"Ica! Sudah belum, Nak?" Bibi An berbicara di luar pintu kamar Ica. Semakin telinganya menempel pada papan pintu, kerutan dahinya kian berlipat ganda, pasalnya tak ada suara apa pun.
Semenjak ia menyuruh Ica memakai gaun pemberiannya sejam lalu, Bibi An tak mendapatkan kehebohan dari keponakannya.
Jarum pendek nyaris mendekati angka delapan. Sebentar lagi keluarga besar Barga Aditya akan datang. An sudah mempersiapkan semuanya sedetail mungkin. Dari makan malam super lezat dan rumah yang kinclong meski amat sederhana untuk didatangi pengusaha super kaya Barga dan keluarganya.
Tinggal Ica yang belum menampakkan diri. Satu-satunya orang yang dinanti pihak keluarga itu, bukan makan malamnya.
An khawatir. Ia mengungkit pintu dan kamar Ica gelap. An menekan sakelar dan An nyaris sesak napas. Keponakannya malah tidur ria.
"Ica!" Megafon seolah muncul di depan mulut An. Ia memanjangkan langkah, mengguncang tubuh berkepompong selimut itu.
Ica berguling-guling dan mendarat di lantai keramik. Ia membuka mata. "Ica gak bisa na—napas!"
An membuka selimut itu. Membantu Ica berdiri. Terhuyung sedikit saat kakinya menopang karena orientasinya hilang separuh.
"Sebentar lagi kamu akan bertemu calon suamimu dan kamu malah tidur?!"
"Ica lagi istirahat, capek mikir. Eh, gak tahunya ketiduran."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Ica mikir kalau nikah apa masih bisa main sama Re sama Gara."
"Bisa. Sekarang kamu mandi dan pakai gaunnya." An mendorong tak sabar keponakannya menuju kamar mandi di luar.
"Tunggu, Bi. Ica apa masih bisa sparing karambol sama Ujang sama teman-teman juga?!"
"Jangan banyak tanya Ica!"
***
El mengamati rumah satu lantai itu sesaat turun dari mobil. Wajahnya mencetak kebingungan.
"Orang yang kalian jodohkan padaku dari kalangan kelas bawah?" El menarik sudut bibir amat sinis.
"Lalu apa masalahnya?" tanya Barga.
"Kalian amat tahu kita ini borjuis. Mereka tidak sederajat dengan kita."
Bukan sebuah tonjokkan yang diberikan Bargaㅡmeski tangannya gatal sekali ingin melayangkan satu pukulanㅡmelainkan tepukan keras saja di bahu El.
"Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk mengkotak-kotakan orang, kasta atau pun kelas ekonomi. Gadis yang kami jodohkan adalah gadis baik dari keluarga baik pula. Kalaupun kau ingin protes, tidak ada gunanya. Sebab keputusan Papa final."
El mengembuskan napas kasar. Luapan emosinya kentara membingkai wajahnya. Lilian mengusap punggungnya, sebagai ibu tahu benar perasaan anak sulungnya.
"El, Mama minta untuk malam ini saja bersikaplah ramah. Ada baiknya untuk tidak berprasangka buruk dulu. Kamu pasti akan menyukai gadis ini."
"Oke." El akan menurut untuk malam ini saja.
Pintu depan terbuka, menampilkan sepasang suami istri sebaya dengan Barga dan Lilian. Mereka menyambut hangat lantas menyilakan mereka masuk. El tidak habis-habisnya mengernyitkan dahi kala ruang tamu itu terlalu sempit untuk seorang El yang terbiasa beradaptasi di tempat amat luas dan mewah tentu saja.
"Suatu kehormatan sekali, gubuk kami disinggahi keluarga paling terpandang di kota ini."
"Han, tidak perlu merendah begitu. Tidak ada yang namanya tinggi rendah jika menyangkut persahabatan. Segalanya setara. Sama."
Dua pria dewasa itu tertawa. Hanya El yang tidak tahu menahu, letak lucunya di mana.
"Ngomong-ngomong, Marisa di mana?" Lilian bertanya.
Ah! Namanya Marisa.
An ke dalam dan kembali beberapa detik dengan seorang gadis bergaun kuning kunyit. Sungguh mata El tersakiti melihat warna norak itu. Meski ia akui gadis ini cantik, terpoles riasan minimalis, tampak rapuh sekaligus polos. Akan menyenangkan jika gadis ini El jadikan mainan, meremukkannya untuk kesenangannya saja.
Gadis ini mencium takzim punggung tangan Barga, Lilian dan terakhir El. Dia mematung di depan El. Matanya yang bulat menyeleksi wajah El sangat berani. El tidak pernah ditatap seintens ini penuh selidik tanpa ada rasa takut. Kebanyakan perempuan akan segan dan tak jarang jual mahal. Namun gadis ini ... berbeda.
"Namaku Marisa Fillan. Panggilannya Ica. Kelas 12 IPS. Dua bulan lagi mau lulus. Hobi manjat pohon. Nonton adu cupang di rumah tetangga. Nonton kartun juga. Main. Masak juga. Golongan darah AB. Warna kesukaan pink, tapi Bibi An malah suruh pakai gaun warna kuning. Jelek banget, kan kayak yang ngambang di kali. Sering Ica lihat kalau lagi mancing di kali. Aku suka ayam goreng digoreng krispy sama tempe goreng. Kakak namanya siapa?"
