"Masuk dulu yuk No?" Tawar Manda saat mobil yang dikemudikan Nuno berhenti di depan sebuah rumah mewah berpagar tinggi.
"Aku langsung pulang saja, udah gelap juga."
Manda melihat arloji cantik yang melingkar di tangannya,"Gimana kalau makan malem di rumah aku aja, Mama pasti seneng banget kalau kamu makan bareng kita." Bujuknya lagi.
"Lain kali saja, aku harus cepet-cepet pulang."
Manda berdecak kecewa, tapi apa mau dikata, dia tidak bisa memaksa.
"Ya udah kalau gitu, ati-ati dijalan, jangan ngebut."
"Iya."
Nuno meninggalkan Manda yang masih berdiri mengiringi kepergiannya. Bibir yang melengkung, dan mata yang berbinar, hari yang terasa menyenangkan dilaluinya bersama Nuno.
🌿🌿🌿🌿
Masuk pekarangan rumah yang luas, Nuno memarkirkan mobilnya tepat di samping motor sport yang kotor dengan percikan tanah. Entah dari mana motor itu berkelana, Jino memang si anak petulangan yang kesukaannya tidak bisa di tebak.
Sejenak Nuno termenung, bersandar pada jok yang yang terasa nyaman dia ajak bersantai. Pikirannya mengudara, memikirkan wanita yang bernama Aruna. Apa mungkin itu Arun???
Bagaimana bisa dia mengenali Aruna yang sekarang, jika selama delapan belas tahun ini dia tidak pernah berjumpa.
Dulu Arun adalah perempuan kecil dengan rambut dikepang dua, senyuman manis dan yang paling dia ingat adalah dekik di pipi sebelah kiri.
Nuno menegakan badan, menguntai memori beberapa jam yang lalu, apa dia memiliki dekik juga???
Sayangnya dia tidak memperhatikan sampai sejauh itu.
"Mas Nuno.... Mas... hellooo...." Suara ketukan jari di kaca membuyarkan lamunannya.
Segera ia turun, menyimpan pertanyaan yang masih belum terpecahkan.
"Betah banget dalam mobil, ngelamunin cewek ya?" Tuduh Jino, melipat tangan menerka tanpa kira.
"Ngawur."
"Terus ngapain dong?"
"Nggak ada terusannya.... ayo masuk, udah malem."
Jino menepis tangan Nuno yang hendak merangkul,"Baru juga keluar udah disuruh masuk."
Jino membuka telapak tangannya lebar,"Mas..." Cengar-cengir meminta sesuatu.
"Apa?"
"Pulus."
Nuno mengeryit,"Buat apa?"
"Makan angin."
"Itu mah nggak usah bayar De, gratis."
Jino menepuk kening,"Mas...."Mengejar Nuno, menghadangnya di depan pintu,"Buat makan di cafe."
"Makan angin nggak perlu ke cafe, di pinggir jalan juga bisa."
Jino berdecak,"Itu cuma pribahasa Mas.... ayo mana, lima lembar aja." Rengeknya.
Akhirnya Nuno mengambil dompet, mengeluarkan lembaran uang yang berjumlah lima lembar.
Jino terperangah, menggantungnya di udara,"Kok lima puluh ribu."
"Itu lima lembar."
"Tapi bukan sepuluh ribuan juga kali Mas."
"Terus maunya berapa?" Nuno tertawa melihat tampang Jino yang mengkerut seperti siput.
"Lembar seratus ribuan." Jawabnya enteng.
Nuno menggelengkan kepala, anak zaman sekarang, selalu menganggap sesuatu itu mudah untuk didapatkan,"Mas nggak punya uang cash, belum sempet ke ATM."
Rengekan Jino mulai terkendali, bergelayut seperti anak dibawah umur.
"Ayo lah Mas, pelit amat sih."
"Kenapa nggak makan di rumah aja sih, kita makan sama-sama... lagian ini malam belajar, kamu nggak boleh keluar rumah."
"Aih kolot banget sih.... ini tuh mumpung Mama Papah nggak ada di rumah, aku bakalan pulang sebelum mereka pulang kok."
"Memang pada kemana?"
"Kondangan."
"Ya udah kalau gitu makan sama Mas aja, kan ada Mbok Iyem yang masak."
"Aku suruh rebahan, kasian masak mulu."
Nuno bertolak pinggang, kelakuan adiknya yang bikin geleng-geleng kepala,"Ya udah kita makan di luar, ayo!"
"Hah?" Jino terbelalak.
Nuno yang sudah berlalu kembali menoleh,"Kenapa jawab Hah?"
"Kita.... makan berdua, serius?"
"Iya, memangnya mau ngajak siapa lagi, Mbok Iyem?"
"Mas kan baru pulang, pasti capek banget kan... biar aku cari makan sendiri aja, nanti aku bungkusin."
Alis Nuno bertaut, ada yang ganjal dengan jawaban Nuno yang menguntai banyak alasan,"Kamu nggak mau pergi sama Mas, sudah janji sama yang lain... mau pacaran,hem?"Cercanya.
Jino gelagapan,"Mas ini, ya nggak lah...." tertawa garing.
Berjalan mendahului,"Ayo pergi, aku udah laper banget." Tak mengindahkan wajah Kakaknya yang masih menyimpan curiga. Duduk dengan wajah di tekuk, Jino mengetikan sebuah pesan yang dia kirimkan kepada seseorang, gagal maning.
Dua puluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai disebuah Rumah Makan sederhana yang direkomendasikan Jino, yang katanya memiliki cita rasa yang mumpuni, enak di atas rata-rata, begitu dia menjabarkan dengan gaya lebay anak milenial.
Menempati salah satu meja, mereka duduk lesehan. Menunggu makanan yang baru mereka pesan, makanan yang didominasi masakan khas Sunda.
"Dijamin Mas bakalan ketagihan makan disini."
"Kamu sering makan disini?"
"Nggak sering, cuma pernah."
"Sama siapa?"
"Temen."
"Temen atau demen?"
"Temen Mas.... temen genk aku."
"Kata Mama pacar kamu banyak."
Jino mendengus,"Mama di dengerin, cewek-cewek yang deket sama aku tuh semuanya TTM and HTS"
"Jangan terlalu memberikan harapan, perempuan itu butuh status, jangan digantung terus, kasian."
"Mereka itu udah bahagia walau nggak dikasih status, kadang aku juga nggak ngerti,ada apa dengan mereka.... jadi ya aku nikmatin aja dulu."
"Kamu harus inget batasan, jangan sampai melakukan hal yang bikin Mama dan Papah malu."
"Colak colek dikit mah nggak papa kali Mas, asal jangan ampe bablas."
"Kamu ini..... jadi kamu nggak punya pacar?"
Jino cengegesan,"Punya tapi satu....tapi tenang, yang deket banyak, buat serep kalau yang atu kabur, masih ada stok buat gantinya."
Nuno mengacak rambut adiknya gemas,"Mas ke toilet dulu."
"Oke."
Dengan gaya tengil, Jino memperhatikan satu persatu pengunjung yang makan tak jauh dari mejanya. Memberikan nilai plus dan minus pada setiap wanita yang dia telaah dengan seksama.
Dan satu orang yang membuatnya terfokus lebih lama, seorang wanita yang duduk sendirian. Tanpa aling-aling dia berdiri mendekati.
"Mbak..." Perempuan itu menoleh,"... Mbak yang waktu itu di pemakaman kan? masih inget aku, yang menjatuhkan ponselnya Mbak itu loh."
"Oh..."
Belum sempat pertanyaannya dijawab panjang, Jino menjabat tangannya dan tersenyum lebar, dugaannya memang tidak pernah meleset, apalagi mengenali wanita cantik.
"Apa kabar ponselnya Mbak... masih bisa dipakai atau udah di lem biru?"
"Masih bisa dipakai."
Jino manggut-manggut,"Nama saya Jino... kalau Mbak?"
"Aruna."
"Nama yang bagus."
Bersamaan dengan itu seorang pelayan mendekati mereka,"Ini pesanannya Mbak."Memberikan kantong plastik putih yang berisi dua dus makanan didalamnya.
"Dan ini bill nya."
