“Oh begitu,” ucap Elden sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti duduk permasalahan antara ibu dan anak itu. Pantas saja Gevio melarikan diri karena berbeda dengannya, anak itu sangat tidak suka berpakaian yang terlihat rumit. Saat memakai jas dalam suatu acara formal yang harus didatangi Elden dengan membawa keluarga kecilnya, Gevio selalu melepaskan jasnya di tengah-tengah acara. Gevio mengatakan memakai jas itu terlalu merepotkan dan membuatnya berkeringat karena panas.
Selain tidak suka dengan pakaian yang terlihat rumit, ada satu hal lagi yang diduga Elden menjadi penyebab kaburnya sang anak, yakni keramaian. Gevio juga tidak suka dengan suasana yang ramai. Itulah sebabnya ia menolak ide Erie yang mau menjadikannya sebagai model dalam kontesnya, yang berarti Gevio akan menjadi pusat perhatian dalam acara tersebut.
“Kau tenang saja sayang. Aku akan mengurusnya. Tapi aku harus lembur hari ini jadi aku tidak bisa mengantarkannya pulang,” ujar Elden menyambung perbincangannya dengan sang istri.
“Nanti kalau Gevio sudah membaik, aku akan menjemputnya, Elden," balas Erie.
“Baiklah. Kau tidak perlu khawatir. Perasaannya akan segera membaik.”
“Terima kasih, Elden. Dan juga maaf karena mengganggu pekerjaanmu.”
“Tidak apa-apa sayang. Ini bukan masalah besar.”
Elden mengakhiri panggilan teleponnya dengan istrinya itu. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian mendekati Gevio yang tengah duduk di atas sofa sambil bermain-main dengan rubiknya. Dengan sengaja anak itu meninggalkan beberapa mainannya di kantor sang ayah agar memudahkannya jika ingin bermain di sana.
“My Prince, bagaimana sekolahmu hari ini?” tanya Elden memulai percakapan.
Gevio mengalihkan perhatiannya dari mainan di tangannya untuk melihat Elden yang duduk di sampingnya. “Sekolahnya baik Daddy. Hari ini kami hanya belajar bahasa Inggris dan matematika,” jawabnya.
“Benarkah? Apakah pelajaran-pelajaran itu menyenangkan?”
Gevio mengangguk antusias. “Iya. Aku bisa menjawab semua pertanyaan ibu guru.”
“Wah, wah. Kau memang anak yang pintar, My Prince,” puji Elden seraya menepuk kepala Gevio pelan. “Lalu, apakah tidak ada cerita yang lain?” imbuh pria itu.
Anak kecil itu menggeleng. Ia berusaha untuk menutupi kejadian yang terjadi di butik Erie tadi. “Ti..tidak ada Daddy," bohongnya.
Elden tersenyum singkat saat menangkap kebohongan yang dilontarkan putranya. Gevio adalah anak yang baik. Ia tidak pandai berbohong. Jika ia ingin melakukannya, ia akan tergugup dan gelisah, terutama di bagian matanya yang sangat terlihat tidak tenang. Itulah yang membuat baik Erie maupun Elden, bisa dengan cepat menyadari kebohongan anak mereka itu.
“Begitukah?” Elden berpura-pura percaya dengan perkataan Gevio. “Di mana Mommy? Kenapa kau tidak kemari dengan Mommy? Bukankah tadi Mommy menjemputmu?”
“Mommy ada di butik, Daddy. Tadi ada pelanggan, jadi Mommy harus tetap di butik,” jelas Gevio merasa yakin karena dalam kejadian ini, ia tidak sepenuhnya berkata bohong. Ibunya memang sedang bersama seorang pelanggan tadi.
“Apa kau sudah makan siang, My Prince? Mau Daddy pesankan makanan?” tawar Elden.
Gevio menggeleng cepat. Ia masih dalam keadaan kenyang dan perutnya tidak sanggup lagi untuk diisi. “Tidak Daddy! Sebelum ke butik, Gevio sudah makan bersama Mommy," tolak anak itu.
“Di mana?”
“Di Icebarla—” Gevio menghentikan ucapannya. Buru-buru ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang kecil itu.
“Di Icebarland?” kata Elden melanjutkan ucapan putranya yang sempat terputus. Pria itu yakin bahwa tadi Erie dan Gevio pasti pergi ke tempat favorit anaknya itu.
Sambil menunduk, Gevio mengangguk lemah. “Iya Daddy. Tadi kami pergi ke Icebarland,” ungkapnya.
Anak itu meletakkan rubiknya ke samping tempat duduk, lalu menatap kembali sang ayah. “Mommy menyuruh Gevio memakai banyak baju Daddy. Jadi Gevio kabur dari butik dan datang ke sini,” tukas Gevio santai, mengadukan kegiatan yang tadi ia lakukan di butik ibunya.
Selama sepersekian detik, Elden membeku seolah tidak tahu harus bersikap seperti apa. “Kabur?” ucapnya tidak percaya. Bagaimana mungkin putranya berbuat seperti itu? Dari mana pemikiran untuk kabur itu muncul? Sepengetahuan Elden, Gevio adalah anak yang baik, penurut dan dengar-dengaran. Apalagi terhadap Erie, Gevio tidak akan berani melawan ibunya.
Gevio memang pernah marah pada Erie maupun Elden. Akan tetapi, anak itu tidak pernah berbuat nekat. Ia hanya akan meluapkan rasa kesalnya dengan mengadu kepada siapa saja yang ada. Misalnya, jika Gevio marah pada Elden, ia akan mengadu pada Erie atau pada Marline. Begitu pun sebaliknya. Dan yang terparah yang pernah dilakukan anak itu hanyalah mengunci dirinya di dalam kamar untuk beberapa saat.
“Jadi kau kabur dari butik Mommy karena tidak suka memakai baju yang Mommy buat?” tanya Elden lagi.
Gevio mengangguk lemah.
“Kenapa kau tidak mengatakannya pada Mommy? Pasti Mommy akan mendengarkanmu,” sambung pria itu.
Kedua tangan Gevio bersatu di atas pangkuannya. Anak itu mulai memainkan kuku-kukunya satu sama lain. Cara khas yang dilakukannya di saat-saat ia merasa gugup dan hal yang sama seperti yang juga dilakukan oleh Erie. “Gevio sudah berjanji pada Mommy kalau Gevio akan membantu Mommy," tuturnya.
“Dan sekarang kau melanggar janjimu pada Mommy, My Prince?”
Gevio terbelalak. Ia ingin melemparkan protes pada sang ayah, tapi mulutnya terkunci. Setelah ia pikir-pikir, ternyata ucapan ayahnya ada benarnya juga. Ia kabur dan itu berarti ia telah melanggar perjanjiannya dengan sang ibu. Padahal ia sudah menghabiskan semangkuk es krim sebagai tanda perjanjian mereka.
Elden melanjutkan. “Apa sekarang kau mau meminta maaf, My Prince?”
“Tidak!" tolak Gevio tegas. “Gevio memang melanggar janji pada Mommy, tapi Gevio tidak suka harus memakai banyak baju itu.” Kedua mata hazel kecil milik Gevio menatap mata ayahnya dengan tajam.
Melihat anaknya yang bersikeras, mendadak Elden mengeluh. “Huh, bagaimana ini?” kata pria itu. Ia mengendorkan dasi yang mengikat di kerah leher kemejanya. Sambil menyenderkan punggungnya ke senderan sofa, Elden mengeluarkan kalimat keluhannya lagi. “Sepertinya malam ini kita tidak bisa pulang ke rumah,” gumam Elden.
Gevio mengerutkan keningnya. “Kenapa kita tidak bisa pulang?” tanya anak itu penasaran dengan ucapan aneh sang ayah.
“Karena rumah itu milik Mommy. Kalau Mommy marah, Mommy tidak akan mengizinkan kita untuk pulang,” kata Elden mencoba sebisa mungkin masuk ke dalam perannya agar terlihat putus asa.
“Tidak, rumah itu pasti punya Daddy,” bantah Gevio mencoba untuk tidak teperdaya ucapan Elden.
“Kau tidak percaya? Coba saja tanya pada Uncle Mario sekarang.”
Hening. Gevio terdiam sambil berpikir. Kalau sang ayah sudah menyebut nama paman yang satu itu, sudah pasti ayahnya berkata jujur. Tapi Gevio masih tidak mau menyerah dan kini ia sudah mendapatkan sebuah ide cemerlang.
“Tidak apa-apa. Kalau begitu kita tidak perlu pulang,” ucap Gevio dengan percaya diri. Ia bahkan melipat kedua lengannya di dadanya, mengikuti gaya sang ayah jika ayahnya sedang berbicara kepada laki-laki yang ia sebut sebagai Uncle Mario itu.
Elden tersentak. Ia tidak percaya bahwa anaknya sama sekali tidak merasa khawatir jika tidak pulang ke rumah. Sebenarnya apa yang tengah ada di pikiran anak semata wayangnya itu? Elden benar-benar penasaran. Pria itu bertanya lagi. “Kenapa tidak apa-apa? Memangnya kita tidur di mana malam ini?”
“Di sana,” ujar Gevio sambil menunjuk sebuah pintu yang ada di depannya. Itu adalah pintu kamar khusus yang biasanya ia gunakan untuk tidur siang saat berkunjung ke kantor Elden.
Mulut Elden secara tidak sengaja terbuka begitu saja usai mendengar penuturan Gevio. Pria itu terperangah dengan pemikiran anaknya. Benar juga. Jika di siang hari Gevio bisa tidur di sana, mengapa ia tidak bisa tidur di sana juga di waktu malam? Elden lengah. Ia tidak memprediksi putranya akan menemukan jalan keluar secepat itu.
“Iya benar. Kita bisa tidur di sana,” tutur Elden menyetujui usulan Gevio. “Tapi My Prince, apakah kau tidak mau makan makanan pencuci mulut yang dibuat nenek Marline. Apa Gevio benar-benar tidak masalah tidak sarapan dengan kue yang Mommy buatkan untukmu?”
Bibir mungil Gevio mengerucut ke depan. Membayangkan makanan yang disebut ayahnya saja sudah membuatnya nyaris meneteskan air liurnya, bagaimana mungkin ia rela untuk tidak memakan makanan-makanan yang menemani hari-harinya itu?
“Oh, satu lagi, bagaimana dengan pakaian sekolahmu? Bukankah besok harus memakai baju berwarna merah? Apa kau ingin bolos sekolah, My Prince?” tambah Elden mencoba memanas-manasi putranya yang terlihat tidak rela untuk tidak kembali ke rumah itu.
Buru-buru Gevio menyergah perkataan sang ayah. “Tidak! Gevio tidak mau bolos sekolah. Kata Mommy, bolos sekolah itu tidak baik.”
Bagus! seru Elden di dalam hati. Sekarang Gevio sudah masuk ke dalam perangkap. Hanya tinggal beberapa langkah lagi maka Elden bisa dengan mudah membujuknya.
Elden mengangguk. “Benar. Jadi?” kata pria itu menunggu keputusan sang anak.
“Baiklah Daddy, Gevio akan meminta maaf pada Mommy,” tukas Gevio pada akhirnya.
XXXXXX
Biar orang bilang Elden jahat, tapi didikan Elden kepada Gevio membuktikan bahwa seorang yang kejam sekali pun tidak akan pernah menyakiti anaknya... Yuuhhuu #kutipan_hari_ini hehehe ♪~(´ε` )
Kalau pembacaku gak ada yang jahat ya kan? Pastinya selalu setia meninggalkan jejak untuk penulis yang lemah ini... Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
zien
aku hadir disini 😊😘 semangat terus 💪😊 semoga sukses selalu 😀😘
2021-03-19
1
ZasNov
Elden bijak banget, dia bisa mengerti keinginan Erie juga Gevio, dan berusaha mencari solusinya..☺️
Apa Elden bisa membuat Gevio mau pulang dan minta maaf sama Erie ya?
Elden keren banget sih.. Tegas, bijak dan penyayang.. 🤩🤩🤩
2021-03-07
1
silviaanugrah
mampir lagi thor utk support
2021-02-18
1