8. Fitting Baju Pernikahan

Gara dan Ica berbaikan. Kabar itu berembus sampai ke telinga Sana. Ia tak jadi makan cendol dan mencampakkannya. Kasihan gelas cendolnya menangis.

Meninggalkan kantin, ia menginjak perpustakaan. Tahu benar ke mana tempat seharusnya ia datangi. Seperti sebuah kebiasaan. Gara dan Ica selalu di sana acap kali istirahat. Belajar bersama. Pemandangan yang amat mengesalkan.

Padahal ia berharap kerenggangan mereka benar-benar putus hubungan dalam artian saling bermusuhan. Sial sekali! Harapannya tak terkabul.

Sana memanjangkan langkah. Tepat di depan keduanya, ia menaruh pantat di bangku seberang. Melipat lengan di meja.

"Kalian sudah berbaikan rupanya?" ujar Sana sebagai awal sapa. Senyumnya amat manis, kontradiksi sekali dengan hatinya yang bergemuruh penuh umpatan.

Gara mengangguk saja. Ia melanjutkan menggoreskan pena pada kertas, menjelaskan detail rumus sin cos tan.

Mulut Sana diam-diam membebek, kesal diabaikan.

"Gara, sehabis sekolah kita jalan, yuk. Aku bakalan bawa kamu ke tempat makan yang cozy banget." Sana belum mau menyerah memancing perhatian Gara.

Gara angkat wajah. "Maaf, San. Aku ada perlu dengan Ica nanti."

Ica! Ica! Selalu Ica. Kenapa harus dia?! Ica tak lebih dari seonggok gadis idiot yang Sana yakini tidak bisa menggunakan akalnya dengan semestinya. Mengapa tidak dirinya yang sempurna secara fisik? Bukankah cowok lebih suka gadis yang paket komplit? Dan semua yang diinginkan wanita ada pada dirinya. Sayangnya, Gara berbeda.

Gara bukan cowok badboy yang ikut-ikutan geng motor atau geng-geng yang lainnya demi keren-kerenan. Gara pendiam dan kalem. Dia memiliki segalanya sebagai most wanted kalau dia ingin. Namun ia tak pernah mendeklarasikannya dan tak akan pernah mau.

Dia memilih membumi, padahal bisa saja ia melangit dengan semua yang ia miliki sekarang ini. Tampan, pintar dalam segala bidang, atletis, baik dan kaya.

"Sana, nih permen. Ica punya sepuluh. Ica kasih satu ke Gara sekarang tinggal delapan. Eh ...." Gadis itu menerawang plafon. "Habis, ding. Udah Ica makan semua, tinggal itu." Ia menyorongkan permen yuppy dan cuma ditanggapi senyum miris.

"Makasih," ucapnya setengah hati, tanpa mau menyentuh permennya. Lalu ia berpamitan pergi dengan wajah tertekuk.

"Sana, kok pergi, sih? Gak suka permennya ya? Padahal manis kayak aku!" Ica mengambil permennya dan memakannya. Sementara bungkusnya ia kantongi.

"Sudahlah, kita lanjutkan belajarnya."

"Bentar Gara!" Wajah Ica semakin dekat. Menyisakan beberapa senti saja dari wajah Gara. Pemuda itu menahan napas saat Ica merengkuh wajahnya, memaksanya menatapnya lekat. Apa kabar hati? Sudah ambyar saat itu juga.

"I ... Ica mau ngapain?" Benar-benar tidak tertolong lagi deru jantungnya. Sangat mengkhawatirkan.

"Ada jerawat. Tuh!" Ica menutuli bagian benjolan kecil kemerahan di pipi kiri Gara.

Gara menjauh. Berupaya menahan mati-matian kontrol dirinya.

"Ica lain kali jangan begitu."

"Kenapa?"

"Aku takut kelepasan."

"Memang apa yang lepas?"

Hasrat. Hasrat mencium bibir plum itu yang teramat menggoda untuk dicecap.

Gara mengambil pena lagi. Menendang jauh pikiran kotornya. Dia bersyukur Ica tidak peka dan tidak mengerti perihal hatinya dan gelagatnya yang tak wajar.

"Tidak perlu dipikirkan."

"Oh, baiklah."

***

"Tante mau ajakin Ica ke butik."

"Untuk apa?" tanya Gara.

"Untuk fitting baju pernikahan Ica."

Ujung lidah Gara membasahi sejenak bibir bawahnya yang mendadak mengering. Sekarang Gara mengerti alasan mamanya tiba-tiba menyembul di sekolah tepat mereka keluar dari ruang kelas sehabis les dan kini mereka berada di ruang terbuka, parkiran.

"Al ikut."

"Tidak perlu. Mama sama Ica saja."

"Al tetap ikut."

Lilian tak punya daya menolak kalau sudah kepala batu anak bungsunya keluar. Mau tak mau, Lilian mengizinkan. Ia sempat keberatan saat Gara menarik lengan Ica ke mobilnya. Tidak membiarkan Ica satu mobil dengan Lilian.

Benar-benar bikin senewen saja. Namun, Lilian agak sedikit risi melihat betapa posesifnya Alsagara terhadap Ica yang notabene hanya sebatas teman, seperti pengakuan Gara. Jika teman, tidak seharusnya seposesif orang pacaran segala, bukan?

Lilian segera menghapus lintasan pemikirannya itu. Ia tak mau berasumsi macam-macam.

Dua mobil itu saling berbaris dengan mobil Lilian yang dikendarai sopir yang memimpin dan mobil Gara yang mengekor.

Sebuah butik ternama menjadi akhir tujuan mereka. Sambutan hangat menjadi awal mereka memasuki tempat idaman sosialita itu. Bahkan pemiliknya langsung memberikan pelayanan ramah.

"Mari Bu Lilian saya tunjukkan koleksi rancangan salah satu desainer terbaik kami."

Mereka dibawa untuk diperlihatkan puluhan model kebaya modern yang digantung dan beberapa dipajang di manekin.

"Woah!" Ica tak tahan untuk berdecak kagum. Ia menyentuh sekelebat gaun putih yang ekornya berjuntai-juntai. Lembut sekali. Ia makin nekat menyentuh kain satin itu di beberapa bagian-bagian lainnya.

"Ica, coba Nak pakai ini."

Seorang pegawai membawa kebaya putih di lengannya. Ia menggiring Ica ke ruang ganti. Membantunya memakainya. Karena ia bingung dengan situasinya, Ica memilih diam saja.

Sementara Lilian berdiskusi dengan pemilik butik. Tentu tentang masalah baju pengantin. Entah model, warna dan lain sebagainya.

Gara sendiri duduk di sofa sedang dirundung gelisah. Ia tak henti-hentinya meremas tangan yang saling tertaut. Menatap nyalang gorden di mana Ica menghilang di sana dari pandangannya.

Terdengar Lilian menelepon. Misuh-misuh menyebut nama abangnya. Menyuruhnya datang untuk ikut pengepasan baju juga.

Sial! Pedih itu kembali menyambangi. Jakunnya bergerak gusar. Kalau ia jenius, harusnya pergi adalah pilihan tepat jika tak ingin perihnya semakin parah, bukan malah menetap. Namun Gara sudah terlanjur bodoh oleh perasaannya sendiri. Patah hati mengaburkan akal sehatnya, mana yang baik dan buruk sekarang pun terlihat bias keduanya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah bersikap geming yang bodoh.

Suara gorden disibak membawa atensi Gara menancap di sana. Kaki terbalut jarik itu samar-samar menampilkan pualam mulus yang diperindah dengan heels berswarovski. Lantas sosok bidadari  muncul setelah gorden disingkap penuh.

Gara menegun. Perihnya terlupa. Matanya hanya memancang pada Ica yang agak kesulitan membawa tubuhnya lebih ke tengah. Gara menelan ludah. Tiba-tiba gravitasi tak berlaku baginya. Serasa melayang dan ia lupa bumi.

"Astaga! Cantik sekali kamu Ica. Tante hampir pangling, lho." Lilian memegang pundak Ica dan memutarnya perlahan. Menelisik setiap bagian kebaya itu yang melekat sempurna di badan Ica.

Ica cuma cengengesan. Ia mengeluhkan dadanya yang sesak saat bernapas.

"Nanti kami akan rombak dibagikan dada, Bu. Selebihnya Ibu Lilian setuju tidak dengan baju akadnya?"

"Saya suka modelnya. Ini saja."

"Baiklah, Bu. Sekarang saya akan tunjukkan gaun resepsinya."

Butuh dua pegawai untuk membawa gaun perak itu yang bertahtakan swarovki. Lantas menggiring Ica kembali ke ruang ganti.

"Bagaiman dengan mempelai prianya, Bu? Apa fittingnya ditunda?"

"Tidak. Anak saya sebentar lagi akan datang."

Tidak dengan kebaya yang pertama yang tak memakan waktu lama, butuh seperempat jam atau lebih untuk sesi kali ini. Gara sudah tak sabar ingin mengagumi pualam indah itu.

Tepat ketika gorden disingkap, El datang. Bermuka masam saat menemui Lilian. Ia mendapatkan pelototan, tapi urung diceramahi karena baik Lilian, Gara atau pun El sendiri terhenyak ketika sosok Ica sempurna memenuhi seluruh area pandangan mereka.

El yakin sempat tak bernapas tadi. Menginvasi setiap lekuk tubuh Ica lewat kedua matanya yang setajam elang. Rambut panjang Ica yang ujungnya bergelombang menyentuh dada berkamisol itu, menggantung sangat menggoda untuk disentuh. Entah efek gaunnya atau sosok Icalah yang membuat El hilang akal.

Heels Ica terselip. Badannya oleng. Sebelum otak berpikir, El sigap menangkap tubuh itu sebelum mencium lantai. El terkesiap saat tangannya tak sengaja merasakan lembutnya lengan Ica. Jantung El sialannya berontak. Entah kenapa?

Untuk sesaat mereka berpose begitu. Gara yang terlanjur berdiri hanya mematung tak berdaya. Niat berdiri untuk menolong harus kandas duluan disambar abangnya.

Bisakah ia berharap walau secuil? Berharap ia bisa memiliki Ica seutuhnya. Ia menyeringai miris. Dia terlalu pengecut untuk merebut Ica kembali untuknya. Lantas apa ia siap untuk melewati siksa beratus-ratus episode patah hati? Sanggupkah Gara? Ia pun tak tahu jawabannya.

"El?!"

Suara lain dari gadis yang baru datang mengembalikan kenyataan. El seketika menegakkan tubuh Ica begitu tahu siapa gadis itu. Kiara Fianda. Kekasihnya.

"Kiara?" bisik El tak berkutik. Ia merasa seperti sedang kepergok berselingkuh.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" herannya. Lalu fokusnya jatuh pada Gara dan Lilian. "Kenapa Al di sini juga dan Tante Lilian? Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Dengar Kiara. Tante mohon, mulai sekarang jauhi El. Karena sebentar lagi El akan menikah dengan Ica. Dia ...." Lilian mendekati Ica dan memeluknya. "Satu-satunya gadis yang akan mendapatkan restu dari tante dan om Barga. Jadi, sebaiknya lupakan anak tante dan carilah pria lain yang lebih baik dari anak tante."

Ultimatum Lilian tanpa basa-basi itu, berhasil membuat Kiara dan El melotot.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!