Ica menekuk bibir sepanjang hari, gara-gara Gara mendiamkannya di sekolah. Setiap didekati cowok itu melengos. Re yang duduk di sampingnya acuh tak acuh. Sibuk belajar buat ujian daripada mengurusi Ica.
"Re tahu tidak, Gara kenapa?"
Re angkat wajah. "Mana kutahu? Kamu gak cerita penyebabnya."
"Gimana Ica mau cerita, Ica saja tidak tahu."
Sebenarnya Re pengin banget belajar di perpustakaan, atau kalau perlu di pojokan kuburan saja. Tidak apa-apa mistis. Yang penting tidak ada Icanya. Pasalnya gadis itu bukannya belajar, malah mengajak Re bercakap. Padahal yang dibutuhkan Re sekarang itu konsentrasi penuh. Sayangnya, Ica terlalu tulalit untuk mengerti Re.
"Re, cerita, dong. Kenapa diam saja?"
"Aku sedang belajar, Ica. Jangan ganggu!" Re menahan geram di balik lengkungan manis bulan sabit bibirnya yang dipaksakan.
"Lebih baik kamu juga belajar, Ica. Kamu butuh ekstra belajar dua kali lipat dari murid pada umumnya jika kamu ingin lulus," lanjut Re lagi.
"Ah, iya." Dan gadis itu pun mulai membuka lembar bank soal.
Re bersyukur untuk sementara ini ia bisa bernapas damai, hingga akhirnya negara api menyerang. Buku di tangan Re melayang. Ia menimpuknya kasar ke kepala orang yang baru datang membawa berisik. Re mencak-mencak. Ia lebih brutal dari seorang warga +62 menangkap maling.
"Dasar kentut platipus! Gak tahu apa lagi belajar! Seenaknya gangguin aku!"
"Adaww!"
Ica bertepuk tangan. Ia suka keributan. Baginya, Re dan Tukang Tipu lucu. Kayak kucing oren sama kucing oren milik tetangganya. Tidak pernah akur.
"Dipisahin, kek malah tepuk tangan!"
"Abis kalian lucu setiap ketemu selalu bentrok."
Mengharapkan Ica membantunya adalah sebuah kesia-siaan yang hakiki. Tukang Tipu menyesal sempat mengharapkan Ica membantu. Ia harus berusaha sendiri untuk menyelamatkan nyawanya dari terkaman singa PMS. Ia pun merebut buku setebal buku ensiklopedia di tangan Re dan barulah ia bisa selamat sentosa.
"Lu pacar gue, mana ada orang pacaran saling baku hantam begini!" Tukang Tipu protes. Warna merah paripurna bergumul di wajahnya, kesal luar biasa.
Re tak kalah kesal. Ia kembali duduk. Mengabaikan entitas Tukang Tipu. Tukang Tipu berdecak, ia ambil tempat di bangku panjang itu di sisi Ica, berseberangan dengan Re yang kini memilih menunduk, memainkan pulpen. Sibuk melanjutkan kegiatan. Padahal tidak, sedang dalam mode abai saja.
"Tukang Tipu, Re itu sedang banyak masalah jadi marah-marah."
"Harus gue bilang, nama gue Andi."
"Ica lupa."
"Hobi banget lu ngatain gue Tukang Tipu?!"
"Abis Andi suka nipu Re. Bilangnya jemput jam empat, tapi ternyata jemputnya jam lima. Terus Andi suka ngasih bunga ke Re, tapi bunganya plastik. Andi juga suka ngasih Re harapan palsu. Andi juga suka nipu bu guru, bilangnya ngerjain PR sendiri, padahal hasil nyontek. Pernah Andi telat, tapi bilangnya macet, tapi Ica lihat Andi makan di kantin sebelum masuk ...."
"Cukup!" Andi angkat tangan, tidak kuat mendengar daftar dosanya dijabarkan amat enteng dari mulut spesies langka yang Andi masih herankan keberadaannya di kolong langit yang bernama bumi ini.
"Ica belum selesai ...."
"Iya gue tahu. Jadi gak usah disebutin satu-satu."
Andi beralih menatap Renata. "Re, gue minta maaf. Gue tahu gue salah gak balesin chat lu semalam padahal gue lagi on."
"Jangan maafin Re, Tukang Tipu nanti nipu lagi." Ica menyela cepat.
"Diam, bisa gak sih! Gue ngobrol sama Re, bukan lu!"
"Re ...." Andi memelas menatap Re lagi.
"Re, kita beli cendol, yuk? Ica haus," sambar Ica cepat sebelum Andi kebagian menyelesaikan ucapannya.
Andi menggebrak meja, dua gadis itu berjengit. Asap gaib keluar dari hidung Andi bak banteng yang melihat Ica sebagai bendera merah siap diseruduknya.
"Gue lihat Gara di perpus. Mending lu ke sana aja daripada kesabaran gue habis dan lu nyungsep ke tong sampah."
"Benarkah?" Mata bulat Ica makin membola dan pendarnya makin berkelip-kelip serupa lampu disko. Ica melesat secepat jet tempur meninggalkan dua temannya yang masih bersitegang dan sedang meluruskan benang permasalahan mereka yang kusut masai.
