Setelah shalat shubuh, Ryan melarang Dina membuat sarapan, dan berkata akan mengajaknya sarapan di tempat bubur ayam langganan Ryan. Mereka berangkat lebih awal, agar tidak kehabisan bubur ayam yang tidak pernah sepi antrian.
"Aku pulang dulu, ya. Nanti siang balik lagi ke sini, kita makan siang bareng," ucap Ryan setelah Dina mencium tangannya.
Dina tersenyum dan mengangguk, Ryan membelokan motornya dan langsung mengarahkan kendaraan ke rumahnya.
Hari ini Ryan libur kerja. Sebelum menikah, Ryan akan memanfaatkan waktu liburnya dengan tidur kembali setelah shalat shubuh dan bangun saat matahari mulai meninggi. Kini setelah menikah, mengantarkan Dina ke tempat istrinya berjualan seolah menjadi rutinitas wajib bagi Ryan setiap harinya.
Ryan tidak merasa terpaksa menjalaninya, dia melakukan itu dengan senang hati, apalagi hubungan keduanya semakin dekat.
Sejak peristiwa ciuman malam itu, Dina mulai membuka hati menerima cinta Ryan. Ryan meyakinkan Dina jika pernyataan cintanya benar-benar dari hati, bukan karena alasan ingin mendapat mahkota Dina. Untuk membuktikan cintanya, Ryan rela tak menyentuh istrinya, hingga Dina siap melakukannya.
Kini jika, Ryan membonceng Dina, maka tangan Dina akan melingkar di perut Ryan, awalnya hal itu karena permintaan Ryan, namun lama kelamaan menjadi kebiasaan. Ryan percaya, semakin sering mereka bersentuhan, semakin cepat tumbuh benih-benih cinta di hati Dina.
Sesampainya di rumah, Ryan langsung mengambil pakaian kotor miliknya dan Dini dari keranjang cucian kotor lalu merendamnya dengan detergen. Ya, di hari libur ini, Ryan ingin sedikit meringankan pekerjaan Dina.
Dari dalam kamar mandi, samar Ryan mendengar ketukan pintu yang diiringi ucapan salam. Suara air mengalir menyamarkan suara di luar. Ryan mencuci tangan yang penuh dengan busa sabun, untuk melihat tamu yang datang.
"Mamah... papah..." sapa Ryan kaget saat melihat ternyata mertuanya yang datang.
Kedua orang tua Dina juga tak kalah kaget melihat penampilan menantunya. Ryan yang membukakan pintu dengan baju basah dan keringat bercucuran di dahinya.
"Masuk, mah.. pah.." Ryan mempersilahkan mertuanya masuk.
"Maaf, mamah sama papah nggak ngabarin dulu mau datang. Maaf juga kami baru sempat berkunjung, rumah kamu bagus," ujar mamahnya Dina setelah duduk di sofa.
"Tadi sebelum ke sini, Papah sudah nelpon Dina, kata Dina ada kamu di rumah, jadi kami langsung saja kemari. Dina juga sedang dalam perjalanan pulang dari toko. Kamu basah-basah gitu habis ngapain?"
"Maaf, pah. Aku sedang nyuci baju."
"Nyuci baju? emang nggak dicuciin sama Dina?"
"Biasanya sih Dina yang nyuci, mah. Ini mumpung aku libur aja, nggak ada kerjaan jadi nyuci baju."
Kedua orang tua Dina tersenyum senang.
"Sebentar, mah pah, aku buatkan dulu minum."
Sebelum ke dapur, Ryan ke kamarnya dulu untuk mengganti bajunya yang basah. Ryan kembali ke ruang tamu yang merangkap ruang televisi dengan membawa nampan dengan dua gelas minuman. Beruntung di meja sudah tersedia makanan dalam toples.
"Gimana kabar kamu sama Dina?"
"Kami baik-baik saja, mah."
"Gimana Dina, apa dia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik?"
"Tentu mah, Dina sangat baik dan cekatan ngurus aku dan rumah."
"Syukurlah, mamah sama papah hanya sedikit khawatir, bagaimana pun kalian menikah karena perjodohan dan belum lama saling mengenal."
"Kami baik-baik saja ko, mah pah," sekali lagi Ryan meyakinkan mertuanya.
"Oh iya, ini mamah bawa makan siang untuk kita semua, mama tahu Dina jam segini d toko, pasti belum sempat masak," mamah Diyah menyodorkan bag berisi kotak makanan pada Ryan.
"Makasi, mah. Mamah repot-repot bawa makanan ke sini, bukan kita yang nyuguhin mamah."
"Kamu kayak ke siapa aja."
Tak lama, Dina datang, dia langsung menyongsong kedua orang tuanya, memeluk ibunya manja, dan duduk di antara mamah dan papahnya.
