Nuno.... Nuno.... Nuno....
Nama itu terus berjejal, memenuhi kepala yang tidak bisa lagi menerka dan berandai. Raga memang dia bawa pergi, tapi pikiran dia biarkan mengembara di tempat yang tadi dia kunjungi.
Diusapnya wajah agar segera sadar, menyegerakan langkah agar secepatnya tiba di rumah, tak mengindahkan ojeg pangkalan yang menawarkan jasa, karena jarak tempuh yang bisa dia lalui dengan hanya berjalan kaki.
Sejenak Aruna termenung, rumah yang ditinggalkan sebelum gelap kini sudah terang dengan cahaya lampu yang sudah benderang.
Tidak mungkin itu Bi Mimin, tadi pagi dia menelepon tidak bisa datang karena asmanya yang kambuh bila cuaca dingin datang menyergap.
Mengambil jalan melalui pintu samping, Aruna bisa sampai di dapurnya yang terletak di bagian sudut. Di simpannya kantong plastik yang dia jinjing, cah kangkung dan tempe bacem, makanan sederhana pengisi perut yang dua hari ini jarang terasupi makanan pendamping nasi.
Namun alangkah terkejutnya, tangan kekar melingkar di perutnya yang berjinjit, mengambil piring di rak kayu yang menempel di dinding tembok.
"Aku merindukanmu."
Tangan itu semakin erat membelit, mengukung tubuhnya untuk tetap diam, seolah berkata bahwa dialah pemilik paten dari tubuh yang ramping ini.
"Aku sudah melakukan apa yang kamu minta, aku sudah meninggalkannya." Bisiknya lagi.
Aruna tertegun, hatinya berperang melawan kata yang berkejaran, percaya dan tidak.
Tubuhnya dibuat memutar, melihat pria yang sudah menorehkan luka berulang kali.
"Aku tidak bisa hidup tanpamu, aku ingin kita selalu bersama." Meremas pundak Aruna dengan lembut, menyalurkan energi positif bahwa yang dikatakannya bukanlah bualan semata.
Sorot mata penyesalan itu muncul, genangan air mata yang menumpuk, menitik di pipi yang dipenuhi bulu halus tak terurus. Baju yang semrawut digulungnya sebatas siku, rambut yang biasanya klimis, dia biarkan kusut tanpa minyak. Penampilan yang tidak Aruna kenal, Aryo yang selalu rapi dan bersih.
Tapi kenapa hatinya tak sedikitpun iba, hati gamang tidak bisa cepat dia enyahkan. Aruna menunduk, Apa dia harus kembali memaafkan?
"Kita akan memulainya dari awal, aku akan jadi suami yang baik untuk mu. Bahkan aku akan mengizinkan mu bekerja, agar kamu tidak kesepian saat aku tidak di rumah, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau, asalkan kamu selalu ada bila aku pulang bekerja."
Aruna mendongak, rentetan panjang perkataan Aryo membuatnya paham.
"Aku melihatmu pergi saat aku pulang tadi pagi, aku membuntuti mu sampai kamu sampai di toko kue itu." Tuturnya tanpa ditanya.
Aryo meraih tangan Aruna, menyadari kalau istrinya masih diselimuti rasa ragu,"Aku tahu kamu perlu waktu untuk kembali mempercayaiku, dan aku akan berusaha membuktikan kalau aku sudah berubah, dan itu semua demi kamu, demi rumah tangga kita."
Aryo meraih dagu Aruna untuk menatapnya lebih dalam,"Aku sangat mencintaimu."
Kecupan hangat mendarat di keningnya, Aruna terpejam. Kenapa hati ini beku sulit mencair, keras tidak bisa terkikis. Kata cinta yang terucap tak mengobati hati yang sudah hancur lebur menjadi abu, bahkan kembali menjadi arang hitam pun dia tidak akan mampu.
Semua yang terjadi tidak akan pupus hanya dengan kata maaf, Ayo tidak akan paham, racun yang dia semai, sudah tersebar, memupus segala harapan Aruna tentang makna indah dari sebuah kata cinta.
Perlahan Aryo menuntun Aruna, membawanya ke ruang makan.
"Kamu suka.... aku sudah mempersiapkan semuanya untuk mu....kamu pasti sudah lapar kan?"
Lampu yang sengaja dimatikan, dia ganti dengan cahaya lilin yang berjajar membentuk hati, bunga mawar putih saling bersilang dengan bunga berwarna merah, meramaikan suasana meja yang di tata sebegitu indahnya.
Mungkin ini suasana romantis jika mereka sedang dilanda asmara, tapi Aruna, hatinya menggigil takut, ini hanyalah sebuah rayuan semata.
"Sudah lama kita tidak makan malam bersama." Aryo menarik kursi, membantu Aruna untuk duduk.