Ica menabrak siapa pun yang ia lewati dan gumaman maaf meluncur tanpa rasa bersalah sepanjang ia berlari di koridor. Tak peduli umpatan kekesalan mereka, hanyalah gaungan semut tak kasat mata di telinga Ica. Sebab Ica terlalu senang bertemu Gara, jadi keadaan sekitar tidak dianggapnya.
Sampai di perpustakaan, Ica ngos-ngosan. Namun ia tak menunggu napas dan detak jantungnya normal dulu, sebab ia langsung menjelajahi perpustakaan besar itu dengan harapan bisa menemukan Gara. Ya, Andi, benar. Gara di sana, tidak sendirian. Bersama Sana, gadis yang Ica kenal sebagai gadis cantik berotak cerdas. Partner Gara di olimpiade sains tahun kemarin.
"Gara," panggil Ica.
Gara mengangkat kepala. Senyum cowok itu langsung lesap menemukan Ica muncul di depannya. Ica heran. Gara begitu mudah menarik simpul senyumnya pada Sana dan tertawa riang dengannya. Sementara pada detik ke sepuluh, Gara tak menarik sedikit pun bibirnya saat menatap Ica. Yang didapat Ica cuma tatapan cuek yang asing bagi Ica.
"Gara, Ica mau ngomong."
Tapi yang diajak bicara malah diam membeku tanpa mau lagi memandang balik. Sana bingung terjebak di dalam situasi tegang ini.
"Gara, salah Ica apa?"
Tiba-tiba Gara bangkit. Merengkuh pergelangan Sana, sesuatu yang mengejutkan. Lantas menggeret Sana melewati Ica dan pergi dari sana.
Ica cuma memandang dua sosok itu tanpa tahu sebenarnya apa yang terjadi. Namun Ica kesal luar biasa. Ia tak pernah dicueki seintens ini oleh Gara.
Ica akhirnya menangis dan karena perbuatannya, ia diusir oleh penjaga perpustakaan.
***
"Gara! Lepas!" Sana berontak begitu mereka agak jauh dari perpustakaan.
Gara pun melepas tangan Sana ketika kesadarannya merasuki raganya. Ia mengusap wajah dan menggumam maaf lirih.
"Kamu kenapa, sih? Kayak bukan kamu banget tadi."
"Memang seperti apa yang kamu maksud? Aku, ya begini kayak biasa. " Gara terkekeh sumbang, bermaksud menutupi perasaannya yang acak kadut.
"Nggak, kamu nggak akan sedingin itu pada Ica. Gara yang kukenal selalu pasang senyum setiap ada Ica. Kamu kenapa? Kamu ada masalah sama Ica."
Gara bercekak pinggang, ia membuang muka. Menutupi ekspresi frustrasinya, meski usahanya percuma sebab Sana masih bisa melihatnya. Gara menarik dalam-dalam napas mengisi kekosongan paru-parunya yang mendadak mengerut.
Pasca ucapan Ica yang menurut Gara tak masuk akal di lapangan futsal kemarin, tiap sekon yang dilalui Gara sungguh tidak senyaman biasa. Konsentrasinya berhamburan nakal tak mau menurut ketika diajak fokus pelajaran. Alih-alih berusaha, Gara justru menyerah dan berakhir rebahan di kamar tanpa bisa melakukan apa-apa.
Sampai sekarang, marahnya masih awet. Luar biasa malah, meluap-luap tak mau enyah. Ia sadar betul perasaannya. Mengapa dan jenis apa yang dialaminya, tetapi ia belum berani mengungkapkannya terang-terangan.
"Gara?! Kenapa diam saja?" sentak Sana, menatapnya sengit.
"Tidak apa-apa Sana." Lamunan Gara buyar. "Cuma masalah kecil. Aku ke kelas dulu, ya," lanjutnya lantas ia melangkah.
Bisa saja Sana menyusul dan menahan punggung lebar Gara supaya tidak menjauh. Mendesaknya jujur, tapi Sana tahu Gara tipe cowok keras kepala yang akan mempertahankan mati-matian apa yang ia jaga. Termasuk omongan dan perasaan.
Sana tahu Gara berbohong. Masalah kecil yang menimpa Gara dan Ica, tidak akan membuat Gara sekusut dan sedingin ini. Kalaupun iya, mereka tidak akan diam-diam seekstrem itu, sampai-sampai Gara cuai pada Ica. Maksimal hanya kesal dan tak butuh bermenit-menit untuk saling melempar senyum.
Bahkan Sana sudah hapal betul kedekatan mereka, bagai kakak adik kandung yang tidak pernah terpisahkan hingga ia tahu sedetail apa sifat-sifat mereka. Terkadang hal itu menumbuhkan cemburu bagi Sana yang menyukai Gara.
Kalau begini, sudah dipastikan seratus persen akurat bahwa mereka begitu karena masalah besar. Amat besar.
Sana tersenyum hatinya ringan sekarang. Masalah apa pun itu, semoga saja bisa diperpanjang. Syukur-syukur bertahan lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments