7. Ungkapan Perasaan

Mobil yang ditumpangi dua insan itu berhenti di depan pekarangan rumah Ica. Gara mematikan mesin. Urung turun. Sebab wajah Ica yang larut dalam bunga mimpi terlalu menarik untuk dilewatkan.

Abaikan dekorasi decapan dan iler yang menyusup tak tahu diri di sudut bibir Ica. Gara bukan orang lain, yang akan mengernyit jijik lantas kabur. Gara tetaplah Gara yang sudah terlanjur terjengkang ke kubangan bernama ketidakwarasan semenjak ia menatah nama Ica di hatinya.

Mau seburuk apa pun tingkah ajaib Ica, tetap di mata Gara Ica selalu menggemaskan. Ia menerima kekurangan gadis itu apa adanya. Katakanlah ia sudah gila. Memang. Memilih bibit yang di mata orang lain di bawah kualitas daripada bibit-bibit lainnya yang unggul.

Di saat pilihan lebih bagus ketimbang Ica bergentayangan di sekitarnya; cantik, semampai, pintar, berdada busung, pantat busung, bibir busung pula, dan busung apalah-apalah yang lainnya. Gara tak gentar  bertahan dengan pilihannya, hanya satu dan itu akan selalu Ica.

Malangnya, nasib buruk mengetuk pintu kehidupannya. Mempertemukan Ica dan abangnya pada garis takdir. Perjodohan.

Gara tahu sulit baginya untuk menerima. Bagaimana bisa ia yang memiliki cinta tulus, tidak diberi kesempatan untuk memiliki. Malah Tuhan menghadirkan orang lain yang menolak mentah-mentah perjodohan itu. Tragisnya orang itu abangnya sendiri. Kenapa bukan dia yang Engkau pilih, Tuhan?

Tidak patut Gara mempertanyakan keadilan Tuhan, tetapi mau bagaimana lagi, ia tetaplah manusia. Tempatnya salah dan kurang. Lumrah jika ia terkadang protes atas ketidakpuasan.

Napasnya tertarik lemah. Menghentikan aksi ilegalnya mencuri lihat Ica dan menyingkirkan sejenak perih yang sempat mengeyel tak mau pindah dari hatinya.

"Ica, bangun kita sudah sampai," lirihnya seraya menepuk pelan buntalan gembil pipi Ica.

Ica menggeliat. Merenggang tangan, tak sengaja mencolok mata Gara. Pemiliknya tak sadar, sibuk mengerjap. Memandang Gara sayu. Sementara Gara menyimpan perih dalam diam.

"Sudah sampaikah?"

"Iya," jawab Gara, menyipitkan mata satu. Sebelah kiri.

Ica melepas sabuk. Membuka pintu dan keluar gontai. Setengah jiwanya masih tertinggal di jurang alam sadar. Buru-buru Gara keluar, membantu Ica berjalan. Khawatir gadis itu tertidur berbantal tanah dan lecet sana-sini.

"Ica," panggil Gara lirih. Ia menahan tubuh Ica tepat di tengah-tengah pekarangan.

Ica menggumam asal. Ia menatap Gara, tak berdaya dengan kantuknya.

"Aku mohon Ica menolak perjodohan itu."

Ica menggeleng kencang. "Ica mau bayi, Gara. Satu-satunya cara biar bayinya cepat keluar ya nikah, kan? Ica mau perempuan. Biar Ica bisa dandani dia setiap hari. Pakaiin baju-baju lucu. Hih, Ica gak sabar Gara." Lengkap dengan ekspresi gemas.

Gara mengubah raut menjadi emosional. "Menikah tidak semudah yang kamu pikirkan, Ica! Berpikirlah dewasa. Kamu bukan bocah lima tahun yang menganggap bayi adalah boneka! Sadar tidak, keputusanmu itu hanya akan mendatangkan penderitaan untukmu. Untukku juga! Paham?!"

"Gara masih marah sama Ica."

Di tengah keremangan bolam kuning yang kehilangan separuh daya, Gara melihat embun mengelip-ngelip melapisi netra coklat itu. Kantuk Ica kontan melindap.

Gara membuang muka. Menusuk dinding pipi dalamnya dengan ujung lidah. Menyugar gusar rambutnya.

"Aku marah Ica. Marah mendengarmu akan menikah dengan abangku. Marah aku tidak bisa berbuat lebih."

"Gara!" Ica memeluk ketat lengan Gara. Mendongak dan membiarkan bulir-bulir di matanya terjun bebas.

"Gara jangan marah lagi. Ica sedih lihat Gara gak mau bicara sama Ica lagi. Ica sedih Gara mengabaikan Ica. Gara mau apa, bilang sama Ica. Nanti Ica kasih, biar Gara gak marah lagi."

Kelemahan Gara. Air mata Ica. Tidak mampu mempertahankan marah lama-lama. Menyakiti Ica sama saja ia menyakiti dirinya sendiri. Tak seharusnya ia melimpahkan seluruh kesalnya pada Ica. Gadis ini tak salah apa-apa.

