Matahari menyinsing. Makin meninggi di langit biru yang cerah tanpa awan. Erie terbangun, sedikit mengerang karena wajahnya disinari cahaya yang begitu terik. Ia mengangkat salah satu tangannya berusaha menutupi silau sinar matahari itu sementara tangannya yang menyentuh sebelah ranjangnya.
Kosong. Erie tersentak. Sesaat perempuan itu terkejut mendapati suaminya yang tidak ada di sampingnya, kemudian ia memandangi jam yang menempel di dinding kamarnya. Rupanya sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Elden tidak ada, pikirnya karena pria itu sudah pergi bekerja.
Erie menggerakkan tangannya lagi, mencoba untuk merenggangkan ototnya dengan cara mengangkat keduanya ke atas. Kemudian ia memposisikan tubuhnya untuk duduk. Pelan-pelan perempuan itu menyibak selimut dan berjalan ke arah sebuah ranjang kecil dengan dikelilingi pembatas yang terbuat dari kayu. Itu adalah ranjang milik Gevio.
“Selamat pagi, My Prince,” ucap Erie menyapa putranya. Ia melihat kedua mata bayi yang sekarang berusia 11 bulan itu masih tertutup. Ini aneh. Tidak biasanya Gevio setenang itu di pagi hari. Biasanya ia akan menangis dengan kencang meminta untuk dikeluarkan dari ranjang yang seperti penjara kecil baginya itu.
Yang terlihat lebih aneh lagi adalah anak itu mengerang pelan dalam tidurnya. Seperti sedang mengigau. Apakah Gevio sedang bermimpi buruk? Erie penasaran. Sambil menyentuh kepala Gevio, ia berkata, “Sayang, apa kau bermimpi… GEVIO!” Erie memekik tertahan karena terkejut merasakan suhu panas di pipi Gevio. “My Prince!” panggil perempuan itu seraya menyentuh sekujur tubuh anaknya yang ternyata memang terasa panas.
Masih dalam keadaan panik, Erie bergegas menanggil Marline melalui telepon yang ada di dalam kamarnya. Suara Erie terdengar tidak jelas dalam panggilan itu, tetapi Marline sudah bisa menebak pasti ada sesuatu yang tidak baik terjadi di dalam kamar Erie. Itulah sebabnya kepala pelayan itu secepat mungkin pergi ke kamar sang majikan yang berada di lantai atas untuk langsung memastikan sendiri.
“Nyonya, saya ada di sini. Apakah saya boleh masuk?” seru Marline saat ia sudah tiba di depan kamar Erie. Ia tidak datang sendiri. Ada dua orang pelayan lain yang ikut menemaninya.
“Ma… masuk saja!” ujar Erie dengan suara paniknya.
Marline membuka pintu dan ia langsung terkejut melihat Nyonyanya tengah berdiri di dekat ranjang sang Tuan Muda dengan kondisi tubuh yang gemetar. “Ada apa Nyonya?” tanya Marline mendekat.
“Ge.. Gevio.” Erie terbata-bata. “Ba.. badannya panas. Dia sakit. Aku harus melakukan apa?” katanya. Ia terlihat kebingungan menghadapi kondisi ini. Apa pun yang menyangkut kesehatan anaknya selalu membuat Erie gelagapan.
Berbeda dengan Erie, Marline justru terlihat tenang. Ia pernah melahirkan sekali. Ia juga sudah mengurus Elden dan Daniel –adik laki-laki Elden. Sekarang, Marline pun merawat Gevio sejak bayi. Itu artinya wanita lanjut usia itu sudah menjadi pengasuh dua generasi dari keluarga sang konglomerat Alvaro.
“Anda tenang dulu, Nyonya. Biar saya memeriksanya.” Marline menyentuh tubuh Gevio. Sama seperti Erie, ia juga merasa suhu tubuh sang tuan muda yang meninggi. “Sepertinya kita harus membawa Tuan Muda ke rumah sakit Nyonya,” tuturnya kepada Erie.
“Benar, rumah sakit!” kata Erie menimpali. Ia langsung mengambil ponselnya yang berada di atas nakas lalu berjalan menuju pintu. “Kenapa kau diam saja? Ayo pergi!” sambungnya setelah mendapati Marline yang masih berdiri mematung sembari menatapnya.
“Nyonya, apakah Anda akan pergi dengan baju seperti itu?”
Erie memperhatikan bajunya. Ah, benar! Ia sedang memakai gaun tidurnya. Tidak mungkinkan ia pergi ke rumah sakit dengan pakaian setipis itu? Erie menepuk keningnya. Saat ini ia begitu kalut hingga tidak memperhatikan pakaiannya.
“Tenanglah, Nyonya. Sebaiknya Anda mengganti pakaian Anda terlebih dahulu. Saya akan meminta pengawal untuk menyiapkan mobil,” ujar Marline yang langsung disetujui dengan anggukan kepala oleh Erie.
Ini bukan pertama kalinya Gevio sakit. Anak semata wayang Erie itu pernah sakit ketika ia alegi terhadap susu formula di usianya yang baru menginjak dua bulan. Ketika gigi susu pertama bayi itu tumbuh, Gevio juga demam tinggi. Hanya saja dalam kedua kasus itu, Erie tidak ada. Perempuan itu masih terbaring koma di ranjang rumah sakit.
Dengan sigap Marline mengatur segalanya. Ia meminta seorang untuk menyiapkan mobil Erie. Orang itu adalah anggota organisasi berinisial A7, di mana organisasi itu diketuai oleh Elden. Kebetulan hari ini A7 merupakan pengawal yang ditugaskan untuk berjaga di rumah itu karena setiap harinya, Elden akan meminta minimal satu anggota organisasi untuk mengawal Erie dan Gevio di samping para penjaga yang telah Elden pekerjakan di sekitar rumahnya.
“Aku sudah siap Marline. Apalagi yang kau tunggu? Cepat gendong Gevio!” protes Erie saat melihat Marline yang bukannya membawa Gevio tetapi justru bergeming.
“Saya sedang kurang sehat Nyonya. Sebaiknya Anda saja yang menggendong Tuan Muda,” kata Marline.
“APA?!” Erie tersentak. Ia bukannya tidak mau menggendong Gevio. Demi apa pun, Erie bersungguh-sungguh ingin sekali menggendong putranya. Akan tetapi sampai saat ini, Gevio masih tidak bisa menerima keberadaannya. Padahal sudah tiga bulan lamanya Erie berkeliaran di sekitarnya.
Erie memandang Marline kemudian ia memandang ke arah Gevio. Sudah tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Erie harus menggendong anaknya bagaimana pun caranya.
Dengan tekad kuat Erie melangkah ke ranjang kecil Gevio. Ia mengangkat putranya dan membawanya ke dalam pelukannya. Akibat perbuatan Erie itu, Gevio terbangun. Ia menangis keras dan meronta-ronta.
Erie berusaha menulikan telinganya terhadap tangisan itu. Ia berusaha mengabaikannya. Kemudian ia membawa anaknya itu ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke rumah sakit.
“My Prince, Mommy ada di sini. Mommy ada di sini,” ujar Erie sambil mengelus-elus kepala Gevio mencoba untuk meredakan tangis anak itu. “Sebentar sayang, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit,” lanjutnya.
Di tengah usahanya menghentikan rengekan sang anak, Erie teringat akan Elden. Ia mengambil ponselnya dan langsung menghubungi sang suami. Hanya tiga kali berdering, terdengar suara dari ujung telepon.
“Ya, sayang?”
XXXXXX
Kala itu Elden sedang berada di dalam ruangan pertemuan di sebuah hotel. Ia tengah berbincang-bincang dengan lima orang klien mengenai sebuah tender. Rencananya Alvaro Group yang berkecimpung dalam dunia furniture, akan melakukan kerja sama mengenai proyek desain interior tiga bangunan hotel yang akan dibangun di salah satu daerah di negara bagian barat. Jika kerja sama ini berhasil, maka perusahaan Elden akan memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun di tengah-tengah perbincangang, Elden merasakan ponselnya yang bergetar. Ia sengaja mengaktifkan mode getar dan bukannya mematikan ponselnya karena ia selalu bersikap waspada. Sejak kejadian penculikan Erie, tidak pernah sedetik pun Elden menjauhkan ponselnya darinya, kecuali saat ia sedang bersama dengan perempuan itu dan juga anaknya.
“Mohon maaf, Tuan. Sebenar,” kata Elden menyela obrolan salah satu pengusaha yang ada di depannya dengan Mario. Pria itu merogoh saku jasnya dan mengambil ponselnya. Ia melihat nama sang istri tertera di layar gadget itu.
“Istri saya sedang menelepon. Saya minta izin sebentar untuk mengangkatnya,” sambung Elden meminta izin.
“Silakan Tuan Alvaro,” ucap kelima laki-laki yang ada di sana merasa tidak keberatan.
“Terima kasih.”
Elden segera mengangkat telepon Erie. “Ya, sayang?” ucap pria itu tanpa merasa canggung sedikit pun walau ia sadar bahwa ia tidak berada sendirian saja di tempat itu.
“Elden, Gevio… Gevio!”
Ucapan Erie tidak jelas di telinga Elden. Selain karena Erie yang berbicara sambil panik, suara tangisan Gevio juga membuat suasana di sana semakin berisik.
“Vallerie, ada apa? Kenapa dengan Gevio?” tanya Elden yang ikutan panik. Ia menjadi takut sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
“Gevio sa… Tut tut tut!”
“Hallo! Vallerie!” Tidak terdengar lagi suara dari seberang. Sambungannya terputus. Elden menggenggam ponselnya dengan erat. Ia harus menyusul Erie sekarang juga. Ya. Ini tidak bisa ditunda meski ia harus kehilangan jutaan dolar dari pembatalan pertemuan hari ini.
“Maafkan saya tuan-tuan. Sepertinya perbincangan kita harus berhenti sekarang,” kata Elden kepada para lelaki paruh baya yang ada di ruangan itu.
“Ada apa Tuan Alvaro?” tanya seseorang dari mereka.
“Saya harus pergi ke suatu tempat sekarang dan ini penting.”
“Apakah ada yang lebih penting dari kerja sama ini Tuan Alvaro?” ujar laki-laki lain. Ia melemparkan tatapan tidak suka pada Elden.
“Ada. Ini bahkan lebih penting dari nyawa saya," tekan Elden.
Elden memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya. “Jika tuan-tuan ingin melanjutkan kerja sama ini, Mario akan mengatur jadwal ulangnya. Tetapi jika kalian tidak ingin, saya akan mencukupkan sampai di sini saja.” Kemudian pria itu mengalihkan pandangannya kepada Mario yang duduk di sebelahnya. “Kau urus semuanya, Mario,” perintahnya.
Dengan wajah datar Mario menjawab patuh, “Ya, Tuan.”
XXXX
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk menyemangatiku. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
ayah lebih sayang anaknya daripada istrinya 😂
2022-05-01
0
Devoy 🍁
🥺🥺🥺
2022-01-03
1
Nyai💔
semngtttt
2021-12-08
1