10. Pedih

"Aku menghamili Kiara."

Kata-kata laknat yang tak senonoh itu seharusnya tidak pernah meluncur enteng dari mulut El kalau tahu akan berakhir buruk seperti ini, dengan Lilian yang terbaring pingsan di rumah sakit. Didiagnosis dokter serangan jantung ringan beberapa saat lalu, dan kini mamanya tidur pulas setelah mendapatkan penanganan intensif.

Apakah ini semacam senetron picisan, di mana nantinya ia akan diancam oleh sebuah wasiat yang meluncur terbata-bata di bibir kering Lilian pasca ia sadar nanti. Menyuruh El menikahi Ica supaya Lilian bisa damai di akhirat kelak.

Sungguh ia yakin bahwa adegan itu amat klise dan memuakkan. Ia berdoa semoga saja Lilian tidak tega mempraktikkan adegan yang ribuan kali ia tonton itu dan menjadikan El kelinci percobaan.

Ketukan sandal jepit menggema di ruang rawat VIP itu, menyadarkan El dari segala pikiran antah-berantah. Pelakunya tentu saja Barga, melotot, menancapkan tatapan seruncing ujung panah, berpose selayaknya penguasa tirani hendak menghukum kaum proletar yang baru saja berbuat kesalahan fatal.

Bahkan, saking paniknya Barga karena Lilian pingsan, ia tak peduli penampilannya tidak etis ditunjukkan di muka umum. Sandal jepit, kaos usang serta celana kargo kesayangannya di rumah sudah sobek di bagian lutut. Tidakkah ia mirip gembel sekarang? Orang awam tidak akan percaya jika pria mirip gembel itu pernah mengakuisisi perusahan-perusahaan besar dari balik kursi singgasananya.

"Jadi, apa pembelaanmu sekarang, Elazar Rayana?"

Bukannya menjawab, El memutar sudut matanya empat puluh lima derajat mengarah ke tempat Gara yang berdiri sekaku tiang infus. Tatapannya berbalas pandangan bersalah.

Ingatkan El untuk menjambak rambut adiknya begitu di luar ruangan ini nanti.

"El bersumpah tidak melakukannya, Pa?" Sebagai pria jantan, ia akan jujur. Sebab jujur adalah harga diri seorang pria dan berbohong sama saja pengecut karena berlindung di balik kedok kebohongan, itu artinya sama saja takut kejujuran akan menghancurkannya.

Mata Barga segaris, ia belum mau meletakkan kepercayaan di lidah anaknya.

"Mungkin El pernah bercumbu dengan Kiara, tapi percayalah El tidak pernah kelepasan sampai bertindak sangat jauh."

"Bercumbu?!" Barga makin melotot. Sesak napas. Gara sudah stand by di samping Barga begitu melihat ayahnya limbung.

El jelas panik. Tindakannya hendak membantu papanya harus batal sebab Barga angkat tangan duluan.

"Dengar, Pa. Kiara tidak hamil. Apa yang tadi El bilang itu semua hanya ...." Mendadak El menelan timah panas, menelan ludah seret. "Hanya supaya perjodohan itu batal dan El bisa menikahi Kiara dengan dalih palsu itu."

"Pergi!"

"Jangan salahkan aku saja. Semata-mata ide itu dari Al. Harusnya Papa juga salahkan dia!" tunjuk El berang pada adiknya.

Barga menghempas tangan Gara. Sama-sama melemparkan tatapan murka stadium akhir. "Kalian anak-anak yang bodoh! Mementingkan kepentingan sendiri ketimbang keinginan orang tua. Inilah akibatnya yang kalian perbuat. Untung saja Mama kalian hanya pingsan, coba kalau mati apa kalian akan menyesalinya? Sebaiknya sebelum bertindak dan berucap, timbang untung ruginya, sebab akibatnya dulu. Papa kecewa pada kalian?!"

"Dan kau El ... tidak ada toleransi lagi. Kau harus menikahi Ica begitu ia lulus, itu hukumanmu untuk menebus kesalahanmu pada mamamu. Keluar dari sini dan jangan bertatap muka dengan papa dan mama. Kalau perlu minggat saja sana! Kami tidak ingin melihat muka hina kalian selama seminggu!"

Kedua kepala itu tertunduk, berat. Seolah seluruh beban berteleportasi seluruhnya ke kepala.

Benar saja, begitu mereka keluar ingatan El menjambak adiknya terlaksana baik. "Andai saja aku tidak menuruti ide gilamu, tentu keadaan tidak akan serunyam ini!"

"Bagaimana bisa kau memiliki ide tak senonoh itu di balik batok kepalamu yang jenius itu?! Kau harus mati!"

Gara meringis perih. Rambutnya yang legam ia yakini gugur dalam pertarungan tak elit ini. Pekikan meminta lepas tidak akan mempan sebab El sudah menyumpal lubang tulang lunak di kedua sisi kepalnya rapat-rapat.

Terpaksa Gara harus menjotos perut atletis El sekuat tenaga dan itu berhasil mengendorkan penyerangan abangnya. Namun, pertarungan belum berakhir sampai di sana.

Mereka perlu berguling-guling dulu di koridor rumah sakit untuk memenangkan supremasi mereka. Supremasi apanya dengan cara bertengkar anak kecil begitu?! Bah! Pasien dan perawat malah menganggap mereka topeng monyet kerasukan arwah manusia.

Ronde ketiga berakhir ketika seorang perawat memanggil satpam dan satpam bertubuh tinggi hitam tampak seperti penjaga pintu neraka itu, menenteng kerah mereka selayaknya kucing udik yang baru saja mengganggu kenyamanan warga rumah sakit itu.

***

Rumah megah itu sudah seperti tempat asing seminggu ini. Mengalahkan kuburan. Dingin, sepi dan mencekam. Gara menyebutnya begitu karena tak lagi ada sapa dan senyum hangat dari orang tuanya. Menimbulkan kengerian pula setiap kali mata bersua tak sengaja. Bagaimana tidak, kalau yang ia dapatkan pelototan hina seakan ia bakteri jahat. Bahkan bakteri lebih beradab, lebih tepatnya tahi burung malah.

Papanya benar-benar tidak main-main dengan ucapannya tempo hari di rumah sakit. Mamanya juga ikut-ikutan, meski ia yakin pernah melihat sorot tersiksa saat ia melihatnya selintas.

Gara bertaruh, Barga sudah menghasut Lilian untuk tidak menganggap kedua jagoannya lagi. Lebih ekstremnya lagi, mereka sudah lupa pernah membuat mereka dan melahirkan mereka, dan kini kedua orang tuanya melakukan perjalanan jauh demi honeymoon season entah ke berapa puluh.

Sementara abangnya, komunikasi benar-benar terputus. El lebih memilih tinggal di apartemennya tanpa sekali pun menunjukkan eksistensi hidungnya di rumah ini.

Lantas ia pribadi bagaimana? Gara tak kalah pusing. Tak lebih baik dari tumbuhan yang layu. Ia menyesali idenya. Bukannya melepas jerat perjodohan itu, malah mengerangkengnya lebih ketat lagi, hingga ia tak bisa bernapas leluasa lagi.

Pusingnya makin berdentam-dentam, ia perlu hiburan. Ponsel di sakunya ia keluarkan dari jeans, mendial teman yang miringnya mengalahkan menara Pisa. Andi.

"Yo, Bro!" Sapa di ujung sana menyahut begitu tersambung.

"Lo di mana?"

"Gue lagi main biliar. Fyi, Bro gue sama Re. Tahu artinya? Ada Re pasti ada Ica."

"Gue ke sana." Tanpa babibu, Gara melesakkan ponsel ke saku, melesat bagai peluru. Tak sabar menemui rindunya.

***

Pergerakan saham di layar proyektor bagai semut berbaris mengangkut bongkahan gula di mata El. Ia sudah memijit pelipisnya beberapa kali, tapi tak kunjung sembuh. Apa ia perlu meminum aspirin saja?

Percuma ia mengikuti rapat ketika pikirannya tidak ke sana. Ia angkat tangan dan menggumam, "Berhenti." Seketika manajer keuangan yang sedang menjelaskan di depan mengatupkan bibir rapat-rapat.

Keringat dingin langsung berduyun-duyun keuar dari pori-pori kulit arinya. Membasahi kemeja hijau yang dipakainya. Pria berkaca mata itu sibuk menelisik bagian mananya dari kata-katanya yang membuat muka El berubah tak sedap dipandang. Ia yakin tidak ada kesalahan fatal, ia sudah berusaha berhati-hati dan memilih diksi tepat.

Ia takut pertaruhan nasib karirnya sedang di ujung jurang. Bukan hanya pria itu saja yang kalut, melainkan seluruh mata yang mengikuti rapat bulanan itu seketika menahan napas. Kemarahan El bukan hal bagus untuk dijadikan kenangan manis.

"Kalian lanjutkan rapat tanpa aku." Lantas pria yang sudah menanggalkan jas dan dasinya itu, meninggalkan kursi dengan Kafka tergopoh-gopoh mengikuti jejak El yang gesit.

Tuntutan pekerjaan yang memaksanya selalu memangkas waktu seefisien mungkin membuatnya selalu cekatan dalam segala hal. Termasuk cara berjalan, yang terkadang sulit diimbangi bawahannya.

"Kau batalkan semua pertemuan hari ini, kepalaku terlalu pusing untuk mengurus semuanya. Lalu kabari aku hasil rapat tadi. Aku ingin menyendiri."

"Baik, Tuan."

Tanpa tedeng aling-aling ia kabur dari kantor. Mengendarai lexusnya menolak disopiri. Ia bahkan membuat si sopir nyaris pipis di celana ketika El meminta kunci mobil lengkap dengan kegusaran yang lepas kendali.

Mobilnya membelah ibukota berdebu dan terik itu dengan kecepatan meninggi. Ia butuh afeksinya yaitu Kiara untuk menyembuhkan gundah gulananya. Perjodohan tak masuk akal orang tuanya menutup celah El untuk bisa lolos dari kurungan itu.

Harapannya menipis setiap waktu. Ia bahkan tak yakin memiliki harapan sekarang. Di satu sisi ingin membangkang dan mengabaikan restu orang tua saja. Lalu menikahi Kiara dan hidup bahagia dengan anak-anak lucu kelak. Namun, restu di sisi lain juga penting bagi El. Ia tak mau hidup tidak tenang terganjal oleh ketidakridhaan orang tua.

Kasihan lampu merah. Benda mati itu bahkan tidak pernah berbuat dosa, tapi selalu dicaci maki El dari balik kemudi. Apalagi macet di beberapa titik, mulutnya sudah menjelma menjadi tempat pembuangan sampah sekang.

Apartemen elit tempat Kiara tinggal adalah aset pribadi milik El. Ia menyerahkan aset itu cuma-cuma pada Kiara. Dia mungkin berpikiran modern, tetapi soal hubungan dengan lawan jenis ia masih memegang adat ketimuran yang memandang tabu hidup bersama tanpa ikatan.

Sementara ia tinggal di apartemen lain dekat kantor. Setidaknya dengan berjauhan ia bisa mengendalikan diri untuk tidak memakan buas Kiara ketika kesempatan sekecil apa pun itu datang.

El menghormati Kiara sebagai wanita yang terhormat, ia masih memiliki akal sehat untuk tidak merusak kesucian Kiara tanpa kepastian begini. Sialan! Memikirkan perjodohan dan kekecewaan Kiara mendatangkan perih lagi.

Setelah memarkirkan mobilnya, ia berlari cepat. Tanpa membuang waktu menaiki lift menuju apartemen kekasihnya.

Bayangan berada di hangatnya pelukan wanita itu menari lincah di kepalanya. Lalu berakhir berbagi kecupan cinta jadi desert paling memabukkan di seluruh dunia. Kiara adalah rumahnya. Tempat ia melepas segala penat dan gemuruh kalutnya. Sial! Ia sudah tak sabar.

Tahu-tahu ia sudah berada di depan pintu kekasihnya, menekan pin kombinasi ulang tahun wanita itu dan pintu terbuka. Empat tahun berpacaran, tidak ada namanya rahasia di antara mereka. Bahkan yang tersembunyi pun El tahu sekali, ukuran dalaman wanita tersebut.

Senyumnya yang jarang muncul itu dan hanya Kiara yang kerap mendapatkannya, melindap selaras dengan asumsi jelek yang parkir di otaknya ketika melihat pantofel lain jungkir balik bersama heels merah tidak pada tempatnya.

Ia buru-buru melepas pantofel dan memasuki lebih dalam apartemen yang lengang itu dan yang lebih membuat garis kerut El berlipat-lipat adalah banyaknya pakaian berserakan di lantai menuju kamar tempat Kiara biasa tidur. Pakaian wanita dan ... pria. Timah panas perlahan diguyurkan di kepalnya

Kaki panjangnya dengan gusar melangkah menuju pintu itu, gemetar memutar kenopnya, lantas membukanya kasar. Mata El yang memerah langsung tertuju pada ranjang yang tak jelas bentuknya itu sedang dijadikan pergumulan panas. Tubuh El melemas.

Terpopuler

Comments

Bunga🌞

Bunga🌞

shock berat..

2025-01-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!