Yang harusnya ia salahkan adalah dirinya sendiri. Mengapa ia tak sejak dulu menyatakan isi hatinya kepada Ica begitu ia sadar keganjilan hatinya adalah sebentuk perasaan cinta.

Andai ia bergerak cepat dan mengabaikan ragu, tidak akan ada namanya perjodohan. Barangkali, ia bahagia sekarang bisa bersama Ica.

Gara menelan saliva susah payah. Sudahlah berandai tak akan mengubah keadaan dan menyesal tidak akan membalikannya ke posisi yang ia inginkan. Ia menyentuh pundak Ica. Menunduk sedikit karena kesenjangan tubuh. Menatap dalam manik bulat itu, mentransferkan berjuta nano-nano perasaannya.

"Gara sayang Ica," ungkap Gara, tak terselip sedikit pun keraguan.

Ica mengedip. Meloloskan gerimis terakhir.  "Ica juga sayang Gara."

"Gara suka Ica," akuinya lagi. Kini lebih memerih.

"Ica juga suka Gara."

"Gara cinta Ica."

"Ica ...." Gadis itu menggantung kalimat di ujung lidah. Mengedip menunjukkan ekspresi bingung kentara.

"Ica juga cinta Gara."

Gara mengerjap. Sudut bibirnya berkedut, tak tahan menampung bahagia. Namun itu tak jadi terbit sebab Ica memotongnya dengan ucapan, "Ica cinta Bibi An. Cinta Paman Han juga."

Gara dipukul kecewa. Ia sadar bahwa makna cinta yang dimaksudnya sangat awam bagi pemahaman Ica. Gadis itu mengganggap bahwa cinta Gara sama halnya dengan kasih sayangnya terhadap dua sosok berjasa besar dalam kelangsungan hidup Ica. Dua cinta itu porsinya jelas berbeda.

Namun Gara tak memiliki cukup waktu sekarang untuk menjelaskan cintanya yang akan diproses rumit oleh otak Ica, terlebih waktu yang dibutuhkan pasti tak akan sebentar.

Menghela napas, Gara melepas Ica. "Kamu harus masuk. Sudah larut malam."

"Gara tidak marah pada Ica?"

"Tidak lagi." Gara berkata, bonus dengan senyuman lemah yang dipaksakan.

"Yeay! Ica senang." Gadis itu melompat. Benar-benar melupakan kantuknya.

"Ica!" Tahu-tahu Han muncul di ambang pintu tanpa keduanya sadari kapan munculnya.

Ica menoleh. Ia berlari menghabiskan sisa separuh perjalanan ke ambang pintu.

"Makasih, ya sudah antar Ica."

Demi kesopanan, Gara mendekat. Ia mengulas senyum. "Sama-sama, Paman"

"Paman tidak menyangka kamu anak bungsu Barga."

Tak tahu lagi Gara membalas apa selain mengangguk.

"Saya pamit, Paman."

"Silakan."

Satu hal yang nyaris terlupa, Gara berbalik lagi. Ia berkata, "Bolehkah saya berangkat bersama Ica besok ke sekolah?"

"Kenapa kamu minta izin segala? Sudah biasa, kan? Tidak perlulah minta izin segala."

"Iya, Paman saya undur diri." Gara menunduk sekilas dan meninggalkan tempat itu. Membawa beban di pundaknya yang tampak lunglai.

Lambaian tangan Ica dan ucapan perpisahan, "Dadah Gara!" Jadi pengiring kepergian Gara.

Ica nyengir ketika ia merasakan tepukan lembut di kepalanya.

"Pergilah tidur. Jangan lupa cuci tangan dan kaki sebelum bobok."

"Siap, Paman."

Han mengikuti setiap lompatan kaki Ica amat riang masuk ke dalam rumah. Ia sendiri masih ingin bertahan dengan pikirannya selepas mencuri dengar obrolan keduanya.

Mulanya Han menunggu kepulangan Ica di ruang tamu berteman secangkir kopi. Lalu ia mendapat kabar dari Barga bahwa Ica akan pulang bersama anak bungsunya. Lantas ketika deru mobil mengisi ruang sunyi suasana malam syahdu itu, Han buru-buru mengintip dari jendela. Menunggu isinya keluar.

Begitu mereka keluar, dari situlah Han mengetahui bahwa anak bungsu Barga adalah Gara. Teman akrab Ica yang selama ini tulus menerima kekurangan Ica.

Lantas lebih kagetnya lagi ketika pemuda itu mengungkapkan perasaannya. Han saat itu menahan napas, tak tahu lagi harus berbuat apa selain menunggu isi pembicaraan habis.

Kini pun, kagetnya masih belum hilang. Masih tak percaya kenyataan bahwa ternyata masih ada lelaki yang mencintai ponakannya tanpa melihat kekurangan Ica.

Lalu setelah ini apa?

Han menekan kerutan tua di antara alisnya. 

Masihkah perjodohan tetap dibiarkan pada koridor semestinya, apa tidak?

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!