16. Gencatan Senjata

Karena tidak memiliki kegiatan berarti selain memasak di rumah, Ica ditawari kursus menjahit dan memasak dan ia langsung mengangguk antusias.

Lagipula, dia menolak mentah-mentah saat Lilian menawarinya beberapa brosur penerimaan calon mahasiswa baru perguruan tinggi prestise dengan alasan, "Ica males kuliah, Mama. Takutnya kepala Ica botak kebanyakan mikir. Ica sudah gak berminat sekolah lagi."

Alhasilah Ica ditawari kursus dua itu dan beberapa hari ini dibantu Gara memilihkan tempat kursus mana yang cocok untuk Ica.

Tepat ketika mereka sedang asyik membahas tempat kursus di ruang tamu, El pulang ke rumah setelah menghabiskan tiga hari menginap di apartemennya.

Malam ini, malam yang tenang untuk El. Amarahnya sudah surut. Berterima kasihlah pada kesibukannya di kantor, karenanya El kembali bersikap normal.

Langkahnya terhenti mendengar gelak tawa Ica yang bergeremincing disusul tawa keras Gara. Sedang apa mereka sampai tertawa seriang begitu?

Penasaran membawanya lebih dekat dan ternyata adiknya dan istri bodohnya melakukan hal konyol. El putuskan curi dengar saat namanya digaungkan enteng. Bersedekap. Menyender sebuah pilar.

"El kalau marah matanya mendelik." Ica memerankannya dengan apik. "Hidungnya kembang kempis kayak banteng. Terus badannya petenteng begini kayak preman."

Gara terpingkal-pingkal sampai setitik kecil air mata menyusup di celah pelupuk. Asli lucu sekali. Ica meniru gestur El dengan sangat baik.

"Jangan lupakan wajahnya yang memerah dan menyeramkan." Al menambahkan dengan tersendat-sendat karena tak berhenti tertawa.

"Apa benar aku seperti itu?"

Suara berat El mengejutkan dua kepala itu yang langsung menoleh kepadanya.

Gara seketika berhenti tertawa. Setitik takut dan bersalah di matanya, sementara Ica perlu bersembunyi di balik punggung Gara yang sejak tadi duduk karena bayangan cengkeraman tangan El di dagunya membuatnya sangat ketakutan. Takut hal itu diulangi El kepadanya saat pria itu marah.

"Bang, aku minta jangan berbuat kasar lagi kepada Ica. Dia perempuan. Tidakkah tindakan Abang terlalu pengecut menyakiti perempuan lemah?" Gara berkata demgn sangat serius dan ia benar-benar akan menghajar abangnya jika El melakukan hal lebih jauh dari sekadar mencengkeram dagu Ica.

"Aku rasa kau terlalu berlebihan, Al. Aku hanya bertanya, tidak mengajak gadis bodoh itu bertengkar. Lagipula suasana hatiku sedang baik sekarang, beruntung kalian tidak melihat kemarahanku hari ini."

Ica keluar dari persembunyian dan menatap El. El membalas tatapan Ica. "Apa benar marahku seperti itu, Ica?"

Ica dengan naif mengangguk. "Betul. El jangan marah lagi, ya. Ica takut."

"Asal kau tidak membuatku kesal saja. Ikut aku." Setelah mengatakan itu El beranjak dari sisi pilar, menuju kamar miliknya.

Ica menatap Gara bingung serta memilin jari dengan gundah. "Gara, apa Ica harus mengikuti El?"

"Lakukan. Lagipula Ica harus tidur. Ini sudah larut malam."

"Baiklah, selamat tidur Gara."

Gadis itu melambaikan tangan lantas berlari menyusul El. Gara menatap langkah mungil itu menjauh. Mengusap wajah, ia memastikan dirinya untuk tidak sakit hati.

Tiga hari abangnya menginap di tempat lain, tidak tahu pasti ke mana. Selama itu Gara tidak cemas dan senang dengan nasib Ica tanpa El di sekitar gadis itu. Sehingga Ica tidak perlu tidur satu kamar dengan El.

Namun sekarang pria itu telah pulang. Gara tak bisa tak khawatir. Bagaimana pun mereka sudah menikah, wajar tidur bersama, tetapi Gara tak bisa mengusir perihnya jauh-jauh.

"Sadar, Gara. Ica tidak ditakdirkan untukmu."

***

"El, Ica mau kursus jahit dan memasak," kata Ica begitu ia menerobos pintu kamar El. Kamar Ica juga pasca ia menikah dan itu terpaksa. 

"Sudah kubilang aku tidak peduli." El yang duduk di ranjang menatap Ica tajam.

"Oh, aku kira El mau tahu. Ternyata tidak. Tidak apa-apa," balas gadis itu santai yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Menjaga sejauh mungkin jarak supaya El tidak menyakiti Ica lagi.

"Aku tekankan sekali lagi, anggap kita dua asing yang tidak ada kewajiban di antara kita untuk mengurusi urusan masing-masing, camkan itu!"

Ica mengangguk.

"Dan jangan buka baju sembarangan di depanku!"

"Oke. Ada lagi?"

El menyipitkan mata. "Aku tanya dulu apa kamu paham dua yang aku katakan sebelumnya."

"Ica sedang mencoba ingat." Gadis itu menyentuh kepalanya. Berusah berpikir keras. "Tidak boleh mengurusi urusan El dan El tidak boleh mengurusi urusan Ica. Ica tidak boleh buka baju di depan El."

"Bagus. Pintar kau."

"Yeay!" Gadis itu terlonjak, berputar menyerupai seorang balerina menumpu satu kaki. Ia terlalu senang dipuji pintar. "El, Ica senang jarang ada yang memuji Ica pintar."

El mendengkus sinis, lebih tepatnya menyeringai antara geli dan sinis. Gadis ini antara naif dan bodoh setipis rambut saja.

"Lantas apa aku perlu memberimu hadiah setelah kamu melakukan dengan baik semua kata-kataku dan memujimu pintar?"

"Hadiah?" Ica berpikir keras. "Ica suka hadiah, tapi bibi dan paman jarang memberi Ica hadiah, kecuali pas Ica ulang tahun."

"Baiklah, begini saja. Aku akan memberimu hadiah setiap kali kau menuruti dan memahami kata-kataku sebagi bentuk kebaikan hatiku."

"Ica mau banget. Hadiah apa El?" Ica bertepuk tangan. Senyumnya begitu sangat cemerlang. Paling cermelang untuk hari ini.

"Terserah aku mau memberimu apa."

"Baiklah, Ica menantikannya dengan tidak sabar hadiah El. El ternyata baik, ya. Ica mengira El jahat. Ica suka sama El. Sama kayak Gara suka kasih hadiah. Ica jadi suka El sama Gara," ucap Ica amat polos.

El menyipit. "Apa kau selalu mengatakan menyukai laki-laki begitu gamblang?"

"Apa?"

"Kamu bilang menyukai Gara dan aku sekaligus. Apa begitu yang kamu lakukan ketika ada pria memberi kebaikan kepadamu?"

Kalimat El terlalu rumit melebihi teori termodinamika yang kadang Gara kerjakan ketika mereka belajar bersama. "Ica gak paham."

"Sudahlah." El mendengkus, mengapa ia perlu menanyakan perihal itu padahal sama sekali tidak penting.

"Dengar, aku bukan pria jahat. Tapi aku akan sangat marah dan kejam ketika seseorang melukai egoku. Di luar itu aku pria baik." El mengerutkan kening. Mengapa ia terlalu banyak bicara kepada gadis yang sama sekali tidak ia inginkan? Apa suasana hatinya sedang sangat baik sekarang, sehingga ia bersikap bersahabat kepada gadis itu tanpa sedikit pun meninggikan suara. Ya, El menyakinkan argumennya itu alasan yang tepat.

"Apa kita bisa menjadi teman, El?"

"Apa?"

"Iya, teman. Ica cuma punya teman dekat Re, Andi dan Gara. Ica senang kalau teman Ica bertambah lagi. Mau, ya?"

Gadis itu menangkup tangan, berharap lebih kepada El dengan mata berbinar-binar.

Dia terlalu imut. Seperti bayi tak berdosa.

Siapa pun selain El pasti akan luluh tak lama.

Namun El tak ingin mengakuinya. Ia berbeda dengan siapa pun itu dan El tak ingin teperdaya. Ia sudah mengukuhkan diri untuk tak ingin berurusan dengan gadis bodoh itu.

Menerimanya, sama saja El menyerah dan mengijinkan Ica masuk ke dalam hidupnya. Jelas El tidak suka itu.

"Tidak." El berkata dingin.

Ica menekuk bibir dan punggungnya membungkuk lesu. "Kenapa? Padahal Ica cantik, kok El. Bukannya orang-orang suka gadis cantik."

Pada saat itu El yang mendengarnya langsung meledak tawanya. Ica mengerjap. Ia tak mengerti mengapa El tertawa keras seperti tawa Gara saat Ica menirukan sikap El saat marah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!