Kanaya pulang bersama Leo. Sejak dari sekolah Kanaya sudah tak sabar ingin mengomeli sang Papa.
"Kenapa Papa jemput Aya?" tanya Kanaya ketus.
Pertanyaan macam apa itu? batin Leo.
"Memangnya kenapa sayang? Apa kamu gak suka Papa jemput?" tanya Leo.
"Ya, Aya gak suka Papa jemput. Bukankah Aya udah bilang kalau Aya gak minta jemput? Jangan dijemput!" cerocos Kanaya.
"Tadi, ada guru telepon Papa katanya kamu jatuh, papa kwatir sama kamu. Jadi, Papa susul kamu ke sekolah," jelas Leo.
Orang tua mana yang bila mendengar anaknya terluka tidak segera bertindak. Itu pun yang Leo lakukan, ia tak patut disalahkan.
Haruskah Aya salahkan guru yang menelpon papa? Tapi, dia kan juga gak tahu kerumitan hidup kami, batin Kanaya.
"Tapi, semuanya kacau gara-gara Papa ke sekolah!" Kanaya membuang napas kasar.
"Apa kau tahu semuanya Sayang?" tanya Leo.
Kanaya yang tahu maksud pertanyaan Leo langsung mengangguk. "Aya tahu semuanya."
"Papa tak memberi tahu apapun kepadamu, kamu tahu darimana?"
"Dari mama. Mama menitipkan beberapa surat untukku kepada Oma. Oma selalu memberikannya di setiapnya hari ulang tahun Aya. Mama menceritakan tentang banyak hal kepada Aya termasuk bunda Rania. Aya sangat mengagumi sosok sahabat mama itu. Dan pas masuk sekolah Aya disambut oleh bunda Rania orang yang selama ini selalu ada di cerita mama dan saat itu aya seneng banget bisa bertemu langsung dengan bunda. Semenjak saat itu Aya semakin bertekad bakalan jadiin bunda jadi bunda beneran Aya," tutur Kanaya mengingat pertama masuk sekolah,
Ya ampun pantas saja kelakuan Kanaya kadang mirip Rania, ternyata Ayu sudah menanamkan sosok Rania di dalam hati anaknya, batin Leo.
"Kenapa Aya tak pernah memberitahu papa? Kamu tahu papa juga lagi nyari bundamu itu?" Leo menyebut Rania dengan sebutan bunda seperti Kanaya.
"Kanaya mau beritahu Papa, kok, tapi bukan sekarang-sekarang. Aya pengen jauh lebih kenal dulu sama bunda dan meluruskan kesalahpahaman Papa sama bunda," jawab Kanaya yang membuat Leo tersentak.
"Apa mama juga bilang permasalahan kami ke kamu, Nak?" tanya Leo.
Kanaya mengangguk pelan.
Ya ampun kau membuat anak kita dewasa belum pada waktunya, Yu! Dia kau beri beban seperti itu. Apa karna kau selalu melihatku Frustasi? Sehingga kau memberikan tugas seperti ini pada anak kita. Kau bahkan menghidupkan Rania di diri Kanaya, batin Leo.
"Tapi semuanya kacau ... hikssss ... hiks ... Bunda mengetahui semuanya sebelum waktunya. Sebelum Aya menjelaskan sendiri pada nya. Hwaaa ... hwwwwaaa ... sekarang sama Aya pun bunda pasti benci, pasti bunda berpikir Papa memanfaatkan Aya tuk menemui bunda,, kenapa jadi serumit ini ... hwwwwaaaa." Kanaya menangis semakin keras.
"Sudah Sayang jangan nangis!"
"Gimana kalau bunda gak mau ketemu lagi sama Aya? Gara-gara tahu Aya anak Papa. Pasti bunda pikir kita kerjasama." Aya terus menangis, sampai ingusnya saja sudah terjun bebas.
Leo terdiam ia bingung harus menjawab apa, membuat tangis Kanaya semakin keras.
"Sudah Sayang jangan nangis terus, nanti kita cari solusinya bareng-bareng Sekarang papa juga gak tahu harus gimana," ucap Leo mencoba menenangkan.
Karena terus menangis Kanaya akhirnya tertidur.
Di tempat lain,
Rania baru saja sampai di depan rumahnya. Dia membuka pintu dan langsung menuju kamar dengan tatapan kosong dan penuh derai air mata.
"Udah pulang, Kak? Kok gak bilang salam?" tanya ibu yang melihat kedatangan Rania.
Rania yang kalut tak melihat ada ibu di dekatnya bahkan ia tak mendengar pertanyaan ibu. Ia terus berjalan menuju kamar dengan sedikit berlari.
Kenapa anak itu? Pulang-pulang langsung ke kamar tidak menyapa dulu. Bahkan, aku sapa pun tak menjawab, tak seperti biasanya, pikir ibu.
Buuugggg!
Suara pintu ditutup sangat keras. Ibu merasakan ada yang tidak beres pada anaknya langsung mengejar ke atas.
*P*asti telah terjadi sesuatu pada kakak, dia tak pernah seperti itu, batin Ibu.
Ibu mencoba masuk kamar tapi pintunya dikunci, lalu mengetuk pintu tetapi tak ada jawaban. Hanya terdengar ada tangisan dari si pemilik kamar.
"Nak buka pintunya! Ini ibu, Kak. Kakak kenapa pulang-pulang nangis? Cerita sama ibu, yuk!" Ibu menggedor-gedor pintu.
"Rania pengen sendiri dulu, Bu," jawab Rania singkat dari dalam kamar.
"Ya sudah, tapi kalau ada apa-apa bicara sama ibu ya, Kak," timpal Ibu yang khawatir kepada Rania, "ibu ada di bawah gak kemana-mana."
Ibu meninggalkan kamar Rania setelah tak ada jawaban dari Rania. Rania masih menangis sambil memeluk guling sangat erat, kadang ia memukul guling itu sangat keras untuk melampiaskan kekesalannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
Ibroatul Hasanah
ksian
2021-08-13
0
Mimi Jamileh
sabar rania
2021-06-12
1
heti lestari
sedih bgt....😭😭😭😭
2021-05-30
2