Usaha Elden untuk tiba di rumah sakit dalam waktu secepat mungkin akhirnya terbayarkan. Bagaimana pria itu tahu tentang posisi Erie dan Gevio yang sedang di rumah sakit? Tentu saja dari A7 yang menjadi pengawal Erie. Di saat Erie tidak bisa dihubungi, satu-satunya cara agar Elden dapat mengetahui keadaan istri dan anaknya adalah melalui anak buahnya itu.
Sesampainya di rumah sakit, Elden tidak lagi bingung ke mana ia harus mencari Erie. Pria itu sudah tahu ruangan yang pasti dituju oleh istrinya dalam kondisi yang melibatkan Gevio, yakni ruang rawat anak.
Benar saja, begitu Elden masuk ke dalam ruangan itu, ia melihat Gevio yang terbaring di atas ranjang dengan sang dokter beserta seorang perawat dan juga istrinya sedang berdiri di samping ranjang.
Elden mendekat. Ia menghampiri Erie dan bersuara pelan memanggil istrinya. Kemudian pria itu membelai punggung tangan Erie dengan ibu jarinya. Perlahan dan menenangkan yang menandakan seberapa besar rasa sayang pria itu terhadap sang istri.
Dokter mulai memeriksa bayi kecil Erie dan Elden. Demamnya cukup tinggi, mencapai suhu 39 derajat. Kemudian dokter itu membuka mulut Gevio dan memeriksa di dalamnya. Semuanya baik-baik saja. Tidak ada radang di tenggorokan anak itu, begitu pula pada lidahnya yang terlihat baik. Hanya saja, ia menemukan sesuatu lain yang janggal di dalam sana. Ternyata permukaan gusi bagian bawah anak itu terlihat bergelombang. Ini dia penyebabnya. Gigi bawah Gevio akan segera tumbuh, menemani gigi atasnya yang sudah terlebih dahulu muncul.
“Tidak masalah. Ini hanya masalah gigi bawahnya yang akan tumbuh,” ujar dokter itu menjelaskan kepada kedua orang tua Gevio yang senantiasa berada di dalam ruangan itu.
“Lagi? Apakah dia akan terus begini kalau giginya mau tumbuh?” tanya Elden kepada sang dokter yang juga merupakan temannya.
Dokter itu menggeleng. “Tidak seterusnya. Setelah gigi seri di bagian atas dan bawah sudah muncul semua, Gevio tidak akan sakit lagi. Kalian tidak perlu cemas. Ini adalah respons yang wajar yang diberikan oleh bayi.”
“Bagaimana dengan demamnya?” sambung Elden lagi.
“Karena demamnya cukup tinggi, nanti aku akan menyuntikkan obat penurun panas kepadanya.”
Sang dokter bergerak untuk memberikan obat melalui suntikan kepada Gevio. Namun, baru mengambil jarum suntik, Gevio langsung menangis keras. Sepertinya ia sadar akan disuntik, padahal sang dokter sudah berusaha mengambil peralatannya di titik buta sang bayi.
“Elden, kau gendong dulu Gevio,” ucap dokter itu. Tidak ada pilihan lain. Gevio harus segera ditangani dan diberikan obat karena anak itu termasuk anak yang rentan terhadap penyakit. Imunitasnya tidak cukup baik. Mungkin ini akan berubah jika Gevio mendapatkan imunisasi yang akan diberikan ketika usianya genap satu tahun.
“My Prince, Daddy ada di sini!” kata Elden mendekati ranjang. Ia merendahkan tubuhnya dan membawa bayinya ke dalam dekapannya. Kemudian ia duduk di kursi yang tadi digunakan oleh sang dokter.
“Kenapa? Apa kau takut?” ucap Elden menenangkan anaknya. “Tidak apa-apa. Daddy ada di sini.” Pria itu menyeka air mata yang berjatuhan dari bola mata Gevio. “Sudah, sudah. Jangan menangis lagi,” sambungnya.
Gevio memang selalu mendengarkan perkataan Elden. Entah bagaimana caranya. Yang pasti saat Elden memintanya untuk berhenti menangis, anak itu akan segera berhenti. Begitu pula dengan hal lainnya. Jika sang ayah sudah berkata tegas, Gevio akan menurutinya.
Yah walaupun sebenarnya Elden jarang sekali berkata keras kepada anaknya. Terakhir kali pria itu marah adalah ketika Gevio menjatuhkan salah satu guci yang ada di ruang tamu rumah mereka. Kala itu Gevio yang sedang aktif ingin belajar berdiri, menggunakan guci itu sebagai pegangannya. Alhasil, guci itu oleng, terjatuh ke atas lantai dan pecah begitu saja.
Perlu dicatat, saat itu Elden tidak marah karena salah satu guci koleksinya yang mahal dipecahkan. Ia marah karena panik kalau-kalau anaknya terkena pecahan guci dan terluka. Tetapi tentu saja Gevio tidak mengerti. Rasa takutnya membuatnya menangis dan menjauhi Elden selama tiga hari penuh.
“Kau takut My Prince?” tanya Erie mendekati suami dan anaknya. Erie berjongkok. Ia memegangi tangan Gevio saat Elden membalikkan tubuh bayi itu agar bisa tengkurap. “Setelah ini Mommy akan mengajakmu main lagi. Nanti Mommy akan membuatkan pudding untukmu.”
Erie terus berkata-kata untuk mengalihkan perhatian Gevio, sementara sang dokter sudah siap dengan jarum suntiknya. Pelan-pelan jarum di tangan dokter itu menancap jelas di bokong Gevio hingga membuat tangis anak itu kembali pecah. Ia menatap Erie dengan matanya yang berair, berharap sang ibu bisa menghentikan rasa sakit di tubuh bagian bawahnya itu. Bahkan tangis anak itu semakin menjadi-jadi ketika sang dokter menekan cairan yang ada di pipa suntikan agar masuk ke pembuluh darahnya.
“Sudah selesai,” seru dokter itu seraya menempelkan kapas berisi cairan antiseptik ke bekas suntikannya. “Wah, Tuan Muda memang luar biasa!” lanjutnya sambil menepuk pelan kepala Gevio.
Gevio tidak terpengaruh dengan pujian dokter itu. Selalu saja begini. Setelah memberikan rasa sakit di tubuhnya, sang dokter akan memujinya. Seolah-olah anak itu harus menanggung rasa sakit dahulu agar bisa mendapatkan pujian.
“Tidak apa-apa kan, My Prince? Daddy bilang juga tidak apa-apa. Sudah, sudah jangan menangis.” Elden membenarkan posisi Gevio di pangkuannya sambil berusaha menenangkan lagi putranya. Anehnya kali ini perkataan Elden tidak mempan. Bahkan malah semakin membuat Gevio menangis sejadi-jadinya.
Akan tetapi Elden punya seribu satu cara untuk menaklukkan tangis putranya. Pria itu mengenal Gevio sejak lahir. Ia adalah orang pertama yang menyentuh kulit anak itu –tentu saja selain para perawat dan dokter yang menangani proses melahirkan Gevio. Sebelum ranjang kecil yang sekarang menjadi tempat tidur Gevio dibuat, Elden jugalah yang menemani sang anak tidur. Jadi boleh dikatakan, seumur hidup Gevio yakni 11 bulan, Elden adalah orang yang paling dekat dengannya.
Cukup lima menit waktu yang dibutuhkan Elden untuk mendiamkan tangis Gevio. Usai menangis, Gevio selalu punya kebiasaan lain, yaitu tertidur. Mungkin karena bayi itu merasa kelelahan akibat menangis. Jangan sangka menangis itu tidak mengeluarkan tenaga. Orang dewasa saja sering merasa sakit kepala pasca mereka menangis, apalagi bayi yang masih rentan.
Agar tidak mengganggu bayinya, Elden membaringkan lagi Gevio di atas ranjang rumah sakit. Ia mendekati Erie untuk mendengarkan penjelasan sang dokter mengenai berbagai hal yang menyangkut perkembangan Gevio, termasuk pola makan dan jenis makanan apa yang harus mereka berikan kepada sang anak yang mulai memiliki beberapa gigi.
Berbeda dengan laki-laki lain yang merasa hal-hal seperti ini sangat merepotkan, Elden justru merasa senang. Ia juga harus menyimak setiap perkataan dokter karena ada kalanya Erie akan lupa dengan hal itu. Maklum saja, usia perempuan itu masih tergolong muda. Ia cenderung melibatkan emosinya dibandingkan dengan pikirannya. Itulah sebabnya jika terjadi hal-hal buruk pada Gevio –contohnya hari ini, Erie akan jauh lebih panik dibandingkan Elden.
XXXX
“Mom!”
Satu suara itu berhasil menghentikan Erie saat ia hendak mengeluarkan dompet dari tasnya. Tadi itu suara Gevio. Erie dapat mendengar suara bayinya dengan jelas dan jernih. Ya. Barusan Gevio memanggil Erie dengan sebutan ‘Mom’. Ini bagus. Tidak hanya mau berinteraksi –berhubung beberapa waktu belakangan Gevio sudah mau berdekatan dengan Erie, sekarang Gevio bahkan memanggil ibunya. Ini adalah petanda bahwa putra semata wayang perempuan itu sudah mulai berbicara kepadanya.
Tanpa sadar kedua sudut bibir Erie terangkat dan membentuk senyuman. Ia terlalu senang dengan perkembangan bayinya sampai-sampai ia tidak bisa mengatakan apa pun. Perempuan itu hanya menatap anaknya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan tatapan tidak percaya.
Elden ikut bahagia. Ia melihat wajah kalut istrinya yang kembali ceria. Sambil menyentuh tangan Erie, pria itu berkata, “Iya sayang. Kau tidak salah dengar. Dia sedang memanggilmu.” Ucapan yang seolah bisa menjawab pertanyaan di benak sang istri.
Erie mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. “Benarkan? Tadi Gevio benar-benar memanggilku kan?”
“Benar. Aku juga mendengarnya,” timpal Elden membenarkan.
Mendapatkan kepastian dari suaminya membuat Erie semakin bahagia. Ia sontak memeluk Elden yang langsung disambut oleh pria itu dengan hangat.
Usai kebahagiaan itu, kebahagiaan yang lain muncul karena beberapa saat kemudian, Gevio sudah diperbolehkan pulang. Fiuh! Akhirnya. Elden sudah cukup trauma dengan suasana rumah sakit. Ia muak mencium aroma antiseptik yang begitu menyengat hingga membuatnya mengingat masa-masa kelam di mana pria itu harus melihat istrinya terbaring koma selama berbulan-bulan lamanya.
“Elden, kau saja yang menggendong Gevio,” ujar Erie yang masih takut kalau-kalau anaknya tidak mau digendong olehnya. Tadi Gevio memang berhasil Erie gendong. Namun itu terpaksa. Meski menangis dan meronta pun Erie akan tetap memaksa bayinya ke dalam gendongannya untuk dibawa ke rumah sakit. Untuk saat itu, Erie bahkan mengabaikan jeritan Gevio.
“Baiklah.” Elden mengangguk. Ia berjalan dan mendekati ranjang Gevio. Dipeluknya bayi itu ke dalam dekapannya yang besar dan hangat. “My Prince, ayo kita pulang,” ucap Elden seraya mengangkat anaknya.
XXXXX
Orang bilang, suara paling indah adalah suara yang muncul dari mulut seorang penyanyi. Tetapi bagi seorang ibu, suara paling indah adalah suara yang muncul dari mulut anaknya ketika memanggilnya dengan sebutan ibu untuk pertama kalinya. ---Mei Shin Manalu
Jangan lupa tinggalkan jejak teman-teman. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
Devoy 🍁
🥰🥰🥰
2022-01-03
1
Nyai💔
lnjutttt
2021-12-08
0
D'ՇɧeeՐՏ🍻
Luar biasa sekali rasanya, pasti bahagia bgt🥺🥰
2021-11-01
2