Dina keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkap, handuk kecil melilit rambut basahnya. Sudah menjadi kebiasaan Dina, keramas setiap pagi. Giliran Rian yang masuk, sebelum masuk pandangan mereka bertemu, Rian menyunggingkan senyum menggoda Dina. Dengan cepat Dina memalingkan wajahnya yang bersemu merah, ingat dengan kejadian beberapa saat yang lalu.
Gerakan Dina yang akan menggelar sajadah terhenti saat Rian berucap, " Jangan sholat dulu, tungguin aku!"
Sambil menunggu Rian mandi, Dina melaksanakan sholat sunah dua rakaat. Ini akan menjadi shalat berjamaah pertama bagi keduanya. Dina menggelar sajadah lain sedikit di depannya.
Sambil duduk di atas tempat tidur, Dina membuka tas ransel milik Rian, untuk mengambil baju ganti milik suaminya.
Dina mengambil sehelai baju berbahan katun, saat akan mengambil underwear untuk suaminya, gerakan tangan Dina mendadak ragu. Selama ini dia belum pernah memegang underwear laki-laki, baik itu kepunyaan ayah ataupun kakaknya.
"Kamu mau ngapain?" Rian melihat Dina membuka-buka tas ransel miliknya.
Dina langsung memalingkan wajahnya, saat melihat, Rian keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit perut hingga di atas lutut.
"Ini..." Dina menyodorkan pakaian yang tadi dia ambil pada Rian tanpa melihat ke arah suaminya.
Rian tersenyum, ternyata istrinya sedang belajar jadi istri yang baik, salah satunya dengan menyiapkan pakaian. Tiba-tiba sifat iseng Rian muncul, dia ingin mengerjai Dina yang menunduk, karena malu dengan penampilan Rian yang hanya mengenakan handuk.
Rian sengaja sedikit memegang tangan Dina saat mengambil pakaian, membuat Dina langsung melepaskan genggaman pada pakaian tersebut.
"Ish, kamu ya. Jadi batal wudhu aku!" Dina berkata ketus.
"Aku itu suami kamu kali, sah secara agama dan negara. Jangan kan nyentuh tangan, nyium kamu juga bisa dan tidak membatalkan wudhu," sanggah Rian atas perkataan istrinya.
"Aku nggak terbiasa memakai baju tanpa kaus dalam," Rian berucap yang Dina tangkap menyuruh dirinya mengambil barang yang disebutkan tadi olehnya.
Dina membuka kembali tas ransel Rian dan mencari barang yang dimaksud, lalu mengambilnya. Ulah Rian tidak berhenti sampai di sana, setelah menerima kaus dalam, Rian kembali berkata, "Apa aku pakai baju atasana aja, tanpa bawahan?"
Dina geram mendengar perkataan suaminya, dia menghembuskan nafas kasar, Rian menahan senyumnya, senang berhasil mengerjai istrinya. Dina membuka kembali tas yang belum ditutup, lalu mengambil celana panjang yang ada di bagian bawah, lalu mengangsurkan pada suaminya.
"Aku pakai celananya, tanpa dalemannya gitu? Nanti adik kecil aku digantung kayak hubungan kita yang nggak jelas."
Kesabaran Dina sudah mencapai puncak, tapi dia masih berusaha menahan karena hari masih pagi, tak ingin harinya rusak karena marah-marah. Apalagi saat ini mereka masih di rumah orang tuanya, apa kata orang tuanya jika pagi-pagi dia ribut dengan suaminya.
"Kamu ambil aja sendiri!" Dina mengangsurkan tas ransel pada Rian.
"Kalau masih mau ngajak ribut, aku sholat sendiri aja, udah siang!" Dina hendak bangkit, namun ditahan Rian.
"Baik, tunggu sebentar! aku pakai baju dulu sebentar."
Rian kembali masuk ke kamar mandi, tak sampai lima menit, dia sudah keluar dengan pakaian lengkap. Rian melaksanakan shalat sunah shubuh dua rakaat.
setelah itu keduanya langsung berdiri di atas sajadah masing-masing.
Setelah Dina melantunkan iqomah, Rian mulai mengimami Dina shalat shubuh. Hati Dina hangat saat Rian melantunkan kalam ilahi, meski hanya surat-surat pendek, tapi Rian cukup baik dalam melafalkannya.
Setelah salam, keduanya larut berdzikir dan berdo'a. Do'a yang berbeda tapi mempunyai tujuan yang sama, meminta penerang untuk pernikahan mereka.
Rian membalikan badan lalu mengulurkan tangan kanannya pada Dina. Istrinya itu tidak langsung menerima uluran tangan Rian, dia menatapnya bingung, haruskan menerima uluran tangan Rian atau tidak. Kemarin saat akad nikah, Dina hanya mencium punggung tangan Rian sekilas hanya untuk formalitas saja.
"Kamu nggak mau mencium tangan aku?"
Dengan terpaksa Dina menyambut uluran tangan Rian dan menciumnya sekilas, namun saat Dina akan melepaskan pegangan tangannya, Rian justru menggenggam telapak tangan Dina dan menariknya, tak di sangka, Rian mendaratkan ciuman di kening Dina, membuatnya kaget.
Sontak Dina menarik tangannya dari genggaman Rian lalu memundurkan badannya, menatap tajam suaminya. Dalam hatinya Dina berkata, sepertinya hidup dengan Rian harus mempunyai stok kesabaran yang tak terbatas. Belum ada satu jam dari dia bangun tidur, sudah berkali-kali Rian membuatnya kesal.
Rian terkekeh geli melihat reaksi Dina, apalagi mata Dina yang mendelik ke arahnya, membuat Dina terlihat sangan menggemaskan di mata Rian.
Dina segera bangkit, lalu merapikan alat sholatnya dan menyimpan di tempatnya. Setelah menyisir rambut panjangnya yang setengah basah, dia meninggalkan kamarnya, menuju lantai bawah rumahnya.
Namun pilihan keluar kamar bukan keputusan baik sepertinya, begitu sampai di anak tangga paling bawah, Suci, sepupu Dina yang menginap di rumahnya langsung membaui rambut bahkan menyentuh rambut Dina.
"Cie... rambutnya masih basah dan bau shampo." Dina mendelik kesal ke arah Suci.
'Ya Alloh berapa orang lagi, yang akan membuat pagiku suram," teriak Dina dalam hatinya.
"Apaan sih, rese!" Dina segera berlalu ke dapur.
Di dapur sudah ada mamahnya, dia sedang menghangatkan makanan sisa hajatan kemarin yang walaupun sudah dikirimkan pada orang tua Rian dan dibagi-bagikan pada saudara dan tetangga, masih tersisa banyak. Makanan itu akan dihidangkan untuk sarapan.
"Ada yang bisa dibantu, mah?"
"Eh, anak cantik mamah sudah bangun, kirain kesiangan lagi," ledek mamahnya.
"Mamah apaan sih."
Sebelum menikah, Dina tidak akan bangun jika tidak dibangunkan oleh mamahnya. Namun karena semalam dia tidak bisa tidur nyenyak, maka dia bisa bangun dengan cepat.
"Sudah kamu siapkan aja minuman untuk suamimu, buatkan kopi atau teh, atau tanya dulu mau dibuatkan apa!" titah sang mamah.
Dina yang malas mengajak bicara Rian yang di matanya sangat menyebalkan, langsung saja membuatkan kopi instan yang selalu tersedia di rumahnya.
Saat Dina akan mengantarkan kopi buatannya ke atas, Dina mendengar suara suaminya di ruang keluarga. Dina melangkah menuju ruang keluarga, mengintip dan benar saja, Rian di sana, duduk bersama saudara-saudaranya.
"SKSD banget, sok kenal sok dekat!" Dina memdesis tak suka.
Dina masuk ke ruang keluarga, ternyata di sana ada papahnya, dengan terpaksa Dina harus memasang senyum dan bersikap manis pada Rian.
"Kak, ini kopinya..." Dina menyodorkan secangkir kopi pada suaminya.
Rian tahu yang disodorkan Dina adalah kopi instan dan dia tidak menyukainya, tapi untuk menyenangkan hati istrinya dan menghargai usahanya di depan mertuanya, dia menyeruputnya, walau sedikit.
"Mau ke mana, Din? temani suamimu di sini!"
"Dina mau ke dapur, pah. Mau bantuin mamah nyiapin sarapan.
"Udah biar, Suci aja yang bantuin tante." Tiba-tiba Suci menyela obrolan, dia langsung berdiri dan berjalan ke arah dapur.
Suci, anak dari adik papahnya, masih kelas dua SMA.
Keterpaksaan yang Dina lakukan kesekian kalinya, Dina duduk di samping suaminya.
"Pah, dari tempat kerja, saya hanya diberi cuti tiga hari. Rencananya, saya akan mengajak Dina ke rumah saya hari ini."
Dina menatap Rian, dia kaget karena Rian tidak membicarakan hal ini sebelumnya. 'Apa harus secepat ini aku meninggalkan keluargaku?'
TBC.
Hayuuu ramaikan juga cerita ini, ditunggu vote, like, komen, subscribe, kritik dan sarannya!
Selamat membaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Faris Fahmi
kalo mahdaf syafi'i bersentuhan suami istri itu batal wudhu'
dan adzan maupun iqomah hanya dilakukan laki2
2024-09-08
0
Sarah Yuniani
meskipun sudah sah .. kalo bersentuhan tetap wudhu lagi ..
2024-09-08
0
Mynovel
kalo menurut keyakinan saya walopun sudah sah,suami istri bersentuhan kulit secara langsung tetap membatalkan wudhu,🙏
2022-10-29
0