Jino langsung menyambar Bill dari tangan pelayan itu,"Biar aku yang bayar."
"Nggak usah."
"Ini tanda permintaan maaf aku karena Mbak menolak ponsel Mbak yang pengen aku ganti."
"Tapi beneran nggak usah..."
"Tenang aja Mbak, Mas aku yang bayar.... aku mah mana ada duit." Berbisik agar orang lain tidak mendengar karena gengsinya yang terlalu tinggi.
Aruna tertawa kecil, anak remaja yang benar-benar konyol.
Nuno muncul dari arah samping sesaat terdiam melihat Nuno yang bercengkrama dengan perempuan yang sehari ini membuatnya bertanya-tanya.
"Nah itu Kakak aku.... Mas sini." Jino melambaikan tangan, sontak Aruna pun menoleh.
Aruna memaku, lengkungan bibir yang tadi sempat menyembul, kini membias dari wajah yang tiba-tiba memanas.
"Mas kenalin, ini Mbak Aruna... Orang yang waktu itu aku ceritain, yang HPnya jatuh karena aku."
Aruna berdiri kikuk,"Pak Nuno."
Jino mengeryit, ikut berdiri di tengah keduanya,"Mbak Aruna kenal sama Kakak aku?"
"Kita ketemu di toko kuenya Manda tadi siang." Sela Nuno, mengabaikan tatapan tak percaya dari Jino yang nampak berlebihan.
Nuno meringis saat Jino menepuk bahunya dengan keras,"Waah.... jodoh memang tidak akan kemana ya, baru ketemu tadi, eh ketemu lagi."Celetuknya.
Keduanya berpandangan, saling menatap beberapa saat sampai akhirnya Jino kembali bersuara.
"Mbak makan bareng kita aja ya?"
"Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah pesan ini, mubazir kalau tidak dimakan."
"Heem sayang banget, tapi lain kali harus bisa ya."
Aruna hanya tersenyum,"kalau begitu saya permisi, senang bertemu dengan Pak Nuno dan Jino disini."
"Ini billnya biar kita yang bayar." Melambaikan selembar kertas yang sudah sejak tadi dia kuasai.
"Tapi..."
"Iya, biar saya yang bayar." Sela Nuno.
Aruna melihat keduanya bergantian, Kakak beradik yang memiliki kadar ketampanan yang berbeda,"Kalau begitu terima kasih banyak, saya permisi pulang duluan."
"Hati-hati ya Mbak... awas ada culik."
Lagi-lagi Aruna tertawa kecil, candaan nyeleneh seperti menakut-nakuti bocah ingusan.
Nuno tertegun, melihat dekik pipi yang membuat hatinya tak percaya, Arun...
"Mas..." Jino mengibaskan tangan di wajah Nuno,"....Orangnya udah pergi."
Nuno terkesiap dan saat itu juga meninggalkan Jino yang terheran-heran.
"Naksir ya?"
"Apa?" Mengambil duduk di depan mejanya yang sudah tersebar banyak makanan.
"Mbak Aruna."
"Apa sih kamu ini."
"Emang Mas nggak suka, dia cantik nomor sembilan loh."
"Jangan dibahas."
Jino menghela nafas, jiwa kelelakiannya menggelora,"Kalau saja Mbak Aruna seumuran sama aku, ya paling banter beda satu atau dua tahun, udah dari pertama aku jadiin pacar." Khayalnya melambung tinggi.
"Emang dia mau sama kamu?"
"Pasti mau, orang aku ini gantengnya nggak ketulungan."
"Tapi boke."
"Nggak usah bawa-bawa isi dompet, aku kan masih sekolah Mas." Gerutunya tak terima.
"Maka dari itu sekolah dulu yang bener, terus kerja, cari uang, baru mikirin cewek." Seraya memasukan ayam panggang ke mulut Jino yang akan kembali mengoceh.
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Elly Watty
dekik di pipi samakah artinya ma lesung pipi
2023-06-04
0
Mrs.Kristinasena
semoga Aruna dan Nuno ada jodoh...
2022-12-06
0
maura shi
jino jinoooo pen q karungin trs d bawa pulang deh km,lucu bat dah
2021-11-15
0