“Di mana istriku?” tanya Elden begitu ia masuk ke dalam rumahnya. Ia sedang bertanya kepada Marline yang kebetulan berada di ruang tamu. Wanita tua itu sedang menonton televisi bersama dengan beberapa pelayan lainnya. Bukan bermaksud kurang ajar. Hanya saja, Erie sudah memberikan izin kepada Marline untuk menggunakan fasilitas di rumah itu selagi ia dan suaminya tidak menggunakannya. Jadi atas izin Erie serta persetujuan Eldenlah, maka sang kepala pelayan bersama beberapa pelayan berani menonton televisi di waktu malam hari.
Marline berdiri dari lantai beralas karpet cokelat itu. Tidak hanya dirinya saja, semua pelayan yang ada di sana juga ikut berdiri lalu menunduk hormat menyambut kedatangan Elden.
“Nyonya sudah berada di dalam kamar, Tuan,” jawab Marline.
Elden mengangkat sebelah alisnya. “Hmm, tumben sekali. Apakah dia sudah tidur?”
“Sepertinya sudah, Tuan. Setelah memastikan Tuan Muda tidur, Nyonya berpesan agar tidak diganggu.”
“Begitukah? Apa saja yang dia lakukan hari ini? Jarang sekali Erie tidak menungguku.”
“Mungkin Nyonya merasa lelah, Tuan. Karena hari ini Tuan Muda sangat aktif bermain dengan Nyonya.”
“Hmm… Ternyata seperti itu.” Sambil menarik dasinya sampai terlepas dari kemeja, Elden berkata lagi, “Ada beberapa barang di mobil. Cepat kalian bawa masuk ke dalam.”
“Baik, Tuan,” jawab Marline mengiyakan perintah Elden.
Usai percakapan singkat itu, Elden melangkahkan kakinya ke lantai atas. Segera ia masuk ke kamarnya dan membersihkan dirinya. Saat pria itu telah mengenakan pakaian yang nyaman digunakan untuk tidur, ia memasuki kamar Erie.
Di dalam kamar Erie, Elden meletakkan sebuah kotak berukuran sedang ke atas nakas di dekat ranjang. Lalu ia mendekati tempat tidur Gevio untuk melihat anaknya.
"Apakah kau senang menyulitkan Mommymu, Gevio? Daddy benar-benar iri padamu,” ujarnya sambil mengelus pelan kepala Gevio sebanyak tiga kali, baru kemudian ia beranjak ke arah ranjang di mana Erie sedang tidur.
Elden duduk di sebelah Erie. “Sayang, bangun. Aku sudah pulang. Kau tidak ingin menyambutku?” kata pria itu pelan sambil mengelus pipi Erie dengan punggung jari telunjuk dan jari tengahnya. Ada rasa sedih dari ucapan Elden karena ia tidak bisa berbicara banyak dengan perempuan itu hari ini. Tadi pagi ia harus berangkat di waktu Erie masih tidur. Dan sekarang, ia pulang ketika perempuan itu sudah terlelap. Benar-benar menyebalkan!
“Kau tidak mau bangun?” Elden mengatakannya lagi. “Padahal aku sudah datang secepat mungkin.” Pria itu berusaha untuk membangunkan istrinya meski dengan suara pelan agar tidak mengganggu tidur Gevio.
Melihat tidak ada respons dari Erie, Elden memulai cara lain. Ia merendahkan wajah ke wajah Erie lalu membawa bibirnya ke bibir perempuan itu. Tak hanya mengecup pelan bibir istrinya, kedua pipi Erie juga tidak luput dari serangan pria itu.
Beberapa saat kemudian Erie terbangun. Ia terganggu atas perbuatan seseorang di atas tubuhnya. Dengan malas Erie mengerjapkan matanya. Samar-samar ia melihat wajah Elden. Tidak terlihat jelas karena pria itu tidak menghidupkan lampu selain lampu tidur yang berada di atas nakas.
“Aku mengantuk, Elden,” gumam Erie.
“Aku akan mengganggumu sampai kau bangun.” Elden mengecupi wajah Erie. Bahkan tangannya juga tidak tinggal diam. Mereka menjelajah tubuh Erie dengan gerakan lembut dan menggoda.
Buru-buru Erie mengangkat tangannya untuk menghalau kecupan Elden di wajahnya. “Berhenti! Ada Gevio di sini, kau bisa membangunkannya!” sergah perempuan itu.
“Ck! Besok aku akan mengurus kamar untuknya agar tidak ada lagi alasan bagimu menolakku.”
“Astaga Elden, mana mungkin aku menolakmu?” ucap Erie seraya menempelkan jari telunjuk kirinya di wajah Elden. Secara pelan ia menyusuri garis rahang Elden yang tegas. Terasa sangat kasar di kulit tangan Erie, terutama di sekitar bagian dagu pria itu. Sepertinya dalam beberapa hari ke depan, akan muncul janggut di sana.
“Apa kau benar-benar mengantuk?” tanya pria itu lagi.
Erie mengangguk tanda ia membenarkan perkataan sang suami.
“Padahal aku ingin diperhatikan olehmu. Aku benar-benar cemburu pada Gevio," keluh Elden.
Mendadak Erie terkekeh. Walau usia Elden sudah hampir menginjak kepala tiga, namun kelakuan pria itu tak ubah seorang anak kecil yang sedang merengek kepada ibunya.
"Oho kau cemburu rupanya.” Erie melepaskan tangannya dari tubuh Elden lalu menepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. “Kemarilah, biar aku memperhatikanmu," ajak Erie.
Seulas senyum tampak di bibir Elden. Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung bergerak ke samping Erie dan berbaring di sana. Terasa nyaman apalagi ketika tangan Erie merengkuh tubuhnya dan mendekapnya.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apakah sulit?” kata Erie lagi memulai pembicaraannya dengan suaminya.
“Iya sulit. Aku lelah,” gumam Elden.
Seraya menepuk-nepuk bahu Elden, Erie memberikan pujian sekaligus semangat kepada suaminya itu. “Kau luar biasa Elden! Kau berhasil melewati hari yang sulit ini dengan sangat baik.”
Mendapatkan pujian dari istrinya membuat Elden senang. Ia sedikit menegadah untuk melihat wajah perempuan itu. “Kau baru tahu? Aku memang hebat sejak dulu,” ucapnya angkuh.
“Ah, benar! Kau memang hebat Tuan Alvaro. Itulah sebabnya aku menikahimu. Aku tahu kalau suamiku ini adalah pria yang hebat,” puji Erie. “Jadi Tuan Alvaro yang luar biasa hebat, sebaiknya kita tidur sekarang karena aku benar-benar mengantuk,” pungkas perempuan itu yang langsung disetujui oleh suaminya.
XXXXX
“Apa ini?!”
Pagi harinya, sebuah suara langsung mengisi ke penjuru kamar itu. Suara keras itu berasal dari Erie yang terkejut dengan hadiah yang dijanjikan oleh suaminya kemarin. Untung saja Gevio tidak ada di sana karena sudah dibawa terlebih dahulu oleh Marline untuk dimandikan.
“Lingerie.” Elden mengucapkan pakaian dalam wanita dengan santai. Pria yang sudah berpakaian lengkap dengan stelan jasnya itu duduk di atas ranjang Erie dan menatap istrinya yang terlihat terkejut.
“Elden, aku tahu ini lingerie! Tapi apa maksudmu? Untuk apa kau memberikan benda ini padaku?” tanya Erie sambil mengangkat kain tipis berenda-renda berwarna merah itu di hadapan Elden.
"Tentu saja untuk kau pakai sayang. Aku yakin kau akan terlihat cantik memakainya,” ujar pria itu dibarengi dengan seringai nakal yang terlihat seperti senyuman mesum.
Erie mendengkus kesal karena merasa dikerjai oleh suaminya. Ia menaruh kembali pakaian aneh itu ke dalam kotak dan meletakkan kotak itu ke atas tempat tidur. “Elden, aku tidak menginginkan ini,” ungkapnya.
“Lalu apa yang kau inginkan Vallerie? Kau selalu saja bilang tidak membutuhkan apa-apa saat aku tanya!” ucap Elden yang mendadak menjadi ketus. Ia kesal karena Erie kerap kali menolak untuk dibelikan barang-barang mewah seperti perhiasan mahal, pakaian maupun sepatu. Perempuan itu selalu mengatakan bahwa membeli barang-barang itu hanya menghambur-hamburkan uang. Padahal jika membelikan istrinya 1000 macam dari barang-barang mewah itu pun, Elden tidak akan jatuh miskin.
“Semua barang yang kau belikan sudah lebih dari cukup untukku, Elden. Aku tidak mau menghabiskan uangmu,” ujar Erie.
Tuh, benarkan? Erie selalu mengatakan itu. Apakah Erie tidak mengerti perasaan Elden? Bagaimana mungkin ia melihat istrinya yang hanya menggunakan barang yang sudah pernah dipakainya lebih dari dua kali? Seolah-olah menunjukkan bahwa Elden adalah suami yang tidak berkompeten. Suami yang tidak menyayangi istrinya dan tega membiarkan perempuan itu terlihat buruk di masyarakat.
“Bagaimana mungkin seorang Nyonya Alvaro seirit ini? Apa aku harus memaksamu agar kau mau menghabiskan uangku?” ungkap pria itu.
“Elden, aku tidak irit. Aku juga menggunakan uangmu.”
“Benarkah? Coba sebutkan apa saja yang kau beli dalam seminggu ini!”
Erie terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat apa saja yang ia lakukan dalam tujuh hari ke belakang. “Aku membayar uang rumah sakit Gevio.”
“Itu bukan barang Vallerie!” hardik Elden.
“Ah, benar.”
Erie berpikir lagi dan ia mendapatkan jawabannya. “Aku membeli baju untuk Gevio.”
“Vallerie!” Elden menggeram. “Aku bilang untuk menyebutkan barangmu bukan barang anakku!”
Perempuan itu mulai kebingungan. Namun ia teringat bahwa empat hari yang lalu ia sempat pergi ke sebuah toko buku. Dan di sana, ia sempat membeli beberapa barang.
“Aku membeli tujuh novel terbaru, lima buah majalah dan satu paket alat melukis," kata Erie dengan percaya diri karena merasa yakin telah menggunakan uang suaminya.
“Berapa yang kau habiskan dengan membeli barang-barang itu?” tanya Elden.
“Eum…” Erie meragu. Ia sedikit khawatir menyebutkan nominalnya. Perempuan itu takut suaminya akan marah jika mendengarnya.
“Jawab aku, Vallerie!” tegas Elden.
“150 dolar.”
“Haaah!” Elden mengeluarkan suara seperti sebuah desahan kasar. Ia memandang istrinya yang sedang bergeming. Pria itu benar-benar merasa kesal sekarang. “Vallerie dengar, aku bekerja untukmu dan Gevio. Jika kau tidak menikmatinya, lalu bagaimana aku bisa tenang? Apa kau tidak menghargai usahaku?”
XXXXX
Erie ngabisin duit sedikit dimarahin karena kurang banyak. Kalau aku, pakai duit sedikit juga dimarahin, tapi karena kebanyakan.
Memangnya, hidup tidak seindah novel dan drama Korea... Hiks T.T
Nah, tapi ada yang indah kok di dunia ini, yaitu memberi. Jadi jangan lupa berikan like, vote, comment, tip dan ratenya ya. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Devoy 🍁
❤️❤️❤️
2022-01-03
1
D'ՇɧeeՐՏ🍻
Ooohhh❤️❤️❤️❤️
2021-11-01
1
Sis Fauzi
my happiness when you give me vote, likes, comments and rate 🌟 thanks
2021-04-13
2