Menebar senyuman ke seluruh karyawan, Aruna melenggang menapaki satu persatu lantai gedung hingga akhirnya sampai di bagian lantai tertinggi. Sepertinya ini akan menjadi kejutan besar untuk Aryo, membawa kotak makan siang yang berisi makanan kesukaannya.
Aruna menghela nafas dalam, mungkin ini adalah awal yang bagus untuk memulai semuanya dari awal. Membangun rumah tangga yang harmonis, dan kembali memupuk sedikit demi sedikit kepercayaan yang semula sudah terkikis.
Perlahan Aruna mendorong pintu kokoh yang menjulang tinggi, kosong tak ada siapapun di sana. Apa mungkin Aryo pergi makan siang di luar? Aruna berdecak, mungkin dia terlambat.
Namun benda pintar milik Aryo teronggok di atas meja, dan jas hitam yang dikenakannya tadi pagi, masih tersampir di sandaran kursi.
Aruna berderap lebih dekat, alisnya bertaut, menyambar jas lain yang bertumpuk dengan jas Aryo. Perasaannya mulai tak nyaman, merentangkannya lebar-lebar, tangan Aruna bergetar hingga jas itu jatuh di lantai. Blazer wanita.
"Aku mencintaimu Mas..."
Seketika mata Aruna menoleh, samar suara manja menusuk dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Aruna melangkah, mendekati kamar pribadi yang tersedia di ruangan itu.
Aruna tertegun, dadanya sesak terhimpit bongkahan batu yang menikamnya dengan satu kali pukulan, seketika hancur berkeping-keping,"Mas Aryo..." Meremas dada dan segera berpaling dari pandangan yang membuatnya mati arang.
🌿🌿🌿🌿
Kilatan cahaya yang menyilaukan mata di langit yang gelap menyadarkan dirinya untuk segera beranjak meninggalkan tanah kuburan yang sudah berjam-jam lamanya ia sambangi. Butiran air hujan pun satu persatu mulai turun, meninggalkan basah kesegarannya.
"Arun pulang dulu Bude." Ucapnya hampir tak terdengar, meraba batu nisan yang sekarang ini rutin dia datangi. Aruna beranjak, menenteng tas jinjing yang di simpan pada bebatuan tak jauh disampingnya.
Suara petir yang menggelegar bagai teriak kesakitan dari hatinya yang di dera kehancuran. Jejeran pohon palm sebagai penghias jalan, satu persatu ia lewati, membiarkan guyuran hujan menyamarkan air matanya yang mengalir deras.
Decitan ban yang bergesek dengan aspal membuat Aruna terlonjak, ditambah lagi jeritan klakson yang memekik, membuat deru jantungnya berlomba dengan kencang.
"Kalau nyebrang hati-hati Mbak, nanti ketabrak!" Seru si sopir yang melongok di kaca yang dibiarkan terbuka.
Mobil hitam metalic itu hanya berjarak tiga puluh senti dari tubuhnya yang mungkin akan terpelanting jika si pengendara tidak menginjak remnya dengan kuat.
"Maaf Pak." Aruna menyibak rambutnya yang basah, segera membawa tasnya dan berlalu pergi.
"Mbak tidak apa-apa?" Seruan kedua dengan suara yang berbeda, lembut namun meninggalkan kesan ketegasan.
Aruna kembali menoleh, melihat sekilas laki-laki berkacamata hitam yang duduk di kursi penumpang. Mungkin itu si Tuan yang memiliki kendaraan mewah itu.
"Saya tidak apa-apa." Jawabnya dengan langkah terburu-buru.
Mengambil jalan pintas, akhirnya Aruna sampai di depan rumah mewah bercat putih bergradasi kuning emas. Langkah gontai ia menggeret pagar tralis yang menyembunyikan keindahan taman yang sudah dua tahun ini dia rawat penuh suka cita.
Menghabiskan waktu berjam-jam, merawat semua bunga dan rumput hias, demi menghalau segala sepi.
"Loh Bu, kenapa Hujan-hujanan begini, kalau sakit bagaimana?" Tutur Bi Mimin, pembantu rumah tangga yang satu terakhir ini Aryo pekerjaan untuk membantu membersihkan rumah.
"Sebentar Bibi ambilkan handuk dulu."
"Nggak usah Bi...," Menarik tangan Bi Mimin yang akan pergi,"... Pak Aryo sudah pulang?" Tanyanya, karena mobil yang dikendarai Aryo sudah terparkir di depan rumah.
"Sudah dari tadi Bu, tadi Bapak nanyain Ibu... tapi setelah mendapat telepon, Bapak langsung ganti baju lalu pergi lagi, sepertinya dijemput seseorang, katanya ada meeting dadakan."
Hatinya kembali tercabik, ingin meraung, berteriak, menjerit, meluapkan segala rasa yang dipendamnya sejak tadi.
"Kalau begitu saya ke kamar dulu."
"Bibi buatkan minuman hangat ya Bu?"
Anak tangga urung dia pijaki, menoleh perempuan sepuh yang akhir-akhirnya ini sering izin tidak masuk karena sakit. Matanya seakan berkata kalau dia siap dijadikan sandaran keluh kesah, berbagi suka dan duka yang tengah dirasakannya, tapi Aruna tidak bisa, biar luka ini dia telan seorang diri.
"Nanti Bibi antarkan ke kamar, Bibi juga sudah buat pisang bolen kesukaan Ibu." Lanjutnya lagi.
Aruna mengangguk,"Iya Bi."
Kepulan teh jahe dengan satu piring pisang bolen sudah tersaji di atas meja. Aruna hanya duduk, melihat tanpa sedikitpun ingin meneguk dan mencicipi lelehan manis dari coklat yang berpadu dengan pisang yang biasanya selalu nikmat dia rasakan. Semua terasa pahit.
Air matanya kembali meleleh, pisang bolen yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia rindukan, Bude Wati. Orang tua yang selama ini selalu menjadi sandaran keluh kesahnya.
"Bu...." Seru Bi Mimin dari balik pintu.
Diseka air mata kepedihan itu, Aruna beranjak membuka pintu. Mungkin Bi Mimin akan pamit pulang karena hari mulai merangkak gelap.
"Bibi mau pulang?" Tanyanya pada Bi Mimin saat pintu sudah terbuka lebar.
"Nggak Bu, Bibi tidak akan pulang, Bapak meminta Bibi untuk menemani Ibu malam ini."
Hatinya kembali tertusuk, Jadi dia tidak akan pulang malam ini???
"Di depan ada tamu Bu." Lanjut Bi Mimin membuyarkan lamunan Aruna.
"Siapa?"
"Katanya dari butik."
Mendengar kata Butik Aruna meragu, pasalnya dia jarang sekali membeli pakaian di butik, mempunyai kenalan orang butik pun dia tidak punya.
"Mau menemui saya?"
"Katanya begitu, apa Ibu mau menemuinya?" Tanya Bi Mimin ragu-ragu, melihat gelagat Nyonyanya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Sebentar lagi saya turun, suruh tunggu sebentar."
"Iya Bu."
Menuruni anak tangga satu persatu, Aruna menemui karyawan butik yang berseragam rapi dalam balutan kain batik,"Ada yang bisa saya bantu?"
"Dengan istrinya Pak Aryo?"
"Iya betul."
"Ini Bu...." Karyawan wanita itu menyerahkan kotak persegi panjang berukuran besar,"... ini pesanan Pak Aryo untuk Ibu."
Aruna menerima kotak itu, membukanya dengan perlahan. Sebuah gaun cantik yang pastinya dengan harga yang tidak sedikit.
"Pak Aryo pintar sekali memilihkan gaun, sepertinya pas sekali untuk Ibu."
Aruna tersenyum tipis,"Terima kasih sudah mau mengantarnya kesini."
"Sama-sama... ini memang sudah menjadi tugas saya. Apalagi Pak Aryo merupakan pelanggan tetap kami tiga bulan terakhir ini."
Pelanggan tetap, sejak kapan Mas Aryo suka ke butik??? Tanyanya dalam hati. Aryo tipe orang yang lebih suka berbelanja online, menurutnya lebih simple dan efektif, tidak banyak membuang waktu.
"Kalau begitu saya permisi dulu, semoga Ibu suka dengan gaun rancangan butik kami."
Lamunan Aruna buyar, melihat wanita itu yang sudah beranjak dari duduknya,"Oh iya, silahkan."
"Saya hampir lupa, saya ucapkan selamat ulang tahun, semoga Ibu selalu bahagia dengan Pak Aryo." Ucapnya sambil menangkup kedua telapak tangan didepan dada.
Aruna mematung, sedangkan karyawan itu tersenyum simpul, melihat wajah Aruna yang seperti kebingungan.
"Sepertinya Pak Aryo berhasil membuat kejutan untuk Ibu, karena beliau mengatakan kalau Ibu memang pelupa." Tambahnya lagi tanpa ragu.
Senyuman palsu terpaksa ia suguhkan, menutupi rasa kecewanya yang semakin dalam.
"Kalau begitu permisi Bu, mari."
Tubuh Aruna merosot, mencengkram kotak yang tak lepas dari genggamannya, tergugu tanpa suara.
Semua kesakitannya belum berakhir, bahkan baru saja akan dimulai.
"Siapa kamu di luar sana Mas?" Jerit Aruna dalam hati.
Dengan kasar Aruna menghapus air matanya, berdiri sekuat tenaga, mencengkram kotak itu dengan keras. Diam dan terus tersakiti, atau memilih pergi sebelum mati.
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Mrs.Kristinasena
tinggaliiiiiiinnn lelaki kaya gtu ..buang ajah ke neraka .kamu pantas utk bahagia ,Aruna..
2022-12-06
0
🌾lvye🌾
𝚝𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕𝚒𝚗!!!!!
2021-11-26
0
maura shi
jan lemah aruna,bakar aja gaunnya depan suamimu,q jd kesel ya kalo ada suami g bisa menghargai istri yg penurut,g mikir apa dia ena ena d luar sana istrinya kesepian&nangis nyesek mikir suami bajingannya
2021-11-15
0