“Memet. Jadi kami itu sudah menjodohkan kalian. Bagaimana kalau kamu dan Bety menikah saja.”
Bukan hanya Memet yang tersintak kaget, tetapi Bety juga sama halnya. Menikah? Yang benar saja menikah dengan Bety, ia sama sekali belum kepikiran untuk menikah di usia muda. Memet menatap tajam ke arah mamanya, menanyakan kebenaran yang baru saja dihadapkan kepadanya.
“Aku? Menikah dengan dia?” Memet menuding ke arah Bety, dibalas anggukan oleh mama Ida
“Bisa-bisa kena rabies aku, mah!” Memet menatap ngeri, membayangkan gadis di sebelahnya itu, kalau sudah marah seperti macan betina mengamuk.
Bety menunjuk dirinya sendiri, tidak percaya dengan apa yang baru saja Memet katakan. Rabies? Dikira ia binatang. Kurang ajar! Seolah ia yang mau menikah dengan lelaki itu, bahkan sekedar duduk seruangan dan seudara saja ia tidak sudi.
“Jangan bilang begitu. Bety ini adalah kesayangan mama dari kecil sampai sekarang,” kata mama Ida, menatap marah, tidak terima dengan ucapan Memet.
“Hei! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu. Muka kayak rempeyek asin saja udah belagu!”
“What? Aku rempeyek asin? Ngak nyadar, situ mirip reog ponorogo, hahahha,” kata Memet, menirukan gaya tarian salah satu khas budaya itu.
“Sudah, sudah. Jangan berantem lagi. Kalian akan menikah awal bulan depan. Kita semua sudah sepakat menentukan harinya,” tukas mama Ida, menengahi perdebatan kedua anak itu.
Bety sangat kesal melihat Memet yang terus mengolok-olok dirinya, berharap perjodohan itu tidak terjadi. Ia berpikir, bagaimana jadinya ia kalau menikah dengan cowok tengil, yang selalu menjadi lawannya ketika di sekolah. Selama ini, jika berhadapan dengan lelaki itu membuat emosinya labil terus. Tingkah Memet yang seperti anak SD itu, membuatnya pusing bila harus serumah nantinya.
“Ma, aku belum siap untuk menikah sekarang. Lagian aku baru lulus, ini. Aku mau kuliah dulu, mencapai cita-cita jadi model terkenal, keliling Eropa, cari opa-opa Korea….”
“Lagaknya. Eh, Bety! Coba kamu ke kamar, terus berdiri di depan cermin, lihat penampilanmu, bagus apa tidak? Menghayal kok kayak orang ngigau,” Memet menatap Bety dengan pandangan meremehkan.
“Aku gak suka sama dia,” kata Bety sambil duduk di dekat mamanya.
“Dan aku tak suka sama gadis manja seperti dia. Tidak bisa apa-apa dan kekanak-kanakan.” Memet menambahkan dengan tatapan memancarkan kesinisan saat ia bersitatap dengan Bety.
“Aku juga, gak mau sama laki-laki sinis dan jutek, kayak kamu.” Bety juga tak mau kalah.
“Seperti tak ada perempuan lain saja!” lagi-lagi Memet menambahkan, mencibir ke arah Bety.
“Kamu ini bagaimana sih, Memet. Jadi orang jangan plin-plan, kemaren bilangnya mau ngelamar Bety kalau sudah lulus, terus minta menikah di gedung dengan resepsi super mewah, mau bulan madu ke Bali,” kata mama Ida, mengingat anak bujangnya itu mengutarakan keinginannya.
Memet langsung bungkam, malu karena mamanya mengatakan kebenaran yang telah diungkapkannya. Ia tidak menyangka mamanya akan secepat itu menyetujui. Sebelumnya, itu hanya keinginannya melamar Bety, jika ia telah sukses dan mapan jadi seorang pria yang akan menafkahi anak gadis orang.
Semua mata saat ini menatap ke arah Memet dengan tatapan penuh tanya. Melihat reaksi Memet yang baru saja menentang ucapan mamanya, tetapi sebenarnya Memet juga menginginkannya, membuat mereka tertawa.
“Ahaaai, bulan madu ke Bali. Memet, kamu mimpi apa kesurupan!” kata Bety tertawa jingkrak-jingkrak, menyadari kebodohan laki-laki itu yang ketahuan mengelak.
“Sakit perut aku ketawa …”
“Diam!” potong Memet.
“Aku kan nggak bilang sekarang juga kali, mah. Yah, gagal deh,” Memet menatap Bety yang masih cekikikan menertawai dirinya.
Sementara mereka semua menertawakan Memet, Bety baru menyadari kebodohannya mengingat kata-kata terakhir mama Ida ‘bulan madu’. Jedeer!! Seperti petir yang menyambar kepalanya. Mimpi apa Bety semalam, menyadari kata bulan madu bersama, Memet!
Menikah? Bulan madu?
Kata-kata itu sangat menakutkan baginya, seperti menghunus kepalanya yang dari tadi ikut menertawakan keinginan Memet pada mamanya. Di umur sembilan belas tahun, ia menikah? Membayangannya saja sudah membuat Bety kehilangan arah, apalagi bersama laki-laki yang selalu meledekinya, bertingkah seperti bocah. Hancur sudah masa depanku, pikirnya menerawang.
Ia membayangkan menikah dengan Memet, setelah itu mereka punya anak. Mengurus diri saja belum bisa, apalagi mengurus anak, dan bapaknya yang tak kalah manjanya. Seumur hidup Bety akan menangis kejer karena menuruti keinginan orangtuanya.
Memet jadi salah tingkah membanyangkan bulan madu dengan Bety, pikirannya kembali pada tayangan yang sering ditontonnya setiap malam. Model-model seksi itu sangat persis dengan tubuh langsing Bety, sangat cantik, tinggi semampai, dan kedua bola di depan dadanya yang super, waw! Mata Memet berkelip nakal menatap wajah cantik Bety yang sudah memerah, menahan amarah.
Tidak sia-sia perjuangan Memet selama ini, mendekati Bety yang sering dijahilinya. Walau pun begitu ia sama sekali tidak keberatan dengan penolakan gadis itu. Ia melihat mata Bety yang memancarkan rona tajam kemarahan, kalau saja mata itu sebuah pisau, mungkin Memet sudah berdarah dibuatnya. Memet tak ambil pusing ia hanya menampilkan senyuman mengejek kepada Bety, yang terlihat tidak berdaya untuk menolak keinginan orangtuanya. Dan ini adalah kesempatan Memet mengambil alih jalan ceritanya.
“Ehem,” Memet sengaja berdehem, memusatkan perhatian yang lainnya.
“Aku sih, setuju-setuju saja. Tapi tergantung pada Bety,” Memet sengaja menyudutkan Bety yang tidak bisa berkutik lagi.
“Aku gak mau!” kata Bety murka.
Mama Rika menengahi perdebatan mereka, “Pokoknya keputusan sudah final. Kalian tidak ada alasan untuk membantah.”
“Tapi kenapa ma? Apa alasannya secepat itu,” kata Bety tidak terima.
“Karena mama mau kamu menjadi anak penurut. Memet sudah cocok menjadi pemimpin buat kamu, dan mama ingin kamu berubah jadi anak perempuan seutuhnya. Jauhi sikap jagoan itu, karena mama hanya ingin yang terbaik buat kamu,” jelas mama Rika.
Bety sangat kecewa dengan keputusan sepihak mamanya. Di rumah ini keputusan mamanya adalah mutlak, karena semua urusan kepala rumah tangga, mama yang mengurus. Ayah Bety sudah meninggal sewaktu Bety masih bayi, karena sakit jantung yang dideritanya. Hanya ada ia satu-satunya yang sekolah, sementara kakak laki-lakinya bekerja di kantor almarhum ayahnya.
Bety sangat kesal, ia berjalan menghentak-hentakkan kakinya menaiki tangga ke lantai atas. Melihat semua orang yang tidak memperdulikan keinginannya, ia sangat marah sekali.
“Eh, dek. Kamu kenapa manyun begitu?” kata bang Dian, kakak laki-lakinya.
Bety mengangkat wajahnya, mendongak ke arah abangnya, “Bang, apa benar aku dijodohkan dengan Memet?” tanyanya dengan wajah kecewa.
“Iya. Tadi mama juga sudah ngomong ke abang. Kamu gak apa-apa kan, dek?” kata Dian mengelus kepala Bety sayang.
Sebenarnya Dian tidak setuju adik perempuanya segera di jodohkan, mengingat Bety yang masih remaja belum bisa menjalankan kehidupan rumah tangga, tetapi mamanya bersikeras untuk segera menjodohkan adiknya itu. Ia sebagai kakak hanya bisa menyetujui keputusan orangtuanya.
“Tapi aku gak mau nikah muda, bang. Aku masih ingin menikmati semuanya bersama teman-teman,” kata Bety, berharap abangnya bisa membantu meringankan bebannya.
Dian hanya bernapas panjang, tidak tahu apa yang akan diperbuatnya membantu adik sematawayangnya.
“Begini saja, kamu turuti dulu keinginan mama. Kalau Memet macam-macam, biar abang yang hadapi dia. Gimana?” kata Dian, menenangkan keresahan hati adiknya.
“Baiklah,” sahut Bety lemah.
Ia berjalan gontai ke kamarnya. Saat ini ia butuh ketenangan hati untuk menerima perjodahan itu. Mau menolak sekuat apa pun, mamanya tak akan membiarkan ia membantah. Bety berharap ada keajaiban membantunya terlepas dari perjodohan itu.
Di ruang tamu semuanya tengah duduk membicarakan kelanjutan hubungan mereka.
“Jadi gimana, Ida. Aku sih pengennya mereka bulan depan sudah menikah, setelah itu resepsi sehari,” kata mama Rika, merencanakan persiapan acara penikahan Memet dan Bety.
“Aku setuju saja. Kita adakan resepsi di Bandung, gimana? Aku maunya di gedung, agar kita sekeluarga mendapat tempat inap selama acara berlangsung,” usul mama Ida.
“Boleh. Kita atur dulu kencan buat mereka agar lebih akrab,” kata mama Rika, menatap Memet yang masih berdiam diri di ujung kursi.
“Iya. Ide bagus, aku setuju.”
Memet merasa bersalah telah membuat Bety kecewa dengan keinginan kedua orangtua itu. Dia ingin menghibur gadis itu ke kamarnya, tapi itu tidak memungkinkan untuk saat ini. Entah kenapa hatinya dilanda gelisah melihat kedatangan Dian yang ikut bergabung membicarakan persiapan acara itu. Tatapan Dian mengisyaratkan kalau dia tidak menyetujui keputusan perjodohan itu, melihat matanya yang tidak berhenti menyelidik Memet dari kaki sampai ujung kepala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Dhina ♑
💏💏💏💏💏
2021-04-30
0
ANAA K
lanjutttt
2021-02-25
1