Hari menunjukkan pukul setengah dua siang. Bety tampak mulai bosan dalam kamarnya, sementara Memet lebih asik sendiri memainkan video game di ponselnya. Dengan perasaan kesal Bety berjalan mendekati Memet.
“Memet, kita keluar yuk. Aku bosan nih, di kamar terus,” kata Bety membujuk Memet mengalihkan perhatiannya pada benda pipih itu.
Memet mematikan gamenya dan menoleh pada Bety. Ia melihat kalau wajah Bety telah berubah cemberut.
“Kemana? Sekarang di luar sedang gerimis. Mobil juga dibawa oleh keluarga pergi jalan-jalan. Kita naik apa perginya?”
“Pokoknya keluar dulu. Nanti kita pikirkan. Aku pengen keliling dekat-dekat sini saja. Hayo!” Bety menarik tangan Memet untuk bangkit.
Bety membawa tas tangannya di meja dan memakai jaket. Ia tak lupa menguncir rambutnya asal-asalan. Setelah itu ia memakai sepatu, dan bersiap untuk pergi.
Sementara Memet, ia hanya memakai jaket dan sandal santai. Ia tak lupa membawa dompetnya. Setelah itu ia menggandeng tangan Bety keluar kamar.
Di luar kondisi cuaca sedang gerimis. Bety melihat ada beberapa becak yang terparkir yang tak jauh dari hotel. Ia mengajak Memet untuk berlari ke tempat parkiran becak itu. Dengan berlari-lari kecil mereka sampai ke tempat itu.
“Mang, anterin kita ke mall dekat sini, ya?” kata Bety ke lelaki berumuran empat puluh tahunan.
“Iya neng. Silahkan naik,” kata tukang becak, membuka tutup plastik becaknya.
Becak itu dilengkapi dengan fasilitas penutup yang memadai. Seperti plastik kaca bening yang menutupi sekeliling becak itu, sehingga penumpangnya tidak kehujanan.
Bety dan Memet segera masuk ke dalam becak. Mereka duduk berdempetan di dalam becak itu. Ditemani gerimis hujan kota Bandung, mereka menikmati momen romantis berdua.
Memet yang berada di samping Bety bisa melihat kalau istrinya itu mulai kedinginan. Ia memajukan tubuhnya ke depan dan menjangkau kedua tangan Bety, lalu digenggamnya kedua tangan itu dengan erat.
“Memet?” kata Bety menoleh saat tangannya digenggam.
“Kamu dingin kan? Ya sudah biar aku bantu menghangatkan,” jawab Memet dengan menarik senyuman serratus-wattnya.
Bety merasakan jantungnya berdebar-debar. Rasa hangat menjalar ke pipinya. Perlakuan Memet membuatnya tidak tenang, ia seperti merasakan ada sensasi yang berbeda di saat jarak wajah Memet berdekatan dengannya. Mata Lelaki itu sangat jernih, ditambah kedua alis tebalnya yang hampir menyatu. Bibirnya yang berwarna merah sangat kontras dengan kulit wajahnya yang berwarna putih.
Seakan-akan terhipnotis dengan ketampanan Memet, Bety merasa kalau saat ini Memet sangat tampan sekali. Apakah semenjak menikah Memet telah berubah dua kali lipat lebih tampan, sehingga bisa membuat Bety tidak percaya pada penglihatannya.
“Bagaimana? Sudah terasa hangat, belum?” suara Memet memecah lamunan Bety.
“Hah? eh, sudah. Sudah hangat kok!” Bety buru-buru menarik tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaketnya. Ia benar-benar salah tingkah.
Memet tahu kalau Bety sedang salah tingkah. Melihat semburat merah yang muncul di kedua pipinya, jelas saja menandakan kalau wanita itu sedang tersipu. Entah keberanian apa yang datang, atau suasana gerimis yang mendukung. Memet mendekatkan dirinya lebih merapat ke tubuh Bety. Di saat wanita itu menoleh.
Cup.
Cup.
Dua ciuman singkat di bibir Bety, mendarat begitu saja. Memet merasa tak tahan melakukan itu pada istrinya itu. Ia merasa suasana saat ini sangat memihak kepadanya, memiliki kesan romantis bersama wanita yang baru sehari menjadi istrinya. Ini adalah momen terindah bagi dirinya.
Bety menerima saja ciuman singkat itu. Tetapi jangan ditanya lagi bagaimana keadaan jantungnya. Debaran yang yang seperti gemuruh di dadanya seakan berlomba-lomba berpacu dengan cepatnya. Darahnya berdesir dengan sangat hebat. Matanya terbelalak saking syoknya. Tenggorokannya seperti tercekat kekeringan. Tiba-tiba saja udara dingin tadi berubah menjadi hawa panas di musim kemarau. Melingkup seluruh tubuhnya dengan hati yang berbunga-bunga.
Keduanya terdiam cukup lama. Setelah mendapat angin kesadaran, Bety menarik nafasnya pelan. Ia merasakan kembali oksigen masuk ke paru-parunya. Udara yang tadi berubah mati, sekarang sudah hidup kembali, setelah melihat cengiran khas dari bibir Memet.
“Aku sangat menyayangimu, Bety. Semoga kita bisa seperti ini selamanya, ya?” Memet menggenggam tangan kanan Bety, lalu mengecupnya pelan.
Bety merasa sangat tersentuh mendapat perlakuan seperti itu. dalam hatinya ia berharap waktu akan berhenti berputar saat ini juga. Biarkan dia merekam momen indah ini kedalam memorinya, menyimpannya dengan sangat baik sehingga tidak ada yang berani memasukinya. Anggaplah ia saat ini berlebihan, tetapi memang itu yang terasa di hatinya.
Dengan emosi yang sangat kuat, Bety memeluk Memet. Air mata kebahagiaan meluncur bebas di pipinya, membelah lekukan tulang pipinya yang merona indah. Perasaan bahagia bercampur aduk, mengoyak rasa egonya yang tinggi.
“Memet, jangan pernah berubah. Jangan pernah berhenti mencintaiku,” kata-kata itu meluncur begitu saja, sangat pelan tetapi bermakna dalam, hingga nyaris hilang ditelan angin.
Memet dapat merasakan ungkapan Bety. Ia nyaris tak percaya dengan arti ucapannya barusan. Sedalam itukah artinya bagi istrinya itu. Jujur dari lubuk hatinya, ia tak akan pernah menyia-nyiakan wanitanya. Wanita yang akan menjadi pendamping, dan ibu dari anak-anaknya kelak.
Decitan suara roda becak memecah suasana romantis keduanya. Tukang becak telah mengantarkan mereka sampai ke depan mall yang akan mereka tuju. Penutup plastik itu dibuka dari luar.
“Neng, sudah sampai. Mari silahkan,” kata tukang becak mempersilahkan.
Mereka turun, dan memberikan uang dua lembaran uang seratus ribu sebagai upahnya. Mereka sangat berkesan karena telah merasakan momen yang tak terlupakan di atas becak sederhana itu.
“Wah, ini terlalu banyak neng?” kata tukang becak dengan wajah bingung.
“Tidak apa-apa, mang. Itu rejeki buat keluarganya.”
Mereka berterima kasih kepada tukang becak itu, dan segera bergandengan tangan masuk ke dalam mall. Mereka seperti pasangan kekasih yang saling mencintai. Wajah keduanya tak pernah luput dari kebahagiaan. Senyuman kebahagiaan selalu terukir jelas di bibir.
“Sayang kita mau makan atau pergi nonton?” kata Memet menoleh ke Bety, meminta pilihan.
“Kita nonton dulu. Aku masih kenyang,” jawab Bety tanpa pikir panjang.
Mereka pun pergi ke lantai lima, di sana mereka melihat jadwal tayang film yang akan diputar. Pilihannya jatuh pada film animasi yang sedang sedang populer saat itu. keduanya memesan tiket duduk tepat di barisan ke empat dari bawah.
Bety juga membeli popcorn dan dua minuman dingin sebelum masuk ke studio.
“Kamu senang nggak setelah kita menikah?” tanya Memet yang baru saja duduk di sebelah Bety.
Bety berpikir sejenak, sebelum memberikan jawabanya.
“Aku rasa sekarang senang. Tetapi… kalau kamu berubah, aku nggak akan menyukaimu lagi.”
“Kok gitu?” tanya Memet heran.
“Iya. Masa aku hanya mengandalkan cinta saja, sementara hidup masih berlanjut. Jadi kamu harus menjadi suami yang bertanggung jawab setelah ini. Karena aku nggak mau kita serumah dengan orang tua kita. Kita harus punya tempat tinggal sendiri,” jelas Bety mantap.
“Oh, kalau itu pasti! Aku juga tidak ingin bergantung pada orang tua. Aku akan bekerja, jadi kamu tak perlu khawatir!” kata Memet semangat, ia tak ingin mengecewakan istri dan keluarganya.
Karena ia telah bertekad untuk menikah di usia muda, ia juga telah mempersiapkan perencanaan untuk masa depannya bersama Bety. Mulai besok ia akan bekerja di kantor ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments