Drachenfutter (Hadiah Dari Sang Suami)
“Selamat pagi My Prince!”
Sapaan pagi yang selalu terdengar tiap kali Erie menemui putranya. Saat itu Gevio baru menginjak usia sembilan bulan. Masih sangat kecil dan begitu lucu.
“My prince…” desah Erie sedih. Meski sudah satu bulan ia bersama dengan putranya, tetapi anak itu masih mengabaikannya. Erie masih dianggap asing oleh Gevio. Sudah banyak hal yang Erie lakukan guna mendapatkan perhatian dari anak semata wayangnya itu. Mulai dari mendekatinya secara diam-diam, memberikan makanan kesukaannya hingga mencoba bermain dengannya. Semua sudah dilakukan oleh perempuan itu. Namun, Gevio tidak sedikit pun merasa tertarik.
“Gevio, kemarilah.” Suara baritone terdengar di sebelah Erie. Itu adalah suara Elden. Pria itu setiap akhir pekan selalu mengosongkan jadwalnya agar bisa menghabiskan waktunya bersama dengan putra kecilnya dan juga istrinya. Ia sengaja menghindari kunjungan keluar kota apalagi keluar negeri. Demi keluarganya, Elden rela kehilangan proyek bernilai puluhan miliar hanya karena ia tidak ingin pergi terlalu jauh dari kedua orang yang paling ia sayangi itu.
Gevio berpaling dari mainannya. Berbeda dengan Erie, bayi kecil itu selalu memberi tanggapan atas panggilan sang ayah. Gevio melepaskan mobil-mobilannya dan membiarkannya jatuh ke atas lantai. Dengan kedua tangan dan kakinya, ia mulai merangkak ke arah Elden yang duduk tak begitu jauh darinya.
“Kau jahat sekali pada Mommy, sayang. Padahal Mommy yang memanggilmu, tapi kau malah menghampiri Daddy!” protes Erie sembari menatap Gevio yang sekarang berada di dalam dekapan Elden.
Erie bergerak sedikit mendekati keduanya. Tangannya mengamit tangan Elden dan pelan-pelan ia menyandarkan kepalanya di dada Elden. Erie menangkap mata hazel anaknya yang menatapnya dengan tajam. Perempuan itu tersenyum. Seolah menantang Gevio, ia menempelkan tangannya di dada Elden, di mana tangan putranya itu juga berada di sana.
Bibir mungil Gevio mulai mengerucut. Ia merasa kesal karena melihat sang ayah dekat dengan orang lain selain dirinya. Tangannya meremas baju putih Elden dengan erat lalu ia menengadah. Mencoba mencari pembelaan dari ayahnya sambil berharap pria itu mau mengusir perempuan yang ada di dekatnya itu. Akan tetapi bukannya membantu, Elden justru tersenyum ke arah Erie yang semakin membuat Gevio kesal.
Gevio merasa tidak tahan lagi apalagi melihat Erie yang mulai berani menyentuh tangan kecilnya. Dengan sekuat tenaga, Gevio memukul tangan sang ibu yang berada di dada ayahnya tersebut hingga membuat Erie mengaduh.
“Aw!” ucap Erie seketika seraya memegang tangannya yang cukup terasa sakit akibat perbuatan Gevio. Tak hanya Erie, Elden pun ikut terkejut melihat tingkah putranya.
“My Prince, kau tidak boleh memukul Mommy seperti itu!” geram pria itu sambil menatap wajah Gevio dengan tajam.
Beberapa detik kemudian, kedua mata hazel kecil milik Gevio mulai berair. Perlahan-lahan air matanya rebas membasahi kedua pipinya yang tumbuh bulat dan besar itu. Mulutnya terbuka lalu anak itu mulai menangis kencang.
Bukannya membujuk Gevio untuk berhenti menangis, Elden malah mengangkat tubuh anaknya dari pangkuannya dan menundukkannya di atas lantai. Sedangkan pria itu beranjak dari sana, duduk di sofa sambil berpura-pura mengabaikan tangisan putranya itu.
“Ah tidak! Tidak!” Erie mengiba. Ia mendekati Gevio. “Sayang, jangan menangis,” bujuknya. Perempuan itu mencoba menggendong Gevio, namun lagi-lagi anak laki-laki konglomerat Alvaro itu menolak.
“Kau ingin bersama Daddy?” Erie mencoba membujuk lagi. “Ayo kita ke sana,” ujarnya seraya menunjuk ke arah sofa di mana Elden sedang duduk di sana. Dan… berhasil! Kali ini Gevio berhasil termakan bujukan Erie. Anak berusia sembilan bulan itu merasa pasrah melayang di udara ketika Erie mengangkatnya dan menggendongnya.
Seulas senyum muncul di bibir Erie. Jantungnya berdebar kencang. Ternyata ini rasanya menggendong anaknya karena selama satu bulan pasca kepulangannya dari rumah sakit, tidak pernah sekali pun Erie mendapatkan kesempatan untuk menggendong anak kandungnya itu. Erie takut, jika terlalu dipaksakan, bukannya semakin dekat, Gevio justru akan semakin membencinya.
Kesempatan langka itu juga dilihat oleh Elden. Sungguh pemandangan di mana istrinya sedang menggendong putranya adalah pemandangan terbaik yang pernah pria itu dapatkan sepanjang hari ini. Meski Gevio masih dalam keadaan menangis sambil menatap ke arahnya, tetapi setidaknya Elden berhasil membuat Erie mendekati Gevio.
Lihatlah senyuman yang terpancar dari paras Erie. Jika diingat-ingat, walaupun Erie sering tersenyum, tetapi perempuan itu tidak pernah menunjukkan senyuman yang begitu indah seperti itu. Sebab, dari sana terpancar aura kebahagiaan seorang ibu. Dan tentu saja, senyum itu juga membuat Erie terlihat sangat cantik.
“Nah sudah. Kita sudah sampai di tempat Daddy,” kata Erie saat ia dan Gevio berada di depan Elden. Seakan-akan mengerti perkataan ibunya, Gevio mengulurkan tangannya ke arah Elden sambil berharap agar sang ayah segera menggendongnya.
Elden tak ingin berlama-lama melihat Gevio menangis. Jujur, tangisan putranya itu terdengar begitu menyakitkan baginya. “Sini, kemarilah,” ucap Elden seraya menyambut uluran tangan Gevio.
Pelan-pelan Erie meletakkan tubuh Gevio ke dalam dekapan suaminya lagi. Lalu ia duduk di samping pria itu. “Ternyata kau benar-benar menyayangi Daddy rupanya,” gumam Erie dengan pandangan mata tak lepas mengamati interaksi antara anak dan suaminya.
Elden tersentak. Ia membenarkan posisi Gevio di pangkuannya dan menoleh ke samping. “Sayang…” ucap pria itu. Sebelah tangannya bergerak ke tangan Erie. Jari-jarinya yang besar dan hangat mengusap punggung tangan istrinya itu. “Dia juga menyayangimu, sayang. Mungkin butuh waktu sedikit lagi agar dia terbiasa dengan kehadiranmu.”
Erie menyentuh tangan suaminya. “Tidak apa-apa Elden. Asalkan aku bisa melihat pertumbuhan Gevio dengan baik dan sehat, itu sudah cukup bagiku.”
Ada nada sedih yang ditangkap Elden dari kalimat yang disampaikan oleh Erie. Tetapi Elden juga tidak bisa berbuat banyak. Sejak lahir, Erie tidak ada di sisi Gevio karena mengalami koma pasca melahirkan anak itu. Erie sadar baru bulan lalu ia kembali ke rumah dan ia baru benar-benar ada di dekat Gevio selama sebulan belakangan itu.
Gevio adalah tipe anak yang tidak mudah didekati oleh orang lain. Selain Elden, Marline –sang kepala pelayan– dan juga ibu susunya yang telah diusir oleh Elden dulu, Gevio sama sekali tidak mau digendong orang lain. Para pelayan yang ada di rumah Elden sudah mencobanya. Bahkan Mario yang notabene adalah sahabat sekaligus pengawal sang ayah juga ikutan mencoba. Bukannya mendekat, Gevio justru menangis histeris seolah ketakutan dengan orang-orang itu. Aneh sekali bukan? Padahal hampir setiap hari Gevio melihat mereka.
Oh, iya. Ada satu orang lagi yang bisa mendekati Gevio meski tak sedekat yang tadi disebutkan. Orang itu adalah Diana (yang sering dipanggil sebagai Nyonya Besar), istri dari Tuan Besar atau ibu tiri dari Elden. Kedekatan ini sebenarnya terbilang sangat sederhana. Sang Nyonya Besar selalu memberikan makanan dan mainan kepada Gevio tiap kali ia berkunjung ke rumah Elden. Mungkin itulah alasannya mengapa Gevio menyukai wanita yang sudah berusia lanjut itu.
Elden memandangi wajah menggemaskan yang ada di dalam pangkuannya. Pelan-pelan ia menghapus air mata yang membasahi kedua pipi Gevio dan mengamit tangan kecil itu. Kedua mata anaknya terlihat masih memerah akibat tangisnya tadi.
Ini juga yang menjadi alasan kuat mengapa Elden tidak bisa pergi keluar kota. Gevio terlalu dekat dengannya. Elden bisa saja mengandalkan Marline untuk menjaga Gevio. Tetapi itu hanya untuk sementara dan tidak bertahan lama. Sebab, jika anak itu tidak melihat Elden lebih dari 12 jam, ia akan menangis keras sepanjang hari.
Akibat kelelahan, mata Gevio sayup-sayup mulai terpejam. Genggaman tangannya di kaos putih Elden masih kencang, tetapi kepalanya sudah menyender di dada pria itu.
“Apa ini alasannya kenapa dia menangis sekeras itu? Hanya untuk tidur?” kata Elden sambil menggeleng-gelengkan kepalanya merasa takjub dengan tingkah putranya.
“Tadi malam dia tidak bisa tidur. Kalau aku hitung-hitung, sepertinya tadi malam dia terbangun tiga kali,” ujar Erie menimpali. Ia bernapas lega saat melihat mata Gevio yang terpejam. Erie mengusap dahi putranya hingga membuat bayi itu semakin larut dalam tidurnya.
Tanpa sadar Erie mengangkat kedua sudut bibirnya. Ia tersenyum. Dan Elden bisa melihat senyuman yang tercetak lagi dari bibir merah muda perempuan itu. Elden jadi terbayang masa lalu di mana ia pertama kali melihat senyuman Erie. Itu terjadi saat di mana Erie masih sangat kecil dan baru berusia enam tahun. Dan senyuman itu masih saja sama. Hanya sekarang, terlihat semakin cantik dan memukau yang selalu sanggup membuat Elden terpesona olehnya.
XXXX
Halo, aku hadir lagi untuk menyapa semua pembaca. Bagi yang baru bergabung, novel ini adalah sequel atau season 2 dari 'Danke, Häschen !!!'. Bagi yang belum baca, boleh silakan dibaca dulu season 1 nya. Dan buat yang sudah baca season satu, selamat menikmati babak yang baru.
Jangan lupa tinggalkan like, vote, comment, rate dan tipnya. Danke. ^^
Salam hangat dari penulis,
Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Krystal Zu
Cerita author ini selalu menarik
Udah lama aku gak baca novel, terus keinget Ceritanya Erie eh udah ada anaknya aja🦋🌼
2022-12-12
0
Devoy 🍁
❤️❤️❤️
2022-01-03
1
Devoy 🍁
❤️❤️❤️
2021-12-21
1