Ryan berjalan bolak-balik di depan pintu kamarnya, tak terhitung sudah berapa kali, dia mengetuk pintu dan meminta maaf pada Dina. Namun Dina seolah menulikan telinganya dari semua itu.
Berkali-kali, Ryan merutuki pertanyaan bodoh yang dia tanyakan kepada Dina. Bermaksud menguji, malah pertengkaran yang terjadi. Kenapa harus bertanya seperti itu, padahal Ryan tahu kejadian sebenarnya.
Untuk membuka pintu menggunakan kunci serep pun tidak mungkin. Pintu dikunci dari dalam, dengan kunci masih menggantung di lubangnya.
Lelah tak bisa membujuk, Dina. Ryan memilih tidur, memberi ruang pada Dina untuk menenangkan hatinya. Semoga esok hari semuanya kembali seperti sebelumnya.
Ryan merebahkan dirinya di sofa depan televisi, dia mengambil ponsel, membuka ruang chat, mengetik sebuah pesan.
Di dalam kamar, Dina pun masih terjaga meski sudah berbaring sejak tadi di atas tempat tidur. Hatinya sesak dan kecewa, Ryan seolah menuduhnya berselingkuh. Dina membiarkan saat Ryan mengetuk pintu dan meminta maaf kepadanya. Dia masih merasa panas, jadi lebih baik menghindar dulu.
Setelah dua jam lebih, barulah suasana kembali sepi, pasti Ryan sudah bosan dan memilih menyerah meminta maaf kepadanya. Dina menolehkan kepalanya saat mendengar ponselnya berbunyi. Pesan dari Ryan, Dina hendak menyimpan kembali ponselnya, namun dia penasaran pesan apa yang Ryan Kirim.
"Din, maafin aku. Aku nggak ada maksud nuduh kamu selingkuh. Kamu wanita baik-baik, aku percaya kamu tidak mungkin *berbuat seperti itu. Maaf, aku yang salah..
Mungkin terlalu cepat, tapi sepertinya aku mulai menyukai mu. Pertanyaan itu terucap karena sepertinya aku cemburu..
Sekali lagi maaf kan aku*."
Dina membulatkan matanya membaca tiga pesan beruntun yang masuk ke ponselnya dari Ryan. Takut ada yang salah dengan matanya, Dina mengucek matanya sebentar, lalu membacanya kembali. Hingga berkali-kali dibaca pun isinya tetap sama.
"Apa ini ungkapan perasaan Ryan, ish nggak romantis banget lewat pesan. Atau dia hanya pura-pura supaya aku nggak marah lagi? iish nyebelin, mana ada secepat itu melupakan, secepat itu jatuh cinta kembali."
Dina berbicara pada dirinya sendiri. Dia meletakan kembali ponselnya, tanpa ada niat untuk membalasnya, Dina memilih membaringkan tubuhnya, matanya memandang ke langit-langit kamar yang dicat putih. Pikirannya masih teringat pesan dari Ryan, meski hatinya masih kesal, namun tak urung bibirnya menyunggingkan senyum. Dina menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, malu sendiri dengan tingkahnya saat ini, yang tersenyum-senyum sendiri.
Ryan masih memandangi ponselnya, pesannya sudah Dina baca, tapi tak kunjung masuk balasan pesan dari istrinya. Ryan membaca ulang pesan yang dia kirimkan kepada Dina, takutnya ada kata-kata yang salah dia ketik.
"Apa Dina justru tambah marah dengan ungkapan perasaan aku ini? jangan-jangan Dina ngiranya aku membual, trus dia nggak percaya. Aaahhh kenapa jadi begini sih." Ryan menggerak-gerakan kakinya seperti menendang angin.
Semakin larut, mata Ryan dan Dina sudah tidak bisa dikompromi lagi, perlahan mata keduanya meredup kemudian terpejam sempurna. Dua insan yang mulai dilanda asmara itu tertidur dalam waktu yang hampir bersamaan, di tempat yang berbeda.
¤¤FH¤¤
"Din, udah bangun?" Udah adzan, Din. Aku mau shalat shubuh, mau ganti baju."
Ryan mengetuk pintu kamar, adzan memang sudah terdengar, sebenarnya dia bisa saja sholat di ruangan sebelah, ada sajadah dan sarung juga di sana, Ryan menjadikan alasan itu, agar Dina membuka pintu kamar.
Belum ada jawaban dari dalam kamar, Ryan menempelkan telinganya pada daun pintu, ingin mendengar pergerakan dari dalam, masih sunyi.
"Din, bangun, udah adzan." Sekali lagi, Ryan mengetuk pintu, kemudian memanggil Dina.
Dina yang baru keluar dari kamar mandi, usai berwudhu, mendengar panggilan Ryan. Dina menimbang, haruskah membukakan pintu, tapi jika tidak dibukakan, dia berdosa, karena Ryan harus sholat.
Dina membuka pintu kamar sedikit, tangannya terulur keluar, di tangannya baju koko, sarung serta sajadah untuk Ryan.
Ryan tidak menyangka, jika Dina masih marah kepadanya, namun dia tidak hilang akal.
"Yakin nggak mau shalat berjamaah? pahalanya lebih besar dari pada shalat sendirian."
Seperti dugaan Ryan, semarah-marahnya Dina kepadanya, tak akan mungkin menolak ketika diajak beribadah bersama. Dina pun melebarkan pintu, meski dia melengos tidak ingin bersitatap dengannya, Ryan sudah sangat bersyukur.
Dina menyiapkan dua sajadah, tak lupa baju koko dan sarung, dia simpan di atas tempat tidur. Sementara menunggu Ryan di kamar mandi, Dina melaksanakan shalat sunnah dua rakaat.
Sudah menjadi kebiasaan baru semenjak menikah, selesai salam, keduanya duduk di atas sajadah, berdzikir dan berdo'a. Setelah itu, Ryan membalikan badan, mengulurkan tangan untuk, Dina cium. Ryan tersenyum saat, Dina menerima uluran tangannya, dan tetap mencium punggung tangannya seperti biasanya.
Ryan mencekal tangan Dina saat istrinya hendak melepaskan tangannya. Dina mencoba menariknya, namun tentu saja kalah tenaga. Dina menatap sebal ke arah suaminya, tapi Ryan seolah tidak peduli, membuat Dina memalingkan wajahnya, tidak tahan berlama-lama dalam posisi itu, karena ada yang tidak bisa terjadi pada jantungnya.
"Masih marah?"
Dina diam tidak menjawab.
"Dosa lho saat suaminya nanya, tapi nggak dijawab."
"Ishh, nyebelin, selalu aja begitu. Kalau suami berdosa nggak nuduh istrinya macam-macam?"
"Iya, aku salah. Aku minta maaf. Dimaafin kan?"
Dina tetap diam.
"Dimaafin kan?" Ryan mengangkat dagu Dina, agar tidak menunduk.
Dina menyelami mata suaminya, untuk melihat kesungguhan dari ucapannya.
"Jangan di ulangi lagi!"
"Iya, janji nggak akan diulangi lagi." Ryan mengacungkan dua jarinya, sebagai tanda jika dia serius dengan ucapannya.
Dina mengangguk dan tersenyum, Ryan menatap Dina yang tersenyum, Ryan selalu menyukai senyum Dina yang tulus.
Keduanya sama-sama memalingkan wajah, setelah sadar jika mereka bersitatap untuk beberapa saat. Dina hendak bangkit, namun tangannya ditahan kembali oleh Ryan.
"Aku... aku mau nyiapin sarapan," elak Dina mencoba melepaskan tangan yang sejak tadi digenggam Ryan.
"Sebentar..." Ryan menghela nafasnya, grogi.
"Pesan yang aku kirim semalam, kenapa belum dibalas?" tanya Ryan pelan.
"Aku nya keburu ngantuk."
"Kalau dijawab sekarang, bisa?"
Dina mengernyitkan dahinya.
"Udah dijawab tadi, aku udah maafin kakak."
"Bukan yang itu, pesan yang satunya lagi."
Dina mengingat kembali pesan yang Ryan kirim semalam, pipi Dina merona ketika ingat pesan yang Ryan kirim semalam.
"Pesan yang mana, nggak ada lagi."
"Kenapa pipinya merah gitu?"
Dina memalingkan wajahnya yang terasa panas.
"Aku cinta sama kamu," bisik Ryan di telinga Dina.
Seketika Dina meremang mendengar perkataan Ryan.
"Ayo jawab!"
"Harus ya?"
Ryan mengangguk.
Dina memberanikan diri menatap mata Ryan.
"Apa ini nggak terlalu cepat? takutnya kakak terlalu terburu-buru menyimpulkan perasaan kakak. Apa mungkin, cinta lama akan secepat itu hilang dan tergantikan dengan cinta yang baru? Aku hanya takut, rasa itu sementara."
Pegangan tangan Ryan terlepas saat mendengar pertanyaan Dina. Hal itu Dina manfaatkan untuk segera keluar dari kamar. Berada di ruangan yang sama dengan Ryan, sangat tidak bagus untuk jantungnya yang sejak tadi berdetak kencang.
Dina ingin Ryan membuktikan rasa sukanya benar-benar tulus, bukan hanya perasaan sementara saja.
**BERSAMBUNG
Ditunggu banget krisannya.
Like, vote dan komen sebanyak-banyak nya ya.
Selamat membaca**.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
BETUL KATA DINA, JGN TRBURU-BURU, NNTI KLO KTEMU MARETHA BRUBAH PIKIRAN...
2022-08-02
1
yanti auliamom
😍😍😍
2022-03-19
2
🌷💚SITI.R💚🌷
hebat dina bisa mengendalikn perasaanu..👍👍👍👐👐
riyzn klah telak..ayo perjuangkn riyan klu betul2 cinta..
2021-10-06
1