Sendiri ku menangis
Tak seorang pun tahu, lukaku
Air mata seakan
Luapkan rasa sedihku
Percuma semua penjelasan mu
Kini ku tak akan peduli padamu
Simpan saja semua kata katamu
Simpan saja tuk korban mu yang baru
Sadisnya kau bagai tak punya hati
Teganya kau bermain di belakangku
Harus selalu kau ingat
Aku tak pernah sesakit ini
Kan ku ingat kau slalu sampai mati
(Tata Janeta, Korban Mu)
Alunan lagu melow yang menggema semakin menyayat hati Aruna yang tengah luka. Lagu itu seperti kisah hidupnya yang tak pernah padam dari duka dan air mata.
Di tengadahkannya wajah, melihat ukiran plafon yang melingkar dan meliuk, tak membiarkan air mata itu kembali menyentuh pipinya yang bosan dialiri air kepedihan yang menyesakan.
"Mbak, aku pesan tiramisunya."
Aruna yang bersandar pada etalase kaca langsung berbalik, meredam gejolak hati yang tidak dibiarkan menganggu pekerjaannya saat ini.
"Sebentar ya Mas." Jawab Aruna tanpa melihat siapa orang yang memesan, mengambil dus yang akan digunakannya untuk menyimpan kue. Pikirannya yang kalut, membuat dia tidak peduli dengan sekeliling, mengabaikan orang yang memperhatikannya tanpa jeda.
"Yang mana Mas?" Tanyanya lagi, menyembunyikan matanya yang sudah yakin berwarna merah.
"Semuanya."
Spontan Aruna mendongak, rasanya dia sangat mengenal suara dan bau harum minyak wangi yang tidak sembarang orang memakainya,"Nuno."
Nuno tersenyum,"Hai..."
Aruna balas tersenyum,"Maaf aku kira siapa... mau ketemu Mbak Manda? dia ada di ruangannya, langsung masuk aja."
Nuno menggeleng,"Kamu tidak dengar ya, aku kesini ingin membeli tiramisu."
Aruna tersenyum malu, dan dekik itu kembali muncul, yang tanpa bosan Nuno selalu memujinya dalam hati.
"Maaf.... sebentar ya aku bungkus dulu."
Aruna membawa satu persatu tiramisu yang dipajang di dalam etalase, menyimpannya ke dalam kardus berbentuk kubus.
Sedikitpun Nuno tidak memalingkan matanya dari Aruna, ada raut kesedihan yang dia tutupi dengan senyuman, dan mata bengkak itu, sengaja dia tutupi eye shadow tipis berwarna purple.
"Kamu pulang jam berapa?"
"Jam tiga." Jawab Aruna singkat.
"Arun..." Tanya Nuno hati-hati, sepertinya suasana hati Aruna sedang tidak baik. Kejadian yang dilihatnya kemarin ternyata masih berdampak padanya sampai hari ini.
"Ya?"
"Apa kamu sakit?"
Aruna menoleh dan tersenyum tipis, sebisa mungkin menyembunyikan matanya yang sayu karena tidak tidur semalaman,"Tidak, aku baik-baik saja."
"Wajah kamu pucat, sepertinya kamu kurang tidur."
Suasana berubah senyap, musik yang semula berdentum ikut membisu, diganti lagu lain yang sedang di pilih Dedi si kasir.
Aruna tidak berani membalas tatapan Nuno yang menyelidik, seperti ingin membongkar dari sorot matanya yang tidak bisa berbohong,"Iya, semalam di rumah banyak nyamuk, jadi aku susah tidur." Kilahnya.
"Nuno...." Seruan riang Manda memecah obrolan mereka.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau mau kesini?" Protesnya dengan wajah yang ditekuk kesal.
"Aku hanya ingin membeli tiramisu." Menyembunyikan fakta kalau kedatangannya kesini hanya ingin menemui Aruna, khawatir dengan keadaannya yang seperti dalam masalah, dan dugaannya benar.
Manda melihat dua keresek besar yang sudah selesai Aruna kemas,"Banyak sekali, mau ada acara?"
"Tidak, hanya saja Mama ingin tiramisu di toko mu, karena aku tidak tahu Mama suka rasa apa, jadi aku beli semuanya."
Manda menepak kening, dia melupakan hal yang sudah dia janjikan,"Kenapa kamu nggak ingatkan aku, padahal aku sudah janji akan membawakan ini buat Tante Dila."
"Tidak apa-apa, aku ngerti kamu lagi sibuk."
Manda tersenyum,"Ya udah, kalau begitu ini semua aku kasih gratis."
"Tidak..." Nuno mengeluarkan kartu debit yang diberikannya pada kasir,"... aku kesini untuk membelinya."
"Tapi No..."
Nuno menggeleng keras, dan Manda tidak bisa lagi memaksa,"Ya udah, tapi nanti aku akan bawakan kue yang lain ke rumah mu... dan sekarang kamu ikut ke ruangan ku sebentar, ada yang ingin aku tunjukan padamu, dan aku sangat membutuhkan sebuah saran darimu." Ditariknya lengan Nuno tanpa segan.
Terpaksa Nuno mengikuti langkah Manda yang menggiringnya tanpa apa-apa, sekilas melirik Aruna yang mematung, memperhatikan dirinya yang tidak bisa menolak, meninggalkan Aruna yang sekarang menunduk, tak lagi melihatnya.
Dirasanya Nuno dan Manda sudah benar-benar pergi, Aruna mendesah pelan, mengusap dadanya yang merasa terganggu, berimajinasi terlalu jauh, membayangkan satu pasang anak manusia yang terkurung dalam satu ruangan, saling bertatapan kemudian bersentuhan, hal gila yang begitu saja muncul dan berjejal.
