

Adrian mengetuk pelan meja dengan jarinya, sebuah isyarat agar Alira tetap diam.

Tapi di dalam dirinya, bara api sudah membesar.

Setelah rapat selesai, sebagian besar direktur keluar. Hanya tersisa Adrian, Seto, dan Alira di ruangan itu.

Seto berdiri santai, memasukkan tangan ke saku. “Alira, aku rasa kau terlalu cantik untuk hanya duduk diam di samping pria dingin ini. Kau bisa jauh lebih… bebas.”

Alira langsung berdiri, wajahnya memerah. “Hei! Aku ini istrinya Mas Adrian, tahu! Jangan ngomong aneh-aneh!”

Adrian berdiri perlahan, tubuhnya tegap, sorot matanya dingin seperti es. “Seto, saya peringatkan sekali lagi. Jangan pernah menyebut istriku dengan nada seperti itu.”

Seto hanya terkekeh. “Kenapa? Kau takut dia akan menyukaiku?”

Adrian melangkah maju, jarak mereka tinggal beberapa langkah. “Kau tahu, saya bisa menghancurkan reputasimu dalam semalam. Tapi masalahnya bukan itu. Kau sudah berani mengusik wilayah saya. Dan saya tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuh apa yang menjadi milik saya.”

Alira menatap Adrian dengan mata berbinar. Walau situasi tegang, ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya rasa aman sekaligus rasa deg-degan yang sulit dijelaskan.

Seto tersenyum tipis. “Menarik. Jadi kau benar-benar menganggapnya sebagai milikmu. Baiklah, kita lihat seberapa kuat kau bisa mempertahankannya.”

Setelah berkata begitu, Seto meninggalkan ruangan dengan tatapan penuh tantangan.

Begitu pintu tertutup, Alira langsung menghela napas lega. “Astaga, Mas… jantungku kayak mau copot.”

Adrian menoleh padanya. “Kau baik-baik saja?”

Alira mengangguk cepat. “Iya, tapi… Mas, tadi keren banget! Cara Mas bilang aku milik Mas, itu… gila. Aku hampir meleleh.”

Adrian menghela napas, menutup mata sebentar. “Kau selalu bisa bercanda bahkan di saat berbahaya.”

Alira tersenyum malu. “Itu caraku supaya nggak ketakutan, Mas. Tapi beneran, aku bangga banget sama Mas.”

Adrian menatapnya, lalu tanpa pikir panjang, tangannya meraih pinggang Alira, menariknya lebih dekat.

“M-mas…” Alira refleks salah tingkah, wajahnya merah padam.

“Jangan pernah dengarkan ucapannya,” ucap Adrian lirih, namun penuh ketegasan. “Yang kau butuhkan hanya percaya pada saya.”

Alira menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Aku percaya, Mas.”

Malamnya, mereka kembali ke rumah. Tapi bukannya lega, suasana justru semakin panas.

Alira mondar-mandir di ruang tamu, gelisah. “Mas, aku takut Seto bakal bener-bener nekat.”

Adrian duduk di sofa, wajahnya kaku. “Itu sebabnya kau harus selalu ada di dekat saya.”

Alira menghentikan langkahnya, lalu menatap Adrian. “Tapi Mas nggak bisa ngawasin aku dua puluh empat jam penuh. Mas juga manusia, bisa lelah, bisa lengah.”

Adrian menatapnya dingin. “Saya tidak akan lengah.”

Alira mendesah, lalu duduk di sampingnya. “Mas… aku ngerti Mas ingin melindungi aku. Tapi jangan sampai Mas kehilangan diri Mas sendiri gara-gara orang itu.”

Adrian menoleh perlahan, menatapnya dalam. “Alira, kalau harus memilih antara kehilangan proyek atau kehilanganmu, saya tidak pernah ragu. Saya pilih proyek itu hancur.”

Alira terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Adrian jarang sekali mengungkapkan perasaannya secara langsung. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi baginya sangat berarti.

Ia mencoba bercanda untuk menutupi harunya. “Mas… kalau ngomong gitu terus, aku bisa jatuh cinta sama Mas beneran, lho.”

Adrian menatapnya sebentar, lalu tanpa ekspresi berkata, “Itu memang yang saya harapkan.”

Alira langsung terdiam, wajahnya merah padam. Ia memalingkan muka, pura-pura sibuk dengan bantal di tangannya.

Tepat saat suasana mulai sedikit mencair, suara notifikasi masuk dari ponsel Adrian.

Ia mengambilnya, membuka pesan baru. Wajahnya langsung berubah serius.

Alira mendekat. “Apa lagi, Mas?”

Adrian menunjukkan layar padanya. Pesan itu singkat tapi menghantam keras:

“Besok malam. Hotel Imperial. Datang sendiri. Atau foto-foto istrimu akan tersebar ke publik.”

Alira membeku. “Mas… ini berarti dia sudah punya lebih banyak fotoku?!”

Adrian menatap layar, lalu mengepalkan tangan. “Seto sudah memulai perang. Kalau begitu, saya akan menyelesaikannya.”

Alira menatapnya dengan cemas, suaranya bergetar. “Mas… jangan bilang Mas mau datang sendirian…”

Adrian tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke luar jendela, dengan sorot mata dingin yang penuh tekad sekaligus bahaya.

Jangan lupa tinggalin jejak dulu readers🌹

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!