“My Prince!”
Erie memanggil anaknya. Panik dan khawatir. Ketidakberadaan Gevio di sekitarnya membuat dunia Erie seakan berhenti. Padahal baru sebentar ia mencuci tangannya. Hanya dalam hitungan puluhan detik Erie lengah, namun perempuan itu sudah kehilangan anaknya yang berusia dua tahun itu.
“Gevio, kau ada di mana?” panggil Erie lagi. Dadanya terasa sesak karena oksigen terasa seperti tidak masuk ke dalam paru-parunya. Perempuan itu semakin panik dan tidak bisa mengendalikan dirinya.
“Gevio!” kata Erie mencoba memanggil nama putranya dengan nada yang lebih keras hingga menimbulkan gema di penjuru ruangan toilet. Erie mengedarkan pandangannya ke tempat yang ia kira Gevio akan berada, tetapi ia tidak bisa melihat keberadaan anaknya itu.
Erie beranjak. Ia membuka pintu bilik yang ada di toilet itu. Jumlahnya ada lima dan Erie membukanya satu per satu. Memeriksanya sambil berharap barang kali Gevio masuk ke dalam salah satu bilik toilet yang diperuntukkan bagi perempuan itu. Mungkin untuk bermain dengan tisu toilet ataupun bersembunyi. Apa pun itu alasannya, Erie hanya ingin berharap anaknya masih berada di dalam salah satu bilik toilet di sana.
“My Prince!” Berulang kali Erie memeriksa setiap bilik toilet sambil meneriaki panggilan anaknya, namun hasilnya nihil. Erie gemetar. Ia lengah dan menyesal akan hal itu. Harusnya ia tidak melepaskan fokusnya dari Gevio.
Erie keluar dan mencari-cari di sekitar toilet selama sepuluh menit. Sungguh, sepuluh menit itu terasa panjang. Penuh kepanikan dan sangat melelahkan.
“Ada apa, Nyonya?” tanya A8 saat ia melihat majikannya yang panik dengan wajah berpeluh berjalan mendekatinya.
“Aku kehilangan Gevio,” jawab Erie lemah.
A8 kembali bertanya, “Tuan Muda?”
Erie mengangguk. “Apa kau melihatnya?”
“Bukankah tadi Tuan Muda masuk ke dalam ruang rapat?”
“Apa?!” kata Erie terkejut. “Gevio masuk ke dalam?”
“Benar Nyonya. Tadi saya melihat Tuan Muda masuk ke dalam," kata A8 membenarkan.
Ucapan A8 membuat Erie ngeri. Bagaimana ia begitu ceroboh sampai membiarkan Gevio masuk ke dalam ruang rapat? Padahal Elden sudah bersusah payah membangun citra yang bagus dengan tidak menggabungkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Coba bayangkan bagaimana ekspresi pria itu sekarang ketika mengetahui istrinya lalai menjaga putra mereka?
Argh! Erie tidak bisa membayangkannya. Sedikit pun tidak bisa. Erie mulai panik, memikirkan caranya agar ia bisa masuk ke dalam ruangan itu. Namun, itu tidak mungkin dilakukan. Atau mungkin saja Gevio keluar dari sana, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Bisa dibilang juga mustahil karena Gevio begitu dekat dengan Elden. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya hanya untuk bermain dengan pria itu.
“Kenapa tidak kau hentikan dia?” protes Erie kepada pengawal sang anak sambil menatap pintu berwarna hitam.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa menghentikan Tuan Muda karena saya takut Tuan Muda akan menangis,” sesal A8.
Ya, laki-laki itu benar. Gevio tidak suka dekat dengan sembarangan orang. Erie sendiri pun memerlukan waktu yang sangat panjang agar dapat dekat dengan putranya. Sampai saat ini, orang-orang selain Erie, Elden dan Marline, akan dianggap orang asing oleh anak itu. Dan kepada orang asing, Gevio tidak hanya berontak, ia akan menangis keras sampai orang-orang yang ia kenali membujuknya dan menggendongnya. Entah dari mana Gevio mendapatkan ketakutan yang sebesar itu kepada orang lain. Mungkin saja pengaruh dari masa kehamilan Erie dulu yang sempat mengalami tragedi yang sangat buruk.
“Tapi Anda tenang saja Nyonya,” ucap A8 membuyarkan pikiran Erie.
Erie menatap lawan bicaranya dengan tatapan tajam. “Bagaimana aku bisa tenang saat anakku ada di dalam? Bagaimana kalau dia menghacurkan rapatnya?”
“Itu tidak mungkin, Nyonya, karena Bos juga ada di dalam. Jika Tuan Muda memang melakukan sesuatu yang tidak di sukai Tuan, Bos akan segera memanggil saya,” tambah laki-laki itu mencoba menjelaskan. Yang dimaksud Bos di sini adalah Mario. Kedudukannya sebagai orang kedua di organisasi membuatnya mendapatkan panggilan itu.
Memang benar Mario ada di dalam. Mario merupakan anak buah Elden yang pandai membaca situasi. Jika yang dikhawatirkan Erie terjadi, sudah pasti Mario akan bertindak, persis seperti yang dikatakan oleh A8.
“Apakah aku yang terlalu khawatir?” gumam Erie secara spontan.
“Tidak apa-apa, Nyonya. Percayalah Tuan Muda tidak akan melakukan hal yang buruk di dalam sana. Sekarang, sebaiknya Anda duduk terlebih dahulu. Atau mau saya antarkan ke ruangan Tuan?” tawar A8.
Erie menggeleng untuk menolak. “Tidak perlu. Aku duduk di sana saja.”
Perempuan itu berjalan menuju ke kursi yang berada tak jauh dari ruang rapat. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan mencoba untuk menghubungi Elden atau Mario.
XXXXX
Kembali ke beberapa saat yang lalu. Kala itu Erie sedang membersihkan tangannya di wastafel usai menemani Gevio buang air. Karena fokus untuk mencuci tangan, Erie tidak menyadari bahwa Gevio keluar dari ruangan itu mengikuti seorang pegawai wanita. Anak itu terus mengikuti pegawai itu hingga masuk ke dalam ruang rapat. Kebetulan, pegawai itu juga merupakan salah satu peserta rapat.
Sebenarnya A8 sudah melihat Gevio saat anak itu keluar dari toilet perempuan. Ia merasa aneh karena majikan kecilnya itu tidak berada bersama Erie, melainkan mengikuti seorang pegawai wanita yang terlihat sama sekali tidak menyadari keberadaan Gevio.
Laki-laki itu berusaha untuk memanggil Gevio, namun sang Tuan Muda terlihat mengabaikan panggilannya. A8 yang merasa tidak berdaya, akhirnya hanya bisa mengawasi Gevio sampai bocah berusia dua tahun tersebut masuk ke dalam ruangan.
Ketika berada di dalam, tanpa ragu Gevio kecil langsung memanggil ayahnya. “Daddy!” teriak Gevio dengan polos. Sebuah teriakan yang seketika membuat ruangan yang tadinya sedikit berisik itu berubah menjadi hening. Semua orang yang berada di ruangan itu yang awalnya fokus terhadap seseorang yang sedang presentasi di depan mereka, mendadak mengalihkan pandangan ke arah pintu di mana terdapat seorang anak kecil berdiri di sana.
Gevio tersentak. Saat melihat banyaknya orang yang menatapnya, seketika bibir sang Tuan Muda mengerucut. Hampir saja anak itu menangis jika Elden tidak bergerak ke dekatnya.
Elden berdiri dari kursinya. Dengan cepat ia menampikkan keterkejutannya untuk menghampiri Gevio. “My Prince, jangan menangis! Daddy ada di sini,” bujuk Elden berjongkok di depan Gevio sambil mengelus kepala putranya, berusaha merayu agar anaknya itu tidak menangis.
“Daddy!” Gevio memanggil Elden lagi kemudian memeluk tubuh ayahnya.
Elden membalas pelukan anaknya. “Ya, Daddy ada di sini. Kenapa? Apa kau tersesat? Kau terpisah dari Mommy?”
