14. Malam Pertama

Ada suatu malam pasca menikah yang disebut malam pertama. Kebanyakan gadis yang berusia cukup umur, akan bersikap malu-malu kucing, atau lebih ekstrem menjerit macam terkena pelecehan seksual karena didorong oleh perjodohan yang tidak diinginkan.

Justru kebalikan dengan Ica, gadis itu malah dengan polosnya menatap El dengan balutan dalaman saja. Merasa tidak terancam sama sekali dengan jelmaan singa temperamental yang baru saja bangun di dalam diri El. Atau memang gadis itu tidak menyadarinya. Benar-benar sebuah anomali yang menjengkelkan.

Seorang pria normal tentu bagian dalam dirinya berdenyut nyeri mendapatkan pemandangan ini, tetapi kesadaran akan betapa bodohnya Ica, menguburkan hasrat.

Dia tidak mau melakukannya kepada wanita yang tidak ia cintai. Kepada gadis yang tidak ia inginkan untuk menghangatkan ranjangnya sampai kapan pun. Tidak dengan gadis bodoh itu. Gadis yang bahkan terlalu naif dalam hal memahami bagian paling sensitif di dalam tubuhnya yang tidak seharusnya diekspos secara eksplisit di depan pria normal. Meski status mereka telah sah menjadi sepasang suami istri.

El berkecak pinggang, memijit kening serta memejam.

"Tuhan, ampuni dosa-dosaku selama ini," rintih El putus asa.

"El, kenapa? Pusing? Sini biar Ica pijat!" Gadis itu mendekati El, mengulurkan tangannya, hendak menggapai kepalanya.

El menggeram, menepis tangan porselin itu. Memijat hanya memakai dalaman saja, adakah hal yang lebih buruk lagi selain itu?

"Bersihkan dirimu cepat dan ganti baju di kamar mandi! Setelah itu pakailah baju apa saja asalkan tidak memakai dalaman sialan itu!" El berkata-kata kasar tanpa melirik Ica.

"Tapi El bagaimana?"

"Jangan pedulikan aku! Cepat, Ica!"

Ica bersungut. "Jangan marah-marah, lho El. Nanti cepat mati."

Karena sudah habis sabarnya, El mendorong kasar tubuh Ica ke kamar mandi. Tanpa menghiraukan ocehan protes  Ica.

Suara guyuran menjadi penanda bahwa protes Ica vakum dan gadis itu mulai mandi. Sejauh ini El bisa bernapas lega.

Ia pun melepas dasi, jas dan sepatu. Duduk tepekur di tepi ranjang. Bahkan hanya ada satu ranjang berukuran besar dan tidak ada sofa untuk ia tiduri malam ini.

Sungguh mamanya memang sudah merencanakan kejahatan secara struktur untuk meraih apa yang menjadi ambisi Lilian. Pembuatan cucu pertama.

"El, tidak ada baju di sini!" teriak Ica.

Pangkal hidung El kian berdenyut nyeri. "Ada jubah mandi di sana, pakai itu!"

"Gak ada!"

"CARI!"

"Oh, ketemu!"

El hampir tak bernapas. Bayangan mesum mulai berkelebat dan El benar-benar laknat sempat membayangkan yang tidak-tidak mengenai tubuh polos Ica.

Beberapa menit setelahnya bau harum lavender merebak sampai di hidung El begitu Ica membuka pintu kamar mandi.

Setidaknya, gadis itu tidak membuatnya frustrasi kembali dengan jubah mandi yang menenggelamkan tubuhnya.

"Wah, segarnya!" pekik Ica senang.

"Pakaiannya ada di walkin closet."

El buru-buru mandi. Melepas semua pakaian. Berdiri di bawah pancuran. Air dingin langsung mengguyur kepalanya, ampuh meredakan panasnya otak.

Merasa sudah lebih baik, ia menuntaskan sesi mandi. Ia keluar dalam lilitan jubah mandi.

"El, lihat Ica cuma menemukan ini saja."

El mau pingsan melihat Ica memakai lingerie tipis.

***

Setelah tragedi lingerie berganti kaos  miliknya yang dipakai Ica sekarang, El memutuskan untuk berbicara dengan gadis yang sudah membuatnya frustrasi berat.

Benar-benar sebuah kejahatan yang sangat berat dan terstruktur. Bukan hanya mereka yang sengaja dikunci, ranjang cuma satu, bahkan sekarang pakaian di dalam walkin closet pun sengaja diisi hanya kaos milik El saja dan saringan tahu milik Ica yang sudah El buang ke tong sampah dengan seluruh umpatan kasar yang menyertai.

Masalah ini satu-satunya yang tidak bisa El selesaikan sepanjang ia menjadi seorang CEO Oxen Group. Padahal kelihatannya sepele. Sepele, tapi bikin El tidak bisa berkutik.

Ica yang duduk di ranjang, menguasai seluruh ranjang. El memilih menarik kursi lain, memandang Ica lekat. Sekarang situasinya aman. Meski, kaos miliknya tidak mampu menutupi setengah paha sintal Ica. Namun masih bisa El hadapi ketimbang benda laknat itu.

"Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan."

Ica, gadis itu memandang lekat wajah El. Heran, mengapa rautnya sedang menahan kesakitan.

"El ...."

Ucapannya yang bermaksud menanyakan keadaan pria itu justru terpotong dengan kalimat, "Jangan menyela sebelum aku mengizinkan."

"Tapi ...."

"Aku serius, Ica."

"Oke."

"Pertama, jangan pernah membuka baju sembarangan di depanku?"

"Kenapa?" Ica tak kuat menahan penasarannya.

"Karena aku tidak bisa menjamin apakah aku bisa menahannya di lain kesempatan."

"El sekarang, kan keluarga Ica. Kata Bibi An tidak apa-apa buka baju di depan El. Kewajiban malah."

Lagi-lagi El sesak napas. Sungguh ajaran yang menyesatkan. Entah apa saja wejangan yang sudah Bibi An katakan untuk mencuci otak Ica.

Meski, bibi An dalam hal ini memang tidak salah apa pun. Melayani suami, memanglah kewajiban istri terhadap suami.

Namun pernikahannya adalah kasus berbeda. Ia tidak mau dilayani oleh seorang istri yang sama sekali tidak mengerti peranannya.

"Dengar, aku tidak suka kau membuka baju sembarang tempat, meski di dalam rumah. Bukalah selalu di kamar mandi atau kamar dalam keadaan terkunci, paham?"

"Kenapa?" tanya Ica dengan sangat polosnya.

"Karena nanti aku akan sakit kepala. Kalau kau tidak mau aku sakit, maka jangan lakukan."

"Baiklah, Ica akan ingat baik-baik, kalau tidak lupa."

"Kedua." El melanjutkan. "Pernikahan ini tidak aku inginkan, jadi hubungan kita hanya sewajarnya saja. Kalau bisa anggap kita dua asing yang dipaksa berkenalan, sehingga tidak ada kewajiban untuk kita saing memperhatikan selayaknya suami istri?"

"Tunggu, Ica belum paham yang itu?"

El mendesah. Ternyata ini lebih sulit ketimbang bekerja sama dengan perusahaan lain.

"Marisa Filan, anggap saja kau tidak mengenalku dan aku tidak mengenalmu. Sesimpel itu." El menjelaskan dengan amat sabar.

Sungguh El takjub bagaimana bisa ia mampu sesabar ini, tanpa harus membanting barang.

Ica yang tidak paham pun mengangguk, pasalnya ia mengantuk, sudah teramat lelah dan ingin segera lari ke dunia mimpi.

El yang melihat Ica menguap, mendesah lelah. "Jangan tidur dulu sebelum kita menyelesaikan pembicaraan ini."

"Ica ngantuk, El. Bicara besok saja, ya?"

"Tidak-tidak, harus sekarang!"

Ica mendelik. Menahan kelopak matanya terkatup. "Bicaralah, sebelum mata Ica menutup sendiri."

Di mata El, kelakuan Ica terasa menyeramkan. El berdeham, kembali melanjutkan.

"Ketiga. Lakukan apa pun sesuka hatimu. Pun dengan diriku dan tidak boleh ada yang saling menegur. Bebas tanpa larangan dan dilarang mencampuri urusan pribadi."

Netra Ica yang bulat semakin bulat. "Kalau begitu Ica bisa nonton teve sesuka hati dan mengotori lantai dengan makanan. Karena Bibi An sangat membenci itu."

"Terserah. Apa pun yang kau ingin lakukan, lakukanlah."

"Keempat. Masalah tempat tidur dan tempat tinggal. Aku sebisa mungkin akan tinggal di tempat lain, sehingga kita tak perlu bertemu setiap hari. Kalaupun kita terpaksa satu rumah dan satu ranjang, aku pastikan kita hanya tidur."

"Memangnya ada hal lain selain tidur, El. Bukannya tempat tidur untuk tidur saja."

El mendesis antara; kesal, frustrasi dan merasa dirinya bodoh berbicara dengan orang bodoh.

"Apakah kau tidak mengenal sistem reproduksi manusia? Waktu SMA? SMP? Apa kau tertidur saat guru menerangkan fungsinya untuk apa? Apa kau tidak pernah melihat sekalipun film dewasa? Apakah kau juga tidak tahu apa itu ciuman?"

El menggeleng tak percaya melihat Ica hanya melongo dengan pandangan kosong.

"El, bicara apa, sih. Ica gak maksud."

"Argh!" El mengerang. Mengacak rambut lebatnya yang legam.

El mendekati ranjang dan menarik sebuah bantal. Tidur di bawah beralaskan permadani jauh lebih mendingan ketimbang berbagi tempat di atas ranjang dengan Ica. Lihatlah seorang CEO yang memiliki kehormatan tinggi, harus rela merendah dengan tidur di bawah hanya gara-gara tidak sanggup menghadapi tingkah oon Ica. Sungguh rekor baru dan El tak peduli. Asal orang kantor tidak mengetahui ini saja.

"Apa pembicaraan kita sudah selesai, El?"

"Ya." El membalas sengak dan ia melakukannya di posisi membelakangi Ica. Sehingga Ica hanya melihat punggungnya saja.

"El, besok diulangi lagi, ya. Ica benar-benar lupa tadi."

El tidak menyahut.

"El tidur, ya?"

Geming.

"El tidak kedinginan."

Diam. Bernapas teratur dan mulai mendengkur halus.

Saat Ica turun dari ranjang dan jongkok di depan El, pria itu sudah terlelap lebih cepat dari yang ia duga. Ternyata El terlalu capek melewati hari berat ini.

Melihat El yang meringkuk di lantai, Ica inisiatif meraih salah satu selimut yang berlapis-lapis. Lantas menyelimuti tubuh El.

Ica berdiri, memandang hasil karyanya, lantas menepuk tangannya, gestur seseorang telah menyelesaikan sebuah pekerjaan selayaknya beres-beres rumah.

"Nah, El sekarang tidak kedinginan lagi."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!