"Ayah, ini makanlah, aku memasak daging untukmu," kata Gabriela meletakkan nampan diatas nakas.
"Nak, jangan buang- buang uangmu untuk membelikan ayah daging," kata ayahnya sambil berusaha untuk bangun.
"Tidak ayah, kondisi ayah harus cepat pulih, jadi ayah harus makan- makanan yang bergizi dan berprotein tinggi," kata Gabriela sambil membantu ayahnya bersandar.
"Nak, tabunglah uangmu untuk biaya kuliah nanti," saran ayahnya sambil menatap iba Gabriela.
"Ayah, jangan bicarakan tentang itu," kata Gabriela melarang ayahnya membicarakan tentang perkuliahan.
"Makan yang banyak, agar ayah cepat sembuh," kata Gabriela sambil menyuapi ayahnya.
"Kamu pasti capek, sudah malam, tidurlah nak, biar ayah makan sendiri," kata ayahnya sambil merebut mangkuk yang berisi sop buntut.
"Sana pergilah ke kamar mu, istirahatlah, besok kamu harus kembali bekerja," kata ayahnya mengusir Gabriela agar pergi ke kamar.
"Gabriela ke kamar dulu ya yah," pamitnya meninggalkan ayahnya sendiri.
Gabriela menutup pintu kamar ayahnya, Gabriela meringsut di lantai, dia menahan agar suara tangisnya tidak terdengar.
Anak macam apa dia ini, tidak bisa membelikan makanan yang layak untuk ayahnya.
Gabriela membungkam mulutnya, menangis dengan sangat kuat.
Maafkan anakmu ayah, Gabriela akan bekerja lebih keras lagi, percayalah aku akan membahagiakanmu.
Gabriela berdiri menuju kamarnya, karena besok dia harus bekerja.
💦💦💦
"Apa Dewa sudah pulang?" tanya Reynald pada bi Sri selaku ART, ketika baru saja datang dari kantor.
"Sudah tuan," jawabnya sambil meletakkan segelas air putih.
Reynald langsung berlari menuju lantai atas dengan menaiki tangga.
Buru- buru Reynald membuka kamar yang berpintu warna silver.
"Dewa," panggil Reynald ketika membuka pintu kamar Dewa.
Terlihat Dewa sedang berbaring di atas king sizenya.
Mungkin dia sangat lelah, karena baru saja mendarat dari Jerman.
"Apa kau tidak mendengar aku memanggilmu?" tanya Reynald ikut berbaring di samping Dewa.
"Kak, keluarlah aku lelah," gumam Dewa terlihat sangat lelah sekali.
"Kakak hanya perlu waktu kamu 10 menit," kata Reynald agar Dewa mau mendengarkannya.
"Hmm," kata Dewa dengan memejamkan matanya.
Dia begitu lelah karena baru saja sampai penerbangan dari Jerman.
"Kakak minta sama kamu, pindah kuliahmu ke Universitas Alberta," perkataan Reynald membuat Dewa membuka matanya dan sontak langsung bangun.
"Kakak, apa kamu bercanda?" tanya Dewa tidak percaya dengan ucapan kakaknya.
"Kakak serius Wa," kata Reynald menatap Dewa serius tanpa main main.
"Haha, enggak semudah itu kak," tawa sumbang Dewa pada Reynald.
"Kenapa? apa kamu masih mengharapkan dia?" tebak Reynald yang mampu menyulut emosi Dewa.
"Wa, cobalah mengerti keadaan kakak," kata Reynald dengan nada sedikit rendah.
Dewa menatap kearah lain sambil tersenyum miring.
"Apa kakak pernah, ngertiin Dewa? Apa kakak pernah merasa gimana rasanya diposisi Dewa?" tanya Dewa mulai sensitif jika dia harus mengalah dengan kakaknya.
"Dewa, kamu bukanlah anak kecil lagi, coba mengertilah keadaan kakak," Reynald mencoba merendam emosinya agar Dewa tidak terpancing emosinya.
"Karena itu, Dewa bukan anak kecil lagi jadi kakak stop buat atur- atur kehidupan Dewa," Dewa merasa kalau dirinya kini sudah dewasa.
"Untuk kali ini, mengertilah kondisi kakak," kata Reynald mulai emosi dan menatap tajam Dewa.
"Kenapa harus Alberta? Apa abang masih mempunyai dendam dengannya?" tanya Dewa yang juga tersulut emosi.
"4 tahun yang lalu, tidak mungkin jika kamu tidak ingat bukan?" kata Reynald membuat Dewa seakan memutar kembali kenangan pahit itu.
Kedua orang tuanya tewas di depan kedua matanya dan mereka berdua melihat dengan sangat jelas.
"Kenapa? Apa kamu sudah mengingatnya?" tanya Reynald sambil menarik kerah baju Dewa.
"Apa kamu akan membiarkan dia hidup bahagia setelah mereka merenggut kebahagiaan kita?" tanya Reynald dengan nada sangat tinggi.
Mata Dewa memerah, matanya seakan berkaca- kaca.
"Besok kakak akan mengurus surat pindahan mu," kata Reynald lalu pergi keluar dari kamar Dewa.
Dewa meringsut di lantai, menunduk lemas dengan air mata yang mulai berjatuhan.
"Ma pa, Dewa rindu," gumam lirih Dewa sambil menahan suara isaknya.
"Den," panggil Bi Sri pelan yang berjongkok di depan Dewa.
Dewa mendongak dan menatap bi Sri dengan air mata yang sudah turun.
"Bi," panggil lirih Dewa.
Bi Sri langsung memeluk Dewa dengan sayang, menyalurkan kekuatan pada Dewa.
"Dewa rindu mama papa," gumam lirih Dewa di pelukan bi Sri.
"Den yang sabar ya, masih ada bibi di sini," katanya agar Dewa merasa lebih baik dan tenang.
Bi Sri adalah ART yang sudah bekerja sangat lama dengan keluarga Willson.
Bahkan dialah yang merawat Dewa sejak dia masih bayi.
Kedua orang tuanya pengusaha besar, karena itu mereka tidak mempunyai waktu untuk mengurus Dewa.
Bi Sri sudah sangat hafal dengan sikap dan pribadi Reynald yang sangat berbeda dengan Dewa.
Arogan, egois dan pembalas dendam.
Berbanding jauh dengan Dewa yang penyayang, bertanggung jawab dan juga penurut.
"Bi, boleh anter Dewa ke makam mama sama papa?" tanya Dewa sambil menatap nanar bi Sri.
Bi Sri hanya bisa mengangguk.
Dia merasa tidak tahan melihat Dewa menangis merindukan kedua orang tuanya.
Biarlah hidupnya kini dia abdikan pada keluarga Willson.
Dia akan menjaga putra kecil mereka, Dewa.
Dan juga Reynald.
●●●
Waktu sudah sangat malam, menunjukkan pukul 7.
Namun, Bara masih terduduk di depan monitor komputer.
Mengerjakan proposal untuk agenda bulan depan.
"Bos, sudah larut malam, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu?" tanya Reno pada Bara.
Sedangkan Rendy juga masih sibuk membantu Bara menyiapkan beberapa data untuk presentasi besok.
"10 menit lagi," kata Bara sambil menatap sekilas jam tangannya.
"Baik saya akan menunggu di luar," kata Reno lalu pergi untuk menunggu Bara di luar.
Rendy menatap Bara sekilas, terlihat dia masih begitu sibuk.
Lalu Rendy menatap jam tangannya dan terkejut ketika waktu sudah begitu larut malam.
"Ya tuhan, ginilah nasib gue punya bos yang gila kerja," gumamnya lirih sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Ren apa data yang kamu kerjakan sudah siap?" tanya Bara dengan tatapan masih fokus pada monitor komputernya.
"Sudah tuan," jawab Rendy sambil memijat pelipisnya.
"Kirimkan ke email saya," kata Bara sambil mematikan komputernya dan menyambar jasnya.
"Baik akan segera saya kirimkan," kata Rendy langsung mengirimkan apa yang Bara minta.
Setelah selesai Rendy membereskan laptopnya dan menyusul Bara turun.
Saat Rendy keluar dari ruangan Bara, masih terlihat beberapa staf dan karyawan yang lembur kerja.
Benar- benar bos sama karyawannya emang enggak ada bedanya.
Sama- sama gila kerja.
Begitu juga Rendy.
"Rendy Reno, kalian semobil sama saya," panggil Bara ketika mereka sampai di depan lobi.
"Baik tuan," jawab keduanya lalu masuk ke dalam mobil lamborgini hitam.
"Hah, capeknya," keluh Bara sambil menyandarkan tubuhnya karena rasa lelah.
"Ren gue pengen mampir ke Cafe bentar, ambilin gue kopi," perintah Bara pada Rendy.
"Berapa?" tanya Rendy yang duduk di depan di samping Reno yang sedang mengendarai.
"Satu aja, lo berdua kalau mau pesen aja," suruh Bara yang duduk di belakang sambil memejamkan matanya, merilekskan tubuhnya.
"Wihh enak nih dingin- dingin gini minum kopi," kata Reno sangat senang.
"Gue merasa punya kepribadian ganda selama kerja sama lo," kata Rendy membuat Bara membuka matanya.
Rendy menatap Bara dari kaca depan.
"Kenapa?" tanya Bara penasaran.
"Ren, coba aja lo sehari jadi gue," kata Rendy sambil menatap sekilas Reno.
"Kalau dirumah lo panggilnya bos, tinggal seatap udah kayak adik kakak, giliran di kantor manggilnya tuan, formal banget kayak lagi ngomong sama Barack Obama," kata Rendy sambil membayangkan dirinya.
"Entar kalau pas ketemu sama pejabat tinggi atau CEO luar negeri bisa- bisa lo bakal kayak orang asing deket dia, ngomongnya dingin dan tegas banget," kata Rendy masih bercerita.
"Tapi entar giliran lo lagi nongkrong sama tuh orang, lo bakal punya panggilan baru darinya," kata Rendy sambil menatap sekilas Bara dari kaca depan.
Bara hanya menatap Rendy dengan datar dan diam.
"Nama semua binatang bisa- bisa jadi panggilan lo," tawa Reno seketika pecah mendengar ucapan Rendy.
"Udah?" tanya Bara sambil menatap tajam Rendy.
"Sudah pak," jawab Rendy sambil menahan senyumnya.
Bara kembali memejamkan matanya, tubuhnya begitu lelah karena seharian ini dia bekerja keras untuk menyiapkan proposal.
Reno menghentikan mobilnya di depan Cafe Bara, seorang barista keluar dengan membawakan tiga capucino pesanan Bara.
"Ini tuan kopinya," kata barista itu sambil menyodorkan tiga kopi pada Reno.
"Makasih," kata Reno lalu memberikan kopi itu pada Rendy.
Reno kembali menjalankan mobilnya menuju rumah karena Bara terlihat sangat lelah.
"Pak, ini kopinya," kata Rendy membuat Bara sontak langsung membuka matanya dan menatap nyalang kearah Rendy.
"Hehe bercanda bos, anda masih terlihat sangat muda kok," goda Rendy pada Bara.
Bara meminum kopinya untuk menyegarkan otaknya yang seharian penuh memikirkan agenda untuk bulan depan.
"Ngomong- ngomong bos udah tahu siapa nama cewek itu?" tanya Reno pada Bara.
"Kenapa, apa kamu tahu namanya?" tanya balik Bara.
"Nanti saya adakan voting dulu buat nebak namanya bos," sahut Rendy yang terkesan meledek Bara.
Reno dan Rendy tertawa jika mengingat kejadian di Cafe kemarin.
Benar- benar cewek itu sangat polos dan begitu berani pada Bara.
Citttttt
Brak
"Aduh Reno, lo kalau ngajak mati jangan sama gue kenapa," kesal Rendy sambil mengusap keningnya.
"Kamu mau bunuh saya?" tanya Bara sebal pada bodyguard satunya ini.
"Tuan, bukankah dia wanita yang anda tabrak?" tanya Reno sambil membuka kaca jendela agar bisa melihat dengan jelas.
Buru- buru Bara keluar dari mobil, untuk memastikan ucapan bodyguardnya.
Di seberang terlihat Sela sedang diganggu oleh tiga cowok yang sedang mabuk.
Jalanan daerah sini juga lumayan sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang.
Reno dan Rendy keluar dari dalam mobil dan melihat Sela sedang diganggu oleh beberapa cowok mabuk.
"Bos, tunggu sini aja biar kita tolongin dia," kata Reno hendak menolong Sela.
"Tunggu," Rendy dan Reno berhenti dan menatap Bara.
Bara melepaskan kemejanya dan melemparkan pada Rendy.
"Biar saya saja," kata Bara lalu berlari ke seberang untuk membantu Sela.
"Tapi tuan," kata Reno hendak menghentikan Bara namun ditahan oleh Rendy.
"Kita nikmati aja layar lebar ini sama capucino panas," canda Rendy sambil memberikan kopi milik Reno.
"Apa kita tidak termasuk bodyguard laknat?" tanya Reno dengan wajah polosnya.
"Oh tentu tidak, hanya menikmati pertunjukkan dari tuan kita, ok,"kata Rendy sambil menatap Bara.
"Berhenti," teriak Bara dengan sangat kencang membuat ketiga cowok mabuk itu menatapnya begitu juga Sela.
"Ya tuhan dari banyaknya orang, kenapa harus dia yang datang," kata Sela sambil menatap sebal kearah Bara.
"Oh jadi kamu enggak mau ditolongin?" tanya Bara ketika mendengar ucapan Sela dan masih sempat- sempatnya bertanya saat situasi seperti itu.
"Ehh iya- iya saya mau pak," kata Sela berteriak saat Bara akan meninggalkannya.
"Pak lagi?" tanya Bara dengan mata melotot.
"Maksud saya om, buruan om tas saya diambil sama mereka," kata Sela sambil berusaha untuk merebut tasnya.
Ya tuhan, Bara memejamkan matanya tidak percaya pada cewek di depannya ini.
Bisa- bisanya dia memanggil dirinya pak dan terlebih Om.
Apa dia setua itu di matanya.
"Om jadi nolongin enggak sih," teriak Sela pada Bara yang masih diam ditempat.
Bara langsung berlari dan menendang punggung ketiga cowok itu.
Sela mundur untuk menghindari perkelahian mereka.
Bara berpikir jika mereka mabuk pasti kesadaran mereka di bawah alam sadar.
Namun, Bara hanya sendiri dan melawan ketiga bocah ingusan ini yang sedang mabuk.
Bara sempat kewalahan saat melawan mereka, tapi akhirnya Bara bisa mengalahkan mereka bertiga.
Dan bisa mengambil tas Sela yang mereka ambil.
"Nih," kata Bara memberikan tas Sela.
"Makasih," kata Sela sambil mengecek obat ibunya yang tadi dia beli, untunglah masih aman.
Bara menatap wajah cantik Sela, gimana bisa malam- malam begini dia naik sepeda dan keluar sendirian.
"Kamu ngapain malem- malem keluar? Naik sepeda lagi, kamu enggak tahu kalau itu bahaya," omel Bara seperti bapak pada anaknya.
Sela mendongak dan menatap tajam kearah Bara.
"Kok jadi om yang marah," kata Sela membuat Bara melotot tidak percaya dengan ucapan Sela barusan.
"Bisakah kamu mengganti panggilan itu?" tanya Bara pada Sela.
"Baik pak," kata Sela dengan menundukkan badannya.
"Oh iya sekali lagi saya makasih, Om maksud saya bapak sudah menolong saya," kata Sela berterima kasih pada Bara.
Sela menatap wajah Bara sekilas lalu menatap arah lain.
Sudut bibir Bara sedikit mengeluarkan darah karena perkelahian tadi.
"Cepatlah pulang, ini sudah malam," suruh Bara lalu hendak pergi kembali ke mobilnya.
Namun, Sela mencegahnya dan menarik Bara untuk duduk di pinggir jalan.
"Tunggu dulu, saya akan mengobati luka tuan bentar," kata Sela sambil mencari sesuatu di dalam tasnya.
Sela mengeluarkan botol minum dan sapu tangan warna biru.
Sela membasahi sapu tangannya lalu jongkok di depan Bara mengusap pelan sudut bibir Bara yang berdarah.
Deg
Rasa itu kembali, sangat berdesir di hati dan membuat jantungnya kembali berdetak tidak beraturan.
Wajah Sela yang semakin cantik saat dilihat dari jarak dekat meski lampu jalan yang remang- remang.
Sela menyadari kala Bara sejak tadi menatap dirinya tanpa kedip, Sela sengaja menekan lukanya.
"Aww aww, sakit tau," rintih Bara ketika Sela menekan dengan kuat luka disudut bibirnya.
Sela mengobati lukanya dengan ogah- ogahan tidak berperasaan dan lembut seperti beberapa menit tadi.
"Sebenarnya kamu psikopat apa perawat sihh," gerutu Bara ketika Sela mengobatinya dengan sedikit kasar.
"Bukan dua- duanya," jawab ketus Sela sambil kembali membasahi sapu tangannya.
"Benar saya menanyakan sesuatu pada orang yang salah," gumam lirih Bara sambil menatap kearah lain.
Bara berusaha untuk mengalihkan tatapannya dari wajah cantik Sela, hatinya berdetak tidak karuan saat dekat dengan Sela.
Sela berhenti mengusap sudut bibir Bara dan menatap Bara dengan tatapan bertanya.
"Apa anda mendengar sesuatu?" tanya Sela pada Bara.
Bara hanya diam, seakan bertanya, apa?
Sela mendekat pada dada bidang Bara, mendengarkan detak jantung Bara.
"Kenapa jantung anda berdetak sangat kencang, apa anda sakit?" tanya Sela dengan polosnya.
"Uhuk uhuk," Bara terbatuk mendengar pertanyaan Sela.
Ini cewek kelewat polos atau emang bego sihh.
"Sudah malam, pulanglah saya juga akan pulang," kata Bara sambil merebut sapu tangan milik Sela.
"Ehh sapu tangan saya," kata Sela hendak merebut kembali sapu tangannya.
"Ehh ini imbalan karena saya sudah menolongmu," kata Bara lalu pergi meninggalkan Sela sebelum dia kembali merebut sapu tangannya.
"Dasar bapak- bapak gila, itukan handuk milik anjing aku di rumah," gumam Sela lalu menaiki sepedanya untuk pulang, karena malam sudah sangat larut, pasti ibunya sudah menunggunya.
"Akhirnya ya Ren, selama setahun gue enggak pernah pergi ke bioskop bisa nonton adegan romantis secara langsung," kata Rendy mengejek Bara yang baru kembali.
"Live di jalanan lagi," tambah Rendy membuat Bara hanya diam dan masuk mobil begitu saja.
Rendy dan Reno langsung menaiki mobil.
"Ikuti dia," perintah Bara pada Reno yang mengendarai mobilnya.
"Ikuti siapa bos?" tanya Reno tidak mengerti dengan ucapan Bara.
Rendy menatap depan, terlihat cewek yang Bara tolong tadi mengendarai sepedanya.
"Noh ceweknya si bapak," kata Rendy sambil menunjuk Sela yang bersepeda.
Reno langsung melajukan mobilnya untuk mengikuti Sela dari belakang tanpa sepengetahuannya.
Rendy menatap kaca depan menatap Bara yang sedang menatapnya tajam, Rendy hanya mengedipkan sebelah matanya.
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
JR Rhna
🤣🤣🤣🤣
2023-05-16
0
Dianita Indra
next
2022-02-20
0
Eka Bidel
Baru kali ini ada CEO punya bodyguart lucnut
2021-12-06
0