Aruna masih membisu, satu persatu dia tatap makanan yang tersaji, tidak ada satu pun yang terlewatkan, Aryo masih mengingat semua apa yang disukainya.
Sejumput nasi dan sayur brokoli Aryo suap kan ke mulut Aruna yang masih merapat,"Biarkan aku menyuapi mu."
Apa dia sedang memperdayai ku lagi???
Aruna menggigit bibirnya yang bergetar, menahan sedih yang menghujam matanya yang tiba-tiba berair.
"Aku akan menebus semua kesalahan ku padamu." Aryo mengelus pipi Aruna, tak membiarkan air mata yang berdesakan itu jatuh di pipi yang sudah lama tidak dia sentuh. Kemudian beralih pada bibir tipis yang diusapnya penuh kelembutan, dia sangat merindukan manisnya merah bibir itu, perlahan Aryo mendekat, mengikis jarak diantara mereka.
"Aku ingin istirahat Mas." Aruna menghindar, membiarkan Aryo yang pasti akan kecewa dengan sikapnya.
"Aku ke kamar duluan." Tubuh yang hendak beranjak tertahan oleh genggaman tangan yang menariknya untuk tetap bersama.
"Maaf....," Aryo mencoba mengerti,".... walau hanya sedikit, setidaknya kamu tidur dengan perut sudah terisi, kamu terlihat kurus sekarang ini."
Tanpa menjawab Aruna menggeser piring, bagaimanapun dia harus menghargai usaha Aryo yang sudah menyiapkan makan malam ini.
Dimakannya sejumput nasi, di kunyah perlahan bersamaan dengan air mata yang terlanjur turun ikut mengiringi.
🌿🌿🌿🌿
Sinar matahari yang muncul di sela tirai yang sudah terbuka, membuat Aruna tersentak, duduk tegap seketika. Di kuceknya mata yang masih rapat. Di seretnya kaki yang menyisakan pegal karena terlalu banyak berdiri saat bekerja kemarin.
"Selamat pagi sayang."
Aryo muncul dengan nampan berisi tumpukan roti dan segelas susu.
Aruna terdiam, kesadaran dari tidur panjang belum sepenuhnya kembali, kepingan puzzle yang dirasanya mimpi ternyata adalah sebuah kisah nyata, Aryo datang dan meminta maaf.
"Sebelum mandi kamu sarapan dulu, mumpung masih hangat." Aryo menyimpan nampan di atas meja, menghampiri Aruna yang masih duduk mengikat rambut dengan jepitan yang selalu dia pakai.
"Aku mau mandi dulu."
"Minumlah dulu susunya, semalam kamu makan sangat sedikit." Diberikannya susu yang masih hangat, mengabaikan sikap Aruna yang tetap dingin kepadanya.
Aruna meraih gelas itu dan meneguknya hingga habis. Aryo tersenyum, mengusap bibir Aruna yang meninggalkan bekas putih akibat susu yang diminumnya terburu-buru.
Sejenak Aruna terhanyut, wajah Aryo yang berseri, sikap dan perhatiannya yang lembut, membuat hatinya sedikit terusik.
"Aku mandi dulu." Bergegas Aruna berdiri, tak ingin Aryo menyentuhnya lebih lama hingga dia menyerah tanpa daya.
Aryo mendesah, menatap punggung Aruna yang sudah hilang di balik pintu.
Aku akan berjuang untuk mendapatkan hatimu kembali.... membawa Aruna ku yang lugu seperti dulu
Selang lima belas menit, Aruna keluar dengan pakaian yang sudah rapi. Menyambar tas selempang dan menghampiri Aryo yang sedang memperhatikan nya sejak tadi. Namun itu tak sedikit pun merobohkan benteng pertahanannya.
"Aku berangkat dulu."
"Sarapannya belum kamu makan."
"Aku sudah terlambat."
Aryo beranjak,"Kita pergi sama-sama, aku akan mengantar mu."
Aruna tak menyanggah, menolak pun di rasanya akan percuma, Aryo akan bersikukuh mengantarnya.
"Kenapa masih diam, katanya kamu terlambat.... ayo!" Dirangkulnya pinggang Aruna yang seakan menolak, tapi dia tidak memperdulikan itu. Dia hanya perlu bersabar, semua butuh proses, dan dia akan menjalani proses itu dengan sangat sempurna.
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Mrs.Kristinasena
Aruna skrg difase lelah, dimana dia sdh merasa tdk percaya pada apapun..dia hanya ingin menunggu saat yg tepat utk pergi dan menghilang...
2022-12-06
0
🌾lvye🌾
𝚐𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚌𝚊𝚢𝚊 𝚊𝚚 𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞,, aryo🤨
2021-11-26
0
Najwa Aini
Diksi yg sangat manis kaka..suka banget aku..
2021-10-05
0