El melongo. Setelah membahas hal jorok lalu beralih ke makanan, apa tidak menjijikan! Perkenalan yang sungguh panjang dan tak ada satu pun yang bermanfaat. Ia seperti berkenalan dengan bocah lima tahun. Ia menengok ke arah orang tuanya, hanya senyum yang ia dapat. Apa tidak salah ia dijodohkan dengan gadis otak udang ini?
"Elazar Rayana."
"Panggilannya apa? El, La, Zar, atau Ray, atau Ana?" Ia terkikik. "Namanya kayak kucing betina punya Re."
Re siapa lagi? El sungguh kehilangan kata-kata. Astaga! Kurang ajar sekali bocah ini menertawakan namanya.
"El saja." El berkata dingin.
"El, suka pegang tangan, ya? Kok tangan Ica dipegang terus?"
El menurunkan pandangan. Tangannya dan tangan Ica saling melekat. Ia menghempaskan tangan Ica kasar.
"Sebaiknya kita makan malam dulu."
Tuan rumah membawa mereka ke ruang makan yang tak kalah sempitnya di mata El.
Selera makan El lenyap hanya dengan melihat rahang gadis itu bergerak naik turun tanpa capai mengunyah dengan kecepatan dua kali lipat manusia normal. Amat lahap, seolah dunianya hanya untuk makanan.
Tidak ada obrolan yang berarti di meja makan. Suara denting sendok dan garpu lebih mendominasi. El heran, bagaimana bisa kedua orang tuanya mampu makan dengan baik, dengan pemandangan menjijikkan gadis itu.
Sesi makan selesai. Barga menyuruhnya untuk mengobrol dengan Ica berdua saja. Terpisah di teras rumah. Menatap jalanan membuat El tergelitik ingin kabur saja. Sayang, ia sudah berjanji untuk bersikap baik khusus malam ini.
"Aku tidak menyukaimu," ucap El tak berbasa-basi. Ia sudah muak dan ingin malam ini cepat berakhir dengan pengambilan keputusan cepat pula.
"Ica juga tidak suka El."
El menoleh. Tersentil penasaran. Tidak ada satu pun wanita yang tidak menyukainya. Semua wanita yang mendekatinya memujanya. Namun, lain hal dengan gadis ini. Bocah ini mungkin terlalu bodoh melewatkan pesona El. Bisa saja jual mahal. Lain di mulut lain di hati. El mengernyih sinis. Munafik.
"Kenapa?" Tanpa sadar El bertanya.
"Wajah El tidak enak dilihat, seram kayak tuyul di teve. Hih!" Lengkap dengan kedikan bahu dan ekspresi horor.
"Apa kau bilang?!" El memajukan wajah. Refleks, Ica memundurkan kepala. Mengerut takut.
"El, tambah seram kalau marah!" Ia mendorong bahu pria itu. Namun, El geming saja.
"Dengar, bocah. Selama ada di dekatku, jangan pernah berani melukai egoku dengan mulut cerewetmu itu, apalagi menentangku. Terima akibatnya jika kamu membangkang. Mengerti!"
Ica menepuk bahu El simpati. "Ica gak tahu kenapa orang-orang suka sekali marah-marah pas bicara sama Ica. Re sering marah-marah, dia sahabat Ica. Paman dan Bibi juga. Sekarang El yang baru bertemu Ica." Gadis itu menggeleng dramatis. "Apa orang-orang akhir-akhir ini hobi marah-marah karena punya masalah. Ck ... Ica prihatin. Hidup kok dibawa susah. Gak kayak Gara. Dia selalu tersenyum setiap kali Ica bicara. Tapi tadi ia marah-marah juga. Pasti punya masalah. Rumah sakit pasti penuh kalau mereka sering marah-marah."
Melihat dari kesan pertama saja sangat jelas bahwa gadis ini memang oon, wajar jika lawan bicaranya mudah marah-marah. Sebenarnya isi otak gadis ini apa? Kenapa dia terlalu polos. Sampai El takjub, masih ada ternyata gadis remaja, namun bertingkah sepolos bocah balita.
"Kau pernah pacaran?" tanya El tiba-tiba.
Ica menggeleng. "Kata Re, pacaran itu enak. Tapi, Re suka menangisi pacarnya. Ica jadi mikir pacaran itu cuma bikin menderita saja. Ica gak mau nangis. Ica gak mau pacaran."
"Lalu apa arti menikah menurutmu?"
"Nikah?" Ia mengetukkan dagu. Berpikir. "Paman Han bilang kalau nikah itu menyatukan dua keluarga, penyempurnaan agama dan membuat keturunan. Dari semua alasan itu. Ica cuma mau bayi. El tahu gak caranya? Kita nikah, yuk El sekarang juga. Ica udah gak sabar pengin bayinya cepet keluar."
El panas dingin. Orang tuanya memang sudah tidak waras. Jelas-jelas Kiara lebih segalanya, cantik, cerdas lulusan universitas ternama dan seorang model. Bagaimana bisa mereka lebih memilih gadis tidak jelas ini ketimbang Kiara? Astaga, El terlalu pusing memikirkannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments