Dengan mudahnya Elden membawa Gevio ke dalam gendongannya. Membawanya ke pintu keluar sambil menunggu Erie menyelesaikan urusan administrasi di tempat lain. Biasanya Eldenlah yang akan mengurus segalanya. Namun, berhubung Marline tidak ada bersama dengan mereka, maka sang istrilah yang akhirnya turun tangan sendiri.
Sambil terus menggendong, Elden menurunkan pandangannya ke bawah. Ia melihat Gevio yang sudah cukup tenang walaupun kedua mata kecil itu masih berlinang air mata. Pelan-pelan ibu jari Elden menyentuh pipi kanan dan kiri Gevio secara bergantian untuk menyeka air mata yang membasahi kedua pipi itu. Panas. Elden masih merasakan suhu tubuh putranya yang meninggi.
“Sudah selesai?” tanya Elden begitu ia melihat istrinya berjalan mendekatinya.
Erie mengangguk. “Sudah. Aku juga sudah menebus obatnya.” Perempuan itu mendekati Gevio. Baru hendak mengecup pipinya, Gevio bersuara, “Mom!”
Mendengar putranya memanggilnya, sontak saja membuat Erie senang. Tidak hanya sekali, hari ini Gevio sudah memanggilnya dengan sebutan ‘Mom’ sebanyak dua kali. Hati ibu mana yang tidak bahagia mendengar kata-kata yang keluar pertama kali dari anaknya adalah panggilan untuknya, di mana selama ini ia merasa dijauhi oleh anaknya sendiri.
“Apakah kau mau coba untuk menggendong Gevio?” tawar Elden kepada istrinya.
“Apakah tidak masalah? Aku takut nanti dia menangis lagi,” jawab Erie ragu.
Elden mencoba meyakinkan perempuan itu. “Tidak apa-apa sayang. Kalau Gevio menangis, nanti aku yang akan menenangkannya.”
“Baiklah.”
Dengan sangat hati-hati Erie mengambil Gevio dari gendongan Elden. Erie sedikit memejamkan mata, bersiap kalau saja putranya itu akan mengeluarkan suara tangis yang melengking. Tetapi, setelah beberapa saat berada dalam dekapannya, Erie tidak mendengarkan suara apa-apa. Bayi itu tidak lagi menangis ketika berada di dalam gendongannya.
“Elden, Gevio tidak menangis lagi!” jerit Erie penuh semangat. Kedua mata cokelatnya itu seketika terlihat berbinar-binar.
“Aku sudah tahu itu karena putraku ini sangat pintar,” puji Elden seraya mengelus rambut Gevio. “Sekarang kita pulang?”
Erie mengangguk. “Iya!” timpalnya antusias.
XXXXX
Erie dan Gevio sudah mulai dekat sekarang. Anak itu bahkan tidak meronta lagi saat berada di dalam pelukan Erie. Hanya saja, Gevio masih mencoba mengenali wajah Erie. Sering kali ia menatap ibunya dengan tatapan polos. Mungkin ia sedang berusaha untuk beradaptasi dengan keberadaan perempuan itu.
Kedekatan ini membuat Erie menjadi sedikit angkuh. Ia menjadi sering menyombongkan dirinya di depan semua orang. Sejak pertama kali Gevio memanggilnya ‘Mom’, Erie terus menerus menceritakannya kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya. Pertama kepada Marline, Mario lalu kepada para pelayannya. Tidak lupa Erie juga menyempatkan diri untuk menelepon Nyonya Besar —sang mertua— untuk mengabarkan berita bahagia itu. Akan tetapi, yang paling parah adalah perempuan itu tidak bisa berhenti membanggakan hal tersebut kepada sang suami.
Seperti hari ini. Ketika Elden sedang pergi meninjau kantor cabang perusahaannya, Erie meneleponnya. Tujuan perempuan itu hanya satu. Ia ingin memamerkan suara bayinya yang baru bisa mengucapkan beberapa kata, termasuk kata mom itu sendiri yang semakin hari semakin lancar dan sering disebutkan oleh bayinya.
“Marline sekarang sudah jam berapa?” tanya Erie kepada sang kepala pelayan yang sedang menemaninya dan Gevio di taman belakang rumah.
Marline melirik jam di tangannya dan bersuara, “Sudah jam 12 Nyonya.”
“Baguslah!” seru Erie seraya mengulum senyumnya.
“Apakah Anda ingin menelepon Tuan, Nyonya?”
Erie mengangguk. “Iya. Hari ini dia harus mendengar suara Gevio.”
Maksud perkataan Erie adalah sejak pagi hingga siang hari itu, Elden sama sekali belum mendengar suara anak mereka. Elden harus pergi pagi-pagi buta dan tidak sempat untuk menyapa Gevio. Jangankan Gevio, Erie saja mengantarkan kepergian Elden dengan mata terkatup-katup menahan kantuk. Bayangkan, seorang CEO rela pergi jam empat subuh hanya untuk mengejar rapat di luar kota yang akan diadakan jam delapan pagi. Hal itu Elden lakukan agar menghindari dirinya menginap di luar kota sehingga ia harus mengerjakan semuanya sejak pagi.
Erie mengambil ponselnya dan menekan sebuah nama di kontak panggilan keluar. Saat mendengar suara ‘ya sayang’ dari Elden, Erie langsung berseru, “Elden, apa kau sibuk?”
“Tidak, Vallerie. Aku baru saja selesai rapat. Sekarang sedang ada di mobil untuk makan siang,” balas Elden yang tengah berada di dalam mobil bersama dengan Mario.
“Baguslah kalau kau tidak sibuk. Aku akan menemanimu sampai kau tiba di restoran.”
“Hmm? Benarkah kau ingin menemaniku? Bukannya kau mau memamerkan sesuatu padaku?” cecar Elden curiga. Ia sudah paham dengan tingkah sang istri. Tidak mungkin perempuan itu akan meneleponnya hanya untuk membicarakan hal yang remeh. Erie selalu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan Gevio, baik itu hal baru mau pun hal yang lama. Tetapi Elden tidak mempermasalahkannya karena pria itu selalu suka melihat istrinya bahagia dengan apa pun yang perempuan itu lakukan.
“Kenapa kau tidak percaya? Aku benar-benar meneleponmu untuk menemanimu karena aku merindukanmu.”
“Baiklah sayang. Aku percaya padamu,” ucap Elden pasrah. Ia tidak mau memperburuk suasana. Lebih baik ia segera mengganti topiknya. “Bagaimana kabar Gevio? Apakah dia sudah makan?”
“Ah, Gevio. Kau tahu Elden, hari ini Elden sudah memanggilku sebanyak sepuluh kali. Hebat bukan?”
Elden terkekeh pelan di dalam sambungan teleponnya. Benarkan dugaannya? Istrinya itu akan selalu menceritakan putra mereka dengan antusias. Bahkan perempuan itu terdengar sangat bangga dan puas atas tingkah Gevio seolah itu adalah buah dari pengajarannya.
“Oh benarkah? Sekarang biarkan aku mendengarkan suaranya,” sambung pria itu.
“Tunggu sebentar ya.” Erie menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia berdiri dan mendekati Gevio yang sedang berdiri dengan berpegangan pada sebuah bangku taman yang terbuat dari batu.
“My Prince!” panggil Erie yang langsung membuat Gevio menoleh ke arahnya. Selain mau berdekatan dengan sang ibu, Gevio juga sudah terbiasa dengan panggilan ‘my prince’ yang sering dilontarkan oleh ayah dan ibunya ketika memanggilnya.
“Mom, bum-bum!” kata Gevio sambil mengangkat sebuah mobil-mobilan yang ada di tangannya, bermaksud untuk menunjukkannya kepada sang ibu.
Erie tersenyum. Ia menanggapi ucapan anaknya yang sangat terbatas itu dengan tidak kalah antusiasnya. “Wah, kau sudah bisa menjalankannya? Apa kau suka mobil-mobilan dari Grandma?” Erie berjongkok dengan jarak tak jauh dari anaknya.
“Bum-bum! Bum-bum!” Gevio bersuara keras seraya mendekati Erie. Begitu berada di depan ibunya, ia langsung memeluk perempuan itu.
“Iya sayang. Mommy tahu kau menyukainya. Sekarang ayo bicara dengan Daddy.” Erie menyentuh lambang pengeras suara dari ponselnya dan mendekatkan gawai canggih itu di depan putranya.
“Hallo, My Prince!” panggil Elden saat telinganya mulai mendengar suara dari Gevio.
“Bum-bum!” Gevio bercelotah ria sambil mengangkat tangannya dan menunjukkannya ke atas layar ponsel Erie seolah ia ingin menunjukkan mainannya itu kepada sang ayah. Sayangnya, saat ini mereka hanya melakukan panggilan suara saja dan bukannya panggilan video sehingga Elden tidak bisa melihat tingkah Gevio.
Walau tidak melihatnya secara langsung, tapi Elden bisa menerka apa yang sedang putranya itu lakukan. “Apa kau sedang bermain dengan mobil-mobilanmu?”
Seakan-akan ingin menanggapi ucapan sang ayah, Gevio kembali bersuara, “Bum-bum!”
“Kau bermain dengan siapa, My Prince?” ucap Elden lagi.
“Mom!” jawab Gevio dengan cepat.
Hening. Untuk sesaat tidak terdengar suara apa pun dari Elden. Mungkin pria itu sedang terkejut dengan jawaban cepat yang tadi diberikan oleh Gevio. Elden sama sekali tidak menyangka Gevio akan menjawabnya dengan menyebut kata yang paling disukai oleh istrinya itu. Ternyata memang benar bahwa putranya adalah anak yang sangat cerdas.
Elden melanjutkan perbincangannya lagi dengan sang anak. “Wow, kau pintar sekali My Prince! Nanti malam Daddy akan bawakan hadiah untukmu."
Gevio tertawa. Ia terlihat sangat senang berbicara dengan ayahnya. Begitu juga Erie. Melihat bagaimana interaksi antara kedua laki-laki yang paling ia kasihi itu adalah hal yang membahagiakannya.
“Vallerie!” panggil Elden yang seketika membuyarkan lamunan Erie.
“Ya?” jawab Erie mematikan pengeras suara ponselnya lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Kau ingin aku bawakan apa dari sini?”
“Tidak ada.”
“Sayang, kau selalu mengatakan tidak ada setiap aku tanya.”
“Aku benar-benar tidak ingin apa-apa Elden.”
“Baiklah, tapi aku akan tetap memberikanmu sesuatu.”
“Apa?” ucap Erie penasaran. Elden memang sering membelikan barang-barang maupun makanan untuk Erie. Tetapi untuk kali ini, entah mengapa perempuan itu merasa sangat penasaran.
“Itu adalah kejutan.”
Erie yang penasaran menjadi semakin penasaran. Apalagi setelah suaminya menyematkan embel-embel kata ‘kejutan’ yang menambah rasa penasarannya. “Elden katakan saja sekarang!”
“Sayang, itu tidak akan jadi kejutan kalau aku memberi tahumu sekarang.”
“Cih! Kau membuatku penasaran!” decih Erie. “Kapan kau akan sampai di rumah?” sambungnya.
“Sepertinya agak larut. Mungkin jam 10 malam.”
“Baiklah, aku akan menunggumu sekaligus menunggu kejutanku.”
XXXXX
Yuhhuu aku sudah kerja marathon demi crazy up empat chapters ini lho. Yuks, dukung kerja keras penulis dengan meninggalkan jejak like, vote, comment, tip dan ratenya. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Devoy 🍁
😍😍😍
2022-01-03
1
ᴹᴮcintaRita ᵉᵐ𝔦𝔣HS
like aja gak baca sayang betul nih...😁😁
2021-11-23
0
IG: @rossy_dildara
semangat thor
2021-11-08
0