"Maaf, Tuan. Tuan harus memenuhi undangan makan malam Tuan Barga malam ini."
El berdecak. Meletakkan ipad dengan kasar ke meja. Memandang tajam asistennya, Kafka.
"Orang tuaku pasti sudah tidak waras, menjodohkanku dengan anak kecil."
Kafka tak berkomentar. Ia memandang bosnya tanpa ekspresi apa pun. Sudah kebal akan segala sifat bosnya yang arogan dan lain sebagainya. Bahkan hati dan kupingnya sudah tak kaget lagi ketika pria itu melontarkan bentakan dan intimidasi.
"Bisakah kau menundanya dengan alasan aku ada pertemuan penting lainnya?"
"Maaf, Tuan. Tuan Barga sudah memperingati saya untuk tidak menuruti alasan apa pun dari Tuan. Konsekuensinya adalah pemecatan diri saya."
Elazar kembali berdecak. Meski enggan mau tak mau El harus mematuhi setiap keinginan kedua orang tuanya. Jika tidak, mereka tak akan segan mengutuknya jadi batu ginjal. Sebereng-brengseknya El, sebanyak apa pun tingkah kedua orang tuanya yang suka sekali mencampuri urusannya dan dia membenci itu, El tetap menyayangi mereka.
"Okay. Aku akan datang!" katanya menyerah. Pria dua puluh tahun itu bangkit. Menuju jendela besar kantornya yang mewah. Merenggangkan ikatan dasi yang terasa mencekik leher. Lalu memasukkan tangan pada kantong celana bahan. Memandangi hiruk pikuk perkotaan yang tiap waktu tidak pernah menurun.
Pria berambut undercut itu mengembangkan paru-paru. Mengisinya dengan udara segar guna mengusir frustrasi jauh-jauh. Memikirkan perjodohan, membuat pikirannya makin ruwet. Jauh lebih memusingkan dari perebutan tender.
Mau ia bawa ke mana hubungannya dengan Kiara, jika ia menikah bukan dengan dirinya. Sudah empat tahun ia menjalani pacaran dengan Kiara. Tentu saja ia mencintai gadis itu. Janji-janji hidup bersama dalam ikatan suci pun sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Sayang sekali, empat tahun hubungan mereka, belum juga membuat kedua orang tuanya luluh dan memberi restu.
Dia akan mencari cara untuk menggagalkan rencana pernikahannya segera sebelum Kiara tahu. Lalu menyakinkan orang tuanya bahwa hanya Kiara Fianda, satu-satunya gadis yang pantas untuk mendampinginya sampai tua.
***
"Aku ingin menikah ... aku ingin menikah ... ingin ingin nikah dengan cowok gak jelas .... Semua semua semua dapat dikabulkan. Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib. Hei! Maling-maling jambu!"
"Ica!"
Langkah riang Marisa seketika terhenti ketika panggilan akrabnya diteriaki. Tahu-tahu ia dihadang teman sekelasnya, Renata.
"Kamu mau nikah?!" Re melotot, nyaris bola matanya menggelinding di bawah kaki kalau tak disangga kelopak mata.
Ica mengangguk mantap.
"Sama siapa?" Re terlalu kepo.
Ica menggeleng naif.
"Kok gak tahu? Gimana, sih?"
"Kata Paman Han, cowoknya mapan."
Dahi Re berkerut semakin penasaran. "Kamu hamil, ya?"
"Enggak! Ica gak hamil!" Ica mengibaskan tangannya, gestur membantah.
"Tapi kok bisa nikah! Kan kita lulusnya masih dua bulan lagi?"
Ica mengetuk dagu. "Aduh! Ica lapar!" rengeknya tiba-tiba sambil memegangi dahi.
"Kok jadi, lapar?" Re semakin dibuat bingung.
"Iya, Ica lapar kalo kebanyakan mikir."
Re berdecak. "Elah, pertanyaan segampang itu gak akan menguras isi otakmu!"
"Re, jangan marah." Telunjuknya bergoyang gestur bak ibu yang menegur anaknya. "Marah menyebabkan hipertensi, bikin cepat mati."
"Kamu doain aku cepat mati? Huaaa ... jahatnya!" Re bercekak pinggang. Tak terima.
"Ica gak berdoa. Ica gak lagi menengadahkan tangan."
"Augh akh! Gelap!" Re lelah.
"Re, bego! Siang-siang begini dibilang gelap. Hua ... jangan-jangan Re buta!"
Re menepuk dahinya. Mempertanyakan kewarasannya sendiri, mengapa ia bisa awet berteman dengan Ica yang polosnya melebihi pantat bayi. Namun bagaimanapun juga Ica gadis baik, tidak munafik di belakang, tidak seperti beberapa gadis yang berteman hanya untuk mutualisme saja. Ia apa adanya.
Itulah mengapa Re betah berteman dengan Ica semenjak kelas satu SMA. Meski apa adanya dirinya terkadang menumbuhkan ambisi Re untuk menceburkan Ica ke dalam kubangan empang. Atau minimal mencekokinya dengan jamu galian singset. Saking geramnya Re menghadapi kepolosan Ica.
***
Ica bingung. Penjelasan pernikahan yang disampaikan Paman Han kemarin terlalu rumit untuk bisa dicernanya.
Penyatuan dua manusia berlainan jenis. Penyatuan dua keluarga berbeda. Penyempurnaan agama. Membuat keturunan, sebagai penerus keluarga. Lalu sederetan apalah-apalah yang lainnya.
Maka dari itu, ia datang ke klub futsal. Minta pencerahan kepada bank curhatnya sekaligus buku berjalannya Ica. Kalau Ica ingin tahu apa-apa, ia selalu lari ke dia.
Ica melongokkan kepala di sela pagar kawat besi. Sambil menghitung kepala yang sedang menyepak bola.
"Tukang tipu, pencuri bolpoin, tukang gombal, tukang palak, tukang ngemis ...," tunjuk Ica mengabsensi anggota ekskul futsal tanpa menyebutkan nama asli karena Ica lupa nama mereka. Yang ia ingat cuma dosa besar mereka saja.
Ica berseru riang. Melompat-lompat heboh, menemukan bank curhatnya jadi kiper.
"GARAGARAGAR!" Ica melambaikan tangan.
Yang dipanggil namanya menyahut. Ia keluar dari garis pertahanannya. Tidak peduli bola telah menembus jaringnya dengan mudah.
Timnya kompak mengumpat. "Kampret, lu Gar!!!"
Dan cuma dibalas Gara dengan kalimat, "Gue, sih owh aja." Santai cenderung datar.
"Ada apa, Ica cari Gara?" tanyanya setelah sampai di depan Ica tanpa penghalang. Lengkap dengan lengkungan bibir yang amat manis.
"Ica mau curhat Gara."
"Duduk dulu, gih."
Mereka masuk ke lapangan futsal. Duduk bersila di pinggir lapangan. Gara memberikan botol ponarisweat dan diterima Ica antusias.
Ica meminumnya. Beberapa teguk. Ia menyeka mulut, keluar desahan, "Ah!" Ketika minuman dingin itu meluncur di tenggorokannya. Lantas ditutup kata, "Segarnya!"
"Jadi Ica mau curhat apa?"
"Ica mau nikah."
Gara tersedak ludah. Terbatuk kronis sampai keluar air mata. Ica menepuk punggung Gara, lebih tepatnya memukulnya. "Hua! Gara kena paru-paru basah?!"
"Ica! Aku gak apa-apa. Cuma kaget dengan apa yang kamu bilang barusan. Apa benar?" katanya setelah batuknya berangsur mereda.
"Iya, Garagaragar."
"Ica jangan bercanda!" Gara menusuk Ica dengan bola matanya yang tajam. Yang ditatap sayangnya gak peka kalau lawan bicaranya sedang menahan amarah mati-matian.
"Ica serius. Kata Paman Han, Ica disuruh nikah."
"Sama siapa?" Gara mendesak.
"Ih, Re juga tanya begitu waktu Ica bilang mau nikah. Kalian ini nyebelin! " Ica ngambek.
"Sama siapa, Ica?!" Tanpa sadar Gara mengguncang pundak Ica dua-duanya. Ia terlalu kalut sampai lupa Ica kesakitan.
"Gak tahu. Paman Han gak cerita. Sakit Gara!"
Napas Gara tak beraturan. Tiba-tiba sesak. Kesadarannya datang begitu Ica selesai bicara dan merintih. Gara seketika melepasnya. Ia buru-buru bangkit. Berjalan menjauh, tanpa menghiraukan muka beloon Ica. Tidak kembali ke lapangan, justru setengah berlari pergi entah ke mana.
"Gara! Ica, kan mau tanya tentang pernikahan. Kok pergi!"
Boro-boro Gara menyahut, menoleh saja pun tidak.
Ica manyun parah. Kesal, dua temannya sama sekali tidak membantu.
"Ih, Gara kenapa, sih?! Gara tidak pernah marah begini sebelumnya pada Ica."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments