6. Alsagara Raksana

"Ada apa ini?"

Lilian tergopoh kembali ke dapur begitu ia mendengar tangis keras Ica meluber sampai ke ruang tengah. Ia melirik heran Ica dan anak bungsunya bergantian, lalu sorotnya jatuh pada Gara. Menyipit tajam, menuduh Gara sebagai tersangka utama.

"Apa pun yang di pikiran Mama, Al tidak melakukannya."

"Memang apa yang mama pikirkan?" Lilian bingung. "Lalu mengapa Ica menangis?" tanyanya mengganti topik. Ia mendekati Ica, memeluk gadis itu sambil mengelus punggungnya naik turun.

Gara mengedik bahu sambil menggeleng bingung. Pertanyaan itu juga masih menjadi misteri baginya.

"Ica kenapa menangis, Nak?"

Lemparan pertanyaan Lilian tidak disambut Ica. Justru intensitas tangisnya masih stabil.

"Al tanya, mengapa Ica bisa ada di sini?"

"Al kenal Ica?" Lilian malah melempar tanya pada Gara, bukannya menjawabnya.

"Ica teman Al, Ma. Beda kelas."

Ekspresi Lilian berganti cerah. "Bagus kalau begitu. Mama tidak perlu memperkenalkan kalian."

"Tunggu! Mama belum menjawab pertanyaan Al. Mengapa Ica bisa ada di sini? Mama kenal Ica? Bagaimana bisa?"

Lilian mengulum senyum. Baginya pertanyaan Al—panggilan khusus anak bungsunya di rumah ketimbang memilih nama Gara—bagai diinterogasi pihak berwajib.

"Tentu saja, Mama kenal Ica. Karena Ica akan menjadi menantu pertama di rumah ini."

"Menantu?" Gara masih belum bisa terbebas dari lingkaran bingung yang memerangkap.

Lilian melengkungkan bibir ke atas, memandang Gara keibuan. "Iya, Ica calon kakak iparmu sekaligus calon istri  El."

Gara mendelik. Syok berat.

***

Hadirnya anggota baru di meja itu, masih belum diterima Gara. Terlebih fakta mengejutkan beberapa waktu lalu yang tidak disangka-sangkanya, menjerumuskannya ke arah takdir buruk yang menampar pipinya bolak-bolik.

Al atau Gara. Apalah terserah. Memandang satu-satu orang yang tidak mengerti perasaannya yang kini tengah paceklik. Lebih tepatnya mereka tidak peka.

Papanya dengan santai berkelakar dengan mamanya di sela makan. Ica yang begitu bahagia menjejalkan tiap sendok ke mulut padahal sisa suapan sebelumnya belum habis tertelan. Giginya serupa marmut. Mengunyah lucu tanpa capai.

"Eh, El. Enak tidak semur ayamnya? Ica, lho yang masak. Dia pintar sekali memasak. Menurut mama, sih enak banget. Sudah sangat cocok jadi mantu keluarga kita."

Cerocosan mamanya mental dari telinga El. Bahkan ia tak bereaksi. Ia hanya memainkan sendok ogah-ogahan. Nafsu makannya menguap tak biasanya. Sejak kepulangannya ia menekuk wajah setelah adegan kagetnya melihat Ica pertama kali di rumah ini usai.

Gara mengawasi abangnya yang melirik Ica. Sudut bibirnya menarik sinis dan jijik. Gara tahu benar, abangnya membenci gadis di sampingnya. Lalu mengapa jika tak saling suka harus dipaksa tetap pada jalur pernikahan?

"Mama dan Papa harus membatalkan perjodohan ini!" Begitu Gara menjatuhkan ultimatum, hanya tiga orang yang memandangnya tak mengerti. Sementara Ica, sudah dibilang, makanan jika dipertemukannya, segalanya sudah tidak ada arti lagi.

"Coba berikan alasanmu Al." Barga melupakan isi piringnya dan menaruh seluruh atensinya pada Gara.

"Kalian tidak lihat, Ica masih kecil. Dia terlalu polos masalah pernikahan. Belum lagi cita-citanya kelak akan terbatasi dengan adanya pernikahan. Kalian tidak bisa memaksakan keinginan kalian di atas penderitaan Ica."

El menjauhkan kepalanya dari bertopang dagu. Malasnya lenyap, berubah senyum antusias. "Apa yang dikatakan Al benar, Pa. Sesuatu yang dipaksakan hanya akan mengundang keburukan. Al, kau memang adik paling mengerti sedunia."

Barga menghela napas. "Usia Ica sudah pantas untuk menikah. Soal pemikirannya yang terbatas, memang akan menjadi hambatan. Tapi pernikahan dan seiringnya waktu, akan membuat Ica mengerti dan memberinya  pelajaran tentang arti dewasa sesungguhnya."

Gara menyeringai sinis. "Bagaimana dengan hati? Perasaan tidak bisa dipaksakan, Pa. Bang El mencintai Kak Kiara. Bagaimana jika bukan bahagia yang didapat, melainkan sengsara. Mereka bertiga akan sengsara."

"Mencintai adalah penerimaan. Seperti mama dan Papa yang bermula dari perjodohan. Berat memang, tapi kami belajar untuk saling menerima kehadiran masing-masing dan terbukti sekarang, pernikahan kami awet hingga kini," jelas Lilian ikut ambil bagian.

"Masalahnya aku tidak mau menerima dia." El angkat suara.

"Mencintai artinya belajar menerima. Sama halnya dengan hobi, mustahil kita mencintai sesuatu hal tanpa belajar mengenal dan menerimanya, bukan? Cobalah menerima Ica. Cinta pasti akan tumbuh karena terbiasa menerima keberadaannya di sisimu."

Masalah lainnya selain El tidak mau belajar menerima adalah ia menolak konsep pemikiran papanya yang berseberangan dengan prinsipnya yang percaya akan cinta pandangan pertama.

Mencintai tak segampang lidah mengucap. El bukan seorang pria yang mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, ia menjatuhkannya pada Kiara. Selamanya, pikirnya. Satu-satunya wanita yang berhasil menjerat hatinya hingga ia lupa daratan dan berani memikirkan pernikahan.

Menyingkirkan Kiara dari hati El akan sulit. Bahkan menggantinya dengan wanita lain yang lebih-lebih dari Kiara tetap tidak akan pernah pantas. Apalagi penggantinya Ica, sungguh lebih tidak pantas lagi.

"Katakan pada Al, apa yang membuat kalian getol menjodohkan Ica dan Bang El sampai kalian tidak mau menerima argumen Al?!"

Bukannya ikut keras kepala, kumis Barga malah bergetar ketika ia tersenyum. Keras kepala tipikal Al sama halnya dengan El dan dirinya tentu saja yang mewarisi. Kedua anaknya tidak akan berhenti berdebat apabila belum menemukan kesepakatan yang memuaskan mereka.

Barga sendiri juga tidak keberatan untuk menjelaskan pelan-pelan sebab batu saja bisa berlubang jika dihujani tetes air. Hati sekeras apa pun akan lumer jika diselesaikan lewat jalan kelembutan.

Pria lima puluh lima tahun itu pun membuka sejarah panjang persahabatannya dengan kedua orang tua Ica dan kematian mereka dengan tak lupa diawali intro 'pada suatu hari yang cerah' serta ditutup amat apik dengan kata 'tamat'.

Reaksi pertama Gara adalah mendengkus dan ia tak habis pikir kelakuan kolot orang tuanya.

"Kalian pikir, dengan menjodohkan Ica, dia akan bahagia? Sungguh kalian keterlaluan!" kecam Gara keras. "Tidak bisakah kalian memberi Ica kesempatan memilih keinginannya sendiri?"

"Ica!" Gara memanggil Ica dan ditanggapi kelinglungan gadis itu.

"Katakan padaku kamu menolak perjodohan ini!"

Ica benar-benar tidak mengerti. Pikirannya hanya dipenuhi orang tuanya pasca Barga mengungkit mereka di meja makan. Hatinya terasa tidak nyaman. Niat untuk mengisi ulang piring pun sudah hangus. Yang dia inginkan cuma merindukan orang tuanya.

Ketika teman-temannya dijemput ayah mereka, Ica dipaksa gigit jari. Ia berakhir pulang sendirian naik angkot. Meminta Paman Han antar jemput ke sekolah pun tidak bisa berjanji, ia terlalu sibuk bekerja menjadi seorang buruh bangunan.

Saat Re bisa bercanda dengan orang tuanya, Ica harus puas bercanda dengan paman dan bibinya.

Saat Re dengan santainya menceritakan momen berharganya bersama ayah ibunya, Ica cuma mendengarkan dengan tekun dan menekan sendirian kerinduan tanpa mau membaginya. Ia menderita menahannya selama ini, tapi ia bingung, bagaimana cara mengeluh.

Satu di sudut terkecil hatinya menginginkan bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga utuh. Namun, Ica tak bisa bermimpi muluk seperti itu. Kata Paman Han, Tuhan lebih sayang orang tua Ica, jadi Tuhan membawa kedua orang tuanya ke tempat bernama surga. Hanya orang-orang baiklah dan patuh pada Tuhan, yang bisa ke sana. Mereka jelas tidak bisa kembali ke dunia sebanyak apa pun tangis Ica dikorbankan.

Untuk itulah, Ica berjanji ingin menjadi orang baik supaya bisa menyusul kedua orang tuanya kelak. Agar Ica bisa merasakan cinta dan kasih sayang orang tua itu seperti apa. Sayangnya, entah kapan. Tunggu Tuhan memanggilnya dulu.

"Ica!" panggil Gara sekali lagi lengkap dengan sentuhan di pundaknya.

Ica mengedip. Jiwanya kembali ke raga setelah bergumul dalam lamunan.

"Ica mau pulang, Gara. Ica sudah kenyang. Ngantuk juga."

Perdebatan di meja makan kali ini, diputuskan menggantung tanpa titik temu yang pas. Perhatian pada Ica lebih penting.

Barga menyuruh El mengantar Ica pulang. Jelas El menolak. Kepalanya dihantam pening berdenyut-denyut. Pilihan bagus baginya adalah mendorong kursi dan melangkah ke kamar dengan alasan itu.

Gara mengajukan diri. Bahkan tanpa diizinkan terlebih dahulu, ia memegangi lengan Ica dan membawanya keluar.

"Tunggu, Al. Tas Ica di kamar."

Lilian mengambil tas dan menyerahkannya pada Gara tepat di ambang pintu. Pasutri itu bertahan di sana menunggu mobil yang dibawa Gara keluar gerbang.

Mereka sama-sama menghela napas nyaris bersamaan.

"Makan malam yang buruk," keluh Lilian.

"Dua anak kita yang keras kepala." Barga tak mau kalah.

"Apakah keputusan kita keterlaluan, Pa?" tanya Lilian.

"Daripada kita memberi restu pada El dan Kiara. Jelas papa tidak mau El tersakiti nantinya kalau tahu apa yang sudah dilakukan Kiara."

"Kenapa tidak Papa jujur saja?"

Setiap membahas hubungan El dengan wanita itu, umur Barga serasa cepat memendek. Berasa umurnya melipat dua kali.

"Kau lupa, Ma. Anakmu itu keras kepalanya minta ampun. Dia tak akan mudah percaya tanpa bukti. Bahkan, papa yakin ada bukti pun dia akan terus menyangkalnya. Dia sudah terbutakan oleh cinta yang salah. Cinta yang tidak sehat. Cinta yang mengandalkan nafsu dan obsesi semata."

"Sudahlah, Ma. Papa pusing. Kita bobo aja, ya?" Dua hutan Amazon bernama alisnya melengkung tinggi naik turun.

"Biar mama pijitin."

"Ada bonusnya, dong." Matanya mengerling jail.

"Si Papa, ih. Sudah tua juga!" Lilian memukul lengan Barga plus paras malu-malu kucing dan Barga hadiahi istri kesayangannya dengan rangkulan hangat. Menuju kamar tentu saja.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!