"Kamu, Din udah nikah masih manja aja. Malu tuh sama, nak Ryan," ledek pak Nandi, papahnya Dina.
"Biarin, Dina kangen sama mamah dan papah."
"Belum juga sebulan kamu pindah, Din, malah baru beberapa hari yang lalu kalian ke rumah, masa udah bilang kangen."
"Biarin, biasanya kan tiap hari ketemu."
Melihat Dina begitu manja kepada orang tuanya, Ryan seakan melihat pribadi Dina yang baru, pasalnya selama ini, Dina begitu mandiri dan terlihat dewasa.
"Maaf ya, nak Ryan, maklum bungsu, jadi kolokan."
"Iya, nggak apa-apa, pah. Saya permisi kebelakang dulu, mau mindahin makanan."
Ryan bangkit dengan membawa bag kotak makanan, meninggalkan Dina yang sedang melepas kangen dengan kedua orang tuanya.
"Gih susul suami kamu, Din. Masa nak Ryan yang nyiapin makan siangnya," kata papahnya Dina.
Meski masih ingin bersama orang tuanya, namun dia juga tidak tega kepada Ryan. Dina pun bangkit untuk menyusul suaminya ke dapur.
"Aku bantuin, kak." Dina berdiri di samping suaminya.
"Kamu siapin peralatan makan aja, ini udah mau selesai."
"Oke.."
Dina membuka rak penyimpanan peralatan makan, mulai mengambil piring, sendok dan garfu, langsung membawanya ke meja makan dan menatanya satu persatu. Untuk gelas, sudah tersedia di meja makan, di tempat penyimpanan.
Di ruang tamu, bu Diyah dan pak Nandi melihat sekelilingnya,
"Rumah Ryan bagus, bikin kerasan juga, pah."
"Alhamdulillah, ternyata Ryan sudah menyiapkan tempat tinggal yang nyaman untuk anak kita."
"Hubungan mereka juga sepertinya sudah nggak sekaku pertama nikah."
"Betul, mah. Semoga mereka selalu baik-baik saja, rumah tangga mereka juga sakinah, mawadah dan warahmah."
"Aamiin..." Bu Diyah mengaminkan do'a suaminya.
Terdengar suara adzan dzuhur, mereka pun memutuskan untuk shalat berjama'ah dulu sebelum makan siang.
"Terima kasih, mah. Makanannya enak banget."
"Syukurlah kalau nak Ryan suka. Nanti sering-sering mampir ke rumah, biar sering makan masakan mamah."
"Iya, mah, kayaknya aku bakal sering ke sana, habis ketagihan makan masakan mamah, enak banget."
Bu Diyah tersenyum mendengar pujian dari menantunya.
Dina hanya mendengarkan obrolan mamah dan suaminya. Tak menyangka jika Ryan pandai menyenangkan dan mengambil hati mamahnya.
Setelah makan, semuanya kembali ke ruang tamu, dengan di temani teh hangat mereka berbincang hangat.
"Mamah dan papah berharap segera mendengar kabar baik dari kalian."
"Kabar baik?" Ryan bertanya tak paham arah pembicaraan mamah mertuanya.
"Kabar baik jika cucu mamah dan papah bertambah lagi, dari kalian."
Dina yang saat itu sedang menyeruput minumannya langsung tersedak.
"Kamu kenapa, sayang. Santai aja minumnya, jangan buru-buru." Ryan mengusap-usap punggung Dina yang masih terbatuk. Ryan tahu alasan yang membuat istrinya tersedak minuman hingga batuk-batuk.
"Ngomong-ngomong, kalian tidak menunda memiliki momongan kan?" tanya bu Diyah dengan tatapan menyelidik.
"Tentu tidak, mah. Insya Alloh mamah dan papah akan segera menimang cucu dari saya dan Dina," ucap Ryan dengan penuh keyakinan.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Semoga disegerakan ya."
"Aamiin," Ryan berbicara lantang saat mengaminkan do'a mamahnya.
Pak Nandi dan Bu Diyah sampai terhenyak kaget mendengarnya, namun sesaat kemudian tertawa melihat tingkah menantunya.
"Waah, nak Ryan semangat sekali sepertinya, ingin segera memiliki anak."
Kembali semuanya tertawa, Dina juga tertawa meski dengan terpaksa. Ingin dia menyembunyikan wajahnya karena malu orang tuanya dan Ryan membahas masalah cucu.
'Gimana mau dapat cucu, itunya aja belum,' bisik Dina dalam hatinya, sesaat kemudian dia bergidik geli.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
lucky gril
ceritanya santai tp tetep ngena di hati🤗
2022-11-23
0
Nenk Jelita
bikin
2022-08-27
0
Sri Wahyuningati
sekarang begidik geli, coba dulu Din pasti kamu ketagihan 🤣🤣
2022-04-09
0