13. Pernikahan

"Saya terima nikah dan kawinnya Marisa Filan binti Herman Prasetyo dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

Ijab qobul sudah beberapa jam yang lalu, tetapi dengungnya masih saja menempel di kepala Gara.

Seluruh gairah hidup Gara telah kabur dan ia tidak berminat untuk mempertahankannya. Pasrah, tanpa berkeinginan untuk melakukan apa pun. Selayaknya robot tanpa hati. Cuma satu yang sedang ia pegang teguh, bersikap biasa dan berlagak tidak terjadi apa pun.

Sejauh ini ia cukup baik berakting segalanya normal. Bahkan orang tuanya saja tidak curiga perubahan sikapnya karena patah hati. Sebulan pasca ujian dan seminggu setelah kelulusan. Gara meminimalisir pertemuan dengan Ica. Tidak ikut banyak andil dalam mengurusi pernikahan El dan Ica. Sebab orang tuanya sudah melimpahkan semuanya pada WO terpercaya dan inilah hasilnya pesta yang meriah di ballroom hotel bintang lima.

Gara tahu tindakannya menghindar, menyakiti Ica. Sakit memang melihat terkasih terluka karena sikapnya. Namun ia perlu menata hati juga, agar tidak lebih parah sakitnya. Agar tangis pengecutnya tidak lagi kurang ajar keluar.

Lantas bagaimana jika rencana mengambil studi ke luar negeri terlaksana, apakah Ica akan semakin sedih dan membencinya karena meninggalkan Ica beberapa tahun ke depan? Gara sungguh tidak sanggup membayangkannya. Namun jika ia tak pergi, lebih sakit lagi hatinya menerima pemandangan kedua sejoli itu merajut bahtera pernikahan setiap hari. Gara belum mau terbiasa. Gara belum mau ikhlas sepenuhnya.

Pandangannya hanya menuju ke satu titik dan itu ke tempat Marisa berdiri di pelaminan. Ica sangat cantik memakai gaun resepsi. Seperti seorang putri dari kerajaan dongeng. Jika Gara memiliki nyali dan gila, mungkin ia akan nekat menculik Ica dan membawanya kabur. Tidak! Gara tidak seberani itu.

Selain cantik, Ica juga bahagia. Senyum lebar membingkai terus bibirnya sepanjang acara ijab qabul di siangnya dan resepsi hingga malam ini. Barangkali ia menganggap ini sebuah permainan pernikahan yang biasa anak kecil mainkan dan Ica terlihat sangat menikmatinya.

Setidaknya senyum Ica menjadi satu-satunya penghiburan bagi Gara di kala  gemuruh luka di hatinya.

Asal Ica bisa tersenyum bahagia, Gara tak apa apabila dipaksa menelan pil pahit. Tidak apa-apa berkorban sakit dan menderita sendirian, asalkan pujaan hatinya tidak terluka sedikit pun.

"Gak nyangka, ya ternyata Ica menikah dengan abangmu." Re berkata, begitu ia dan Andi mendekat.

Gara mendengar, tapi tidak mau dengar.

"Gimana bisa, sih orang tua lo jodohin abang lo sama gadis oon itu? Abang lo, kan pria sempurna, masa mau-maunya menikahi gadis yang gue tebak dari mukanya yang kaku dan sengak itu, Ica bukan tipe dia. Melainkan gadis yang bisa mengimbangi kesempurnaannya, pintar dan memiliki kelas tinggi. Jika ia bersikap seperti itu, gue yakin, pernikahan ini adalah keterpaksaan. Kasihan," asumsi Andi.

"Iya, kasihan Ica." Re menimpali.

"Bukan Icanya yang gue maksud, tapi Bang El."

"Kenapa?"

"Karena dia tersiksa menikahi Ica. Coba bayangkan, bang El hidup berumah tangga dengan Ica. Setiap hari akan bertemu, setiap hari akan berinteraksi. Kita saja yang cuma teman dan bertemu di sekolah saja, kadang frustrasi menghadapi ke-oon-an Ica, apalagi bang El yang sekarang menjadi suaminya. Gue yakin dalam kurun waktu sebulan, bang El bakalan jadi gila. Dan pernikahan mereka gak akan bertahan lama. Maksimal satu bulan. Minimal sehari, tebakan gue."

"Meski kesal kamu merendahkan otak Ica, kamu ada benarnya juga." Re berdecak iba, lantas melanjutkan. "Bagaimana jika pernikahan berjalan buruk, aku takut Ica gak bahagia."

"Kita gak bisa melakukan apa pun jika pikiran lo beneran terjadi, Re. Yang kita bisa lakukan cuma ada di sampingnya untuk menghibur."

"Kita sudah lulus dan sebentar lagi akan menghadapi ujian masuk ke perguruan tinggi, kita pasti akan sibuk di masa-masa persiapan ujian. Aku sedih tidak bisa menemani Ica lebih banyak waktu lagi seperti dulu."

"Yah, mau gimana lagi, deh," tandas Andi ikutan pasrah. Ia melirik heran Gara yang sama sekali tidak menimpali obrolan mereka.

Rautnya sungguh terlalu datar untuk bisa Andi tebak ke mana pikiran Gara sedang berpikir.

"Kenapa lo diam? Lo gak suka abang lo nikah sama Ica."

"Iya." Tanpa berpikir, Gara menyahut.

Andi mengernyih, membaui sesuatu yang tidak beres.

Gara menggosok tengkuknya, sadar ia telah melakukan kesalahan. Benar-benar ia payah dalam hal mempertahankan sikap biasa saja.

"Aku ...." Ditatap intens dan curiga oleh Andi jelas menimbulkan gugup.

"Aku dan Ica sangat dekat selama ini. Aku bahkan sudah menganggapnya adik sendiri dan sudah menyayanginya. Melihatnya tak bahagia, jelas membuatku kesal."

Andi melipat lengan. Ia tidak menerima argumen Gara sepenuhnya. Aura yang ditebar Gara terlalu kelam, tidak mungkin hanya kesal saja menimbulkan perubahan signifikan sejauh ini lewat tampang Gara yang dingin dan mengesalkan, dan itu menciptakan spekulasi lain bagi Andi.

"Lo menyukai Ica, Gar?" Andi menusuk Gara tepat di jantungnya, yang menimbulkan debaran Gara kian berontak. Kian gugup saja tingkah Gara.

"Jangan asal bicara!" Kasar balasan Gara dan terdengar panik di telinga Andi.

Gara langsung pergi ke tempat lain di balik kerumunan para tamu undangan. Andi mengamati punggung yang terbalut kemeja rapi itu. Tebakannya tidak salah lagi.

"Kamu gimana, sih? Tuh, lihat Gara marah," senggol Re pada sikunya.

"Gue yakin perubahan sikapnya karena ia patah hati, melihat Ica yang dia suka malah berakhir dengan abangnya di pelaminan."

"Masa, sih?" Re ragu.

Andi berdecak. "Harusnya sebagai cewek, lo lebih peka dari gue. Masa gak ngerasain pandangan Gara selau tertuju ke Ica sepanjang acara dan pandangannya merefleksikan patah hati mendalam."

Re mengerucutkan bibir. "Aku bukan tidak peka. Tapi aku tidak tahu saja penyebab di balik sikap Gara beberapa waktu belakangan ini."

"Sudahlah. Kita pulang saja. Sudah malam."

"Bagaimana dengan Gara, Ndi?" Re mencekal lengan kemeja Andi. Tampilan wajahnya memelas. "Kasihan Gara kalau memang benar dia memendam rasa selama ini sama Ica. Dia pasti sangat terpukul."

Andi mengisi paru-parunya sejenak. "Kita gak bisa berbuat lebih selain menghiburnya jika dia membutuhkan hiburan dari kita."

"Sudahlah, pulang yuk. Udah larut malam. Orang tua lo pasti khawatir."

Mereka pun memutuskan untuk pulang tanpa pamit pada yang punya acara.

***

Di lain sisi, El bertampang kecut seharian ini. Yang biasanya sebuah pernikahan mempelainya selalu dipayungi kebahagiaan, El tentu saja pengecualian. Pernikahan yang tak diinginkannya, tidak akan membuatnya selayaknya pengantin di luar sana yang merayakan pesta dengan eforia.

Pinggangnya memerih. Dia yakin kulitnya biru-biru. Pasalnya Lilian mencubitnya tak terhitung jumlahnya untuk memaksa El tersenyum. Bahkan jika Lilian memukulnya dengan benda keras sekali pun, El tidak akan mudah tersenyum.

Suasana hatinya sangat buruk. Saat salaman dan bertemu rekan bisnis yang menghadiri pernikahannya saja ekspresinya sangat menakutkan. Tidak beda jauh dengan El yang profesional dalam bekerja dan berinvestasi sekian miliar pada sebuah mega proyek.

Pada akhirnya mereka itu hanya berbasa-basi mengucapkan selamat dan buru-buru mengambil jamuan prasmanan. Tidak ingin berlama-lama menatap mata jelaga itu yang lebih tepat disebut siap membunuh daripada ramah.

Lilian mendekati anaknya dan berkata, "Ajaklah Ica ke kamar hotel yang sudah disiapkan. Lihatlah Ica sudah kelelahan dan mengantuk."

"Suruh saja dia duluan. Masih banyak tamu yang harus aku sapa."

Tidak segan bagi Lilian memukul tengkuk El. "Kamu ini! Mama tahu benar kamu berkata seperti itu karena sedang menghindar. Turuti kata mama. Pergilah istirahat sekarang juga."

Sial, mamanya sangat tahu apa yang sedang direncanakan El. Terpaksa tak ingin membuat dirinya tambah lelah, ia menuruti saja perintah Lilian.

Ia mengikuti seorang pelayan hotel yang akan menunjukkan kamar menginapnya dengan Ica malam ini.

Pria itu bahkan tidak memiliki belas kasihan saat Ica kesusahan membawa gaunnya yang berat dan juga heels yang tinggi saat mengikuti kedua langkah panjang itu. Ia tertinggal puluhan langkah.

"Kau lelet sekali!" sentak El begitu Ica menjadi orang terkahir yang sampai di lift.

Ica mengumpulkan napas dulu, hendak berkata, tetapi sudah dicegat El duluan. "Cepat masuk!"

Pelayan hotel itu meringis menyaksikan betapa kasarnya pria yang sudah berubah status menjadi suami itu terhadap istrinya. Kasihan, pikirnya. Namun si pelayan pria tak memiliki wewenang untuk ikut campur urusan rumah tangga orang. Pekerjaannya hanya melayani, bukan menjadi penasihat pernikahan.

Lift berjalan dan tidak ada suara selain napas bersahutan. Mereka perlu menyusuri koridor dulu dan sampailah pada sebuah pintu kamar. Pelayan menempelkan key card. Pintu pun terbuka lebar.

"Segala keperluan sudah disiapkan di dalam. Jika perlu sesuatu tinggal hubungi kami. Semoga malam Tuan dan Nyonya menyenangkan," kata si pelayan dengan senyum profesional begitu El dan Ica masuk.

El belum juga sadar bahwa pelayan itu sengaja mengunci kamar dan membawa kabur key cardnya. Tentu saja apa yang dilakukannya sesuai interuksi dan itu dari Lilian. Demi malam pertama dan sudah tidak sabar menimang cucu, Lilian bahkan menggunakan cara licik untuk mewujudkan inginnya.

El baru sadar bahwa dirinya dan Ica sengaja dikurung setelah si pelayan pergi beberapa puluh detik kemudian. Ia telat menyadarinya karena sejenak mengamati interior kamar.

El mengumpat. Sial! Sial! Ia memukul pintu berkayu jati itu untuk melampiaskan kesalnya. Jika begini, El tidak bisa kabur dan ia harus melewati malam ini berdua dengan gadis oon itu. Bagus! El mengakui mamanya memang sangat licik.

Kepalanya pusing dan tubuhnya amat gerah. Untuk saat ini ia perlu mandi. Iya, untuk mengembalikan pikiran sehatnya. Setidaknya dengan mandi, ia dapat menentukan langkah apa selanjutnya untuk  ia ambil dengan status barunya saat ini.

Tiba-tiba tubuhnya memaku di tempat. Netra jelaganya mendelik pada satu titik. Jakunnya naik turun tak karuan. Mendadak lebih banyak keringat yang keluar dari pori-pori kulit arinya.

Di sana Ica menanggalkan gaunnya yang terpuruk di kaki gadis itu dan sekarang ia hanya berbalut dalaman saja.

"Apa yang sedang kau lakukan!" pekik El marah.

Sementara Ica hanya menatap El bingung. "Ica mau ganti baju," jawabnya amat polos. Tidak tahu bahwa kelakuannya yang tak disengaja sudah membangunkan seekor singa yang temperamental.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!