Gevio mengangguk pelan.
Elden melepaskan dekapan tubuhnya dari tubuh sang anak. “Tidak apa-apa. Nanti kita cari Mommy. Tapi Daddy harus bekerja. Apa kau mau menemani Daddy?”
“Iya!” ucap Gevio sambil mengangguk dengan cepat.
Mendapatkan persetujuan dari Gevio membuat Elden langsung menggendong sang anak dan membawanya ke kursinya. Lalu, pria itu mendudukkan putra kecilnya ke pangkuannya.
Beberapa saat kemudian, Elden tersentak. Ia tersadar sedang berada di ruang rapat, di mana seluruh pegawainya kini sedang menatapnya. Seolah mereka sedang melemparkan tanda tanya besar dan merasa kebingungan. Mereka bingung bukan karena mereka tidak tahu siapa Gevio. Sebagai karyawan di Alvaro Group, sangat gila bagi mereka jika tidak menyadari siapa Gevio yang jelas-jelas sering muncul di kantor selama dua tahun ini bersama dengan Erie. Hanya saja mereka bingung bagaimana harus bersikap sekarang.
“Ah, ini adalah putraku,” ujar Elden mengumumkan. “Apa yang kau lihat? Lanjutkan presentasimu!" lanjutnya menyergah salah satu karyawan yang tadinya sedang melakukan presentasi, tiba-tiba berhenti bersuara karena terkejut.
“Ba… Baik Tuan,” jawab karyawan itu. Tak lama kemudian ia mengatur napasnya dan memulai lagi presentasinya yang sempat tersendat.
“Astaga, Tuan Elden membawa putranya ke dalam ruang rapat? Apakah ini sebagai tanda bahwa anak itu yang akan menjadi penerus?” bisik seorang peserta rapat kepada yang lain menanyakan tindakan Elden.
Walau sudah menggunakan suara yang rendah, tetapi tetap saja Elden bisa mendengar perkataan orang itu. Elden melirik ke arah mereka hingga membuat orang-orang itu terdiam.
Elden kembali mengalihkan fokusnya ke anak yang baru berusia dua tahun yang ada di dalam pangkuannya. Anak itu menjangkau tangan Elden dan mengambil pulpen yang ada di tangan pria itu. Kemudian, ia menggunakan pulpen itu untuk mencoret-coret kertas yang ada di depannya.
Hanya senyuman yang muncul di wajah tegas Elden. Ia sangat senang melihat anaknya yang terlihat antusias dengan rapat, yang bagi orang dewasa saja terasa sangat membosankan. Jika diperhatikan lagi, tingkah Gevio yang seperti ini terlihat sama dengan Elden. Sepertinya anaknya tengah meniru Elden saat pria itu sedang bekerja.
“Daddy pakai dulu pulpennya,” kata Elden mengambil kembali pulpennya dari Gevio saat ia hendak menggunakannya untuk menulis. Pria itu bukannya tidak punya pulpen lain. Konyol baginya yang seorang CEO jika tidak sanggup membeli pulpen. Ia bahkan bisa mengambil pulpen Mario jika ia ingin. Tetapi Elden tidak mau melakukannya. Ia ingin mengajarkan kepada Gevio bahwa pulpen yang tadi anaknya ambil adalah pulpen miliknya dan sudah seharusnya Gevio menggembalikannya.
Seolah mengerti maksud sang ayah, Gevio hanya diam saja saat Elden mengambil pulpen itu dari tangannya. Ia hanya melihat ayahnya yang menulis sambil berbicara untuk memberikan komentar terhadap hasil yang dicapai oleh anak buahnya.
XXXXXX
Gevio mulai aktif ya moms... hahahaha ><
Semoga para pembaca juga aktif memberikan dukungan kepada Author dengan rajin meninggalkan jejak. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Devoy 🍁
🤗🤗🤗
2022-01-03
1
Devoy 🍁
Enak ya jadi anaknya Elden😂
2021-12-13
0
Sis Fauzi
inspiratif 👍 bagus ceritanya ❤️
2021-05-02
4