Aruna memijit pelipisnya yang semakin sakit, ada apa dengan dirinya, kenapa ada sesuatu yang lain yang menyelinap ke dasar hati yang tengah tersakiti, semakin tersayat bertambah perih.
"Run, aku duluan ya, mau ke Rumah Sakit dulu." Seru Dedi yang mengambil langkah seribu saat karyawan middle sudah datang menggantikan.
"Iya, salam buat ibu mu, semoga cepat sembuh." Saut Aruna yang dia pun mulai berkemas, membuka appron hitam yang melingkar di pinggangnya.
Dedi membalas dengan bulatan jari yang disatukan, mengambil helm yang langsung dia pakai sebelum sampai di motor matic yang terparkir di depan toko.
Aruna mengambil sweater yang dia pakai untuk melindungi tubuh dari hawa dingin yang mencengkram kulit dan tulangnya yang merasa linu. Sepertinya dia harus mampir ke apotek sebelum sampai di rumah nanti.
Setelah berpamitan dengan karyawan lain, Aruna berdiam sejenak di depan pintu ruangan Manda. Sudah setengah jam Nuno berada di dalam sana. Aruna menghela nafas, berderap pergi tanpa ingin memikirkan hal yang membuat kepalanya semakin nyeri.
Satu langkah keluar dari toko, Aruna dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang tidak dia sangka sebelumnya. Mengulurkan sebuket bunga mawar yang dirangkai sedemikian cantik.
"Aku merindukanmu."
Aryo meraih pinggang Aruna, direkatkan pada tubuhnya yang sedang merindu, memberikan kecupan di keningnya yang dihiasi rambut yang menjuntai.
"Maaf aku baru pulang, aku baru sampai di Jakarta siang tadi, ke kantor sebentar dan langsung kesini menjemputmu."
Aruna mematung, mencengkram buket bunga sebagai tumpuan kekuatannya saat ini. Jalanan yang ramai, orang yang lalu lalang, tidak memungkinkan dirinya untuk mencerca Aryo dengan ribuan kata kebencian.
Merasakan sesuatu yang berbeda Aryo memeriksa kening dan kedua pipi Aruna,"Badan mu panas, kamu sakit?"
"Aku tidak apa-apa."
Aryo meraih tangan Aruna,"Tangan kamu dingin sekali, kita ke dokter sekarang."
Aruna melepas cekalan Aryo,"Aku tidak apa-apa."
"Tapi kamu sakit, sayang."
"Aku hanya butuh istirahat."
Aryo meraih pundak Aruna yang kemudian didekapnya,"Aku tahu kamu sakit, tolong jangan berpura-pura kuat di depanku."
Perkataan Aryo mengiris hatinya yang menangis, aku memang harus kuat di depan mu, Mas...
"Kalau kamu tidak mau ke Dokter kita ke apotek dulu beli obat." Ucapnya seraya meraih dagu Aruna, melihat wajah istrinya yang pucat tak teraliri darah.
Aruna menelisik netra Aryo yang seperti mengkhawatirkannya, memberikan perhatian penuh layaknya suaminya yang tak kuasa melihat istrinya menderita.
Apa yang ingin kamu tunjukan Mas, kasih sayang atau sandiwara mu...
Aruna melempar mata ke sembarang arah, raganya terlalu lelah untuk menafsirkan, semuanya nampak buram tak terlihat.
Aruna mengambil langkah lebih dulu,"Kita pulang sekarang."
Aryo segera menyusul, membukakan pintu mobil untuk Aruna yang kemudian membuka pintu kemudi untuk dirinya sendiri.
Nuno yang melihat kejadian itu termanggu, kakinya bagai tertancap paku sulit bergerak. Hatinya memanas tanpa api, Pak Aryo...
"Hei, kok malah bengong... lihat apa sih?" Tanya Manda yang muncul dari balik punggungnya.
Nuno tersentak, pikirannya sedang mengudara, menembus kaca yang tanpa dia sadari Aruna sudah hilang dari pandangannya.
"Katanya mau pulang, kok masih disini?" Tanya Manda kembali.
"Emmm... ini juga mau pulang."
"Maaf permisi Bu, Pak..." Seorang karyawan membungkuk, meminta jalan untuk keluar karena keduanya yang berdiri menghalangi pintu.
"Oh iya...." Manda sedikit bergeser,"... Mau kemana?" Tanya Manda kemudian.
"Ini Bu, ponselnya Aruna ketinggalan, saya mau mengejarnya, mungkin dia belum jauh."
"Aruna sudah pergi." Putus Nuno.
Manda celingukan, mencari Aruna yang memang sudah tidak ada,"Biar ponselnya saya yang bawa, mungkin Aruna sudah naik ojol." Menerima ponsel putih yang diberikan karyawannya itu.
"Dia dijemput seseorang."
"Siapa?"
Nuno pura-pura tidak mengenalinya,"Naik mobil."
Manda mengeryit dan tak lama kemudian tersenyum lebar,"Oh pasti di jemput suaminya."
Deg....
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Mrs.Kristinasena
Akhirnya Nuno tau kalo Aruna istrinya pak Aryo..yg sedang berselingkuh..Nuno pasti ikut merasakan kesakitan hati Aruna Krn suaminya tukang selingkuh...rebuuuuttt aja Nuno..Arunanya..kasiiiaaann..Aruna berhak bahagia dan dicintai kan..
2022-12-06
0
maura shi
ini yg nmnya cerita yg g lebay&drama,yg g ada saling ejek antara istri sah&selingkuhan,ceritanya ngalir aja
2021-11-15
0
Ayuna milik Abinya
defhhh pasti nuno benci banget sama Aryo
2021-09-22
0