JODOH
Ritual malam pertama adalah hal yang paling dinantikan oleh pasangan yang baru menikah. Malam yang akan diisi dengan saling berbagi, berbagi air liur, berbagi peluh dan berbagi kehangatan.
Tapi tidak bagi pasangan Rian dan Dina. Muda mudi awal usia dua puluhan itu, belum dua puluh empat jam sah menjadi sepasang suami istri. Mereka mengisi malam pertama dengan dingin, sunyi dan tidur saling membelakangi.
Rian dan Dina menikah karena perjodohan. Keduanya terpaksa menerima perjodohan itu. Jika Rian menerima karena sang papa yang mempunyai riwayat penyakit jantung, langsung drop saat mendengar Rian mengutarakan penolakannya. Sedang Dina karena ancaman sang papa yang akan menghentikan semua fasilitas keuangan yang selama ini dia nikmati.
Rian dan Dina bukanlah orang asing, sejak sekolah menengah pertama keduanya bersekolah di sekolah yang sama, Rian satu tingkat di atas Dina. Hingga sekolah menengah atas, mereka bersekolah di sekolah yang sama.
Satu insiden yang membuat Dina ill'feel pada Rian adalah saat Dina memergoki Rian dan teman-temannya mengintip kamar mandi siswa perempuan.
Ketika mereka dipertemukan untuk pertama kali, keduanya sama-sama kaget, tidak menyangka jika mereka dijodohkan.
Tanpa sepengetahuan orang tua mereka, Rian dan Dina memutuskan bertemu.
"Aku punya pacar, jadi aku nggak mau nikah sama kamu," cetus Rian begitu mereka bertemu.
"Siapa juga yang mau nikah sama laki-laki mesum kayak kamu," Dina memandang rendah pada Rian. "
"Emang kamu aja yang punya pacar, aku juga punya!" sambung Dina.
Wajah Rian memerah, campuran antara malu dan kesal. Malu karena Dina masih mengingat kejadian memalukan bertahun silam, yang membuatnya menerima hukuman dari guru BP, kesal karena sikap tak acuh Dina kepadanya.
Rian berwajah tampan, kebanyakan dari wanita ketika pertama bertemu Rian akan terpesona. Bahkan tidak sedikit wanita yang terang-terangan mengejarnya. Terbiasa dipuja, Rian tidak suka saat ada yang mengabaikannya.
"Jadi bagaimana keputusanmu?"tanya Rian setelah menormalkan emosinya.
"Jelas menolak lah, apalagi."
"Bagaimana kita menolak perjodohan ini yang katanya sudah terucap sebelum kita dilahirkan?"
"Tinggal bilang aja sama orang tua kita masing-masing. Aku menolak, kamu menolak, jadi nggak ada alasan kita menikah, kalau dipaksakan pun pernikahan seperti apa yang akan kita jalani." jawab Dina santai.
Hasil keputusan pertemuan pertama, mereka akan mengatakan penolakan perjodohan kepada orang tua mereka.
"Papah aku marah besar hingga penyakit jantungnya kambuh."
"Papah aku mengancam akan menarik semua fasilitas keuangan aku dan toko yang aku kelola akan diambil alih."
Rian dan Dina bertemu untuk kedua kalinya, berbeda dengan pertemuan pertama yang penuh keyakinan bisa menolak perjodohan. Pertemuan kali ini keduanya berwajah lesu.
Setelah berbagai usaha gagal, dengan terpaksa Rian dan Dina menerima perjodohan dan ikut serta dalam persiapan pernikahan. Kedua orang tua Rian dan Dina percaya, cinta akan tumbuh seiring waktu bersama, Rian dan Dina hanya perlu saling mengenal lebih dalam.
"Aku punya pacar dan sudah janji akan menikahinya."
Rian mengajak Dina bertemu beberapa hari sebelum pernikahan dilangsungkan.
"Terserah..." jawab Dina malas. Dia sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi, dia sudah menyerah dengan pernikahannya bahkan sebelum dilaksanakan.
"Jadi kamu menerima jika aku menikah lagi setelah kita menikah?"
"Tentu saja tidak. Selamanya ku tidak akan sudi dipoligami."
"Jadi..."
"Ceraikan aku jika kamu mau menikah lagi!"
Rian diam sejenak sebelum menjawab pernyataan Dina.
"Jadi apa yang kamu inginkan?"
"Tidak ada." Dina menggelengkan kepalanya, dengan tatapan kosong.
Rian menyugar rambutnya frustasi, bingung menghadapi calon istrinya. Keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dalam diamnya, Rian memperhatikan wajah Dina. Jika diperhatikan dengan seksama, wajah Dina lumayan cantik, hanya tidak secantik Mareta, kekasihnya saat ini.
Wajah Dina tidak memakai make-up berlebihan seperti Mareta yang selalu tampil paripurna dengan full make-up. Hidung Dina tidak mancung, tapi sangat pas di wajahnya. Tanpa sadar, Rian memberi penilaian pada wajah Dina. Alis, mata, hidung, bibir, hingga dagu.
"Kalau nggak ada yang mau diomongin lagi, aku pulang."
Bangkitnya Dina dari duduk, mengembalikan kesadaran Rian.
"Aku antar!"
"Nggak usah, aku bawa motor sendiri."
Rian memperhatikan Dina yang berjalan lesu. Tidak biasanya Dina selesu dan sependiam itu. Setelah membayar minuman yang tadi mereka pesan, Rian segera berlari ke parkiran berniat mengejar Dina yang di matanya ada sesuatu yang berbeda. Namun nahas, begitu sampai, Dina sudah melajukan motornya dengan kencang.
Bukan kebiasaan Dina menutup kaca helmnya saat berkendara, dia sangat menyukai hembusan angin yang mengenai wajahnya Tapi kali ini, Dina sengaja menutup kaca helmnya, karena ingin menyembunyikan tangisan yang sejak tadi dia tahan.
Satu jam sebelum bertemu dengan Rian, Dina bertemu dengan Fardhan, kekasihnya saat ini. Masih terekam dalam ingatan Dina sorot kekecewaan Fardhan kala Dina menyerahkan undangan untuknya. Bahkan kata-kata penjelasan yang sudah dirangkai Dina sejak semalam, menguap begitu saja, dengan kepergian Fardhan yang tidak terima ditinggal nikah oleh Dina.
Sepanjang perjalanan menuju toko sandal dan sepatu yang dikelola olehnya, Dina meluapkan sakit hati dan kekecewaan dengan tangisan sepanjang jalan.
Keesokan harinya, Dina bangun dengan suhu badan yang panas. Karena tidak mau diperiksa ke Dokter, mamahnya memanggil Dokter ke rumah, hasil pemerikasaan Dina kelelahan, banyak pikiran dan dehidrasi. Dina bahkan sampai harus diinfus.
Mamahnya yang mengetahui hubungan Dina dengan Fardhan hanya menatap prihatin. Papahnya Dina tidak menerima alasan apapun atas penolakan Dina. Baginya janji adalah hutang yang wajib ditunaikan.
Keesokan harinya, Rian yang mendengar kabar sakitnya Dina, menjenguk Dina di rumahnya. Dina yang masih terbaring di tempat tidur, enggan bangun ketika diberi tahu kedatangan calon suaminya. Akhirnya Rian diantar ke kamar Dina.
"Harusnya kamu coba cara ini sejak dulu untuk menolak perjodohan ini? sekarang percuma kamu mundur, semua persiapan sudah siap, undangan sudah tersebar seluruhnya," ucap Rian sarkas, begitu hanya berdua saja dengan Dina.
Dina yang tak minat bertengkar hanya mendelikan matanya, membuat Rian terkekeh geli. Hatinya lelah, bahkan untuk menolak perjodohan srkalipun. Dalam pikirannya, untuk apa Dina menolak perjodohan, jika alasan dia menolak sudah tak ada. Fardhan tidak bisa dihubungi sejak meninggalkan Dina sendirian di tempat favorit mereka.
"Lekaslah sehat, agar aku bisa membicarakan kelangsungan pernikahan kita kedepannya!" Rian berkata lalu meninggalkan Dina dalam kesendirian.
Hingga pernikahan terjadi, tidak ada raut bahagia di wajah Dina. Setelah resepsi pernikahan selesai, Rian harus bermalam pertama di rumah mertuanya di kamar Dina. Saat Rian masih sibuk mengobrol dengan keluarga Dina, Dina memilih masuk ke kamarnya.
Semua saudara menggoda Dina yang hendak mempersiapkan untuk malam pertama. Nyatanya di dalam kamar, Dina langsung membungkus tubuhnya dengan selimut tebal miliknya setelah menyingkirkan kelopak bunga yang ditaburkan di atas tempat tidurnya. Dina tidur menghadap ke arah dinding, membelakangi suaminya.
Rian memang tidak berharap besar pada malam pengantinnya. Jadi begitu melihat Dina yang bersembunyi di balik selimut, Rian hanya tersenyum kecut. Tidak ingin berdebat, Rian membaringkan tubuh lelahnya di tempat tidur yang sama dengan Dina, menghadap ke arah lain, hanya punggungnya dan punggung Dina yang saling berhadapan.
**TBC
Tes tes, kira-kira ada yang suka nggak ya dengan cerita ini**?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
I Gusti Ayu Widawati
Sukaaaa banget Thor kubaca ulang 2x karena dulu nggak sampe tammat sih
2022-12-26
0
lucky gril
nyimak
2022-11-23
0
neng aya
🤗
2022-11-23
0