Pulang
Renjana Kanya
"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus datang reuni kali ini," tegas Almira saat meneleponku ketika istirahat makan siang.
Meski sudah kujelaskan berulang-ulang jika aku tak bisa meninggalkan pekerjaan kantor dan jatah cutiku tahun ini sudah habis, perempuan itu masih memaksaku datang ke reuni yang rutin dilaksanakan setiap awal tahun.
"Aku nggak bisa, Mir. Kan kamu tahu sendiri gimana kalau akhir tahun. Aku mesti standby buat liputan menyambut tahun baru. Dan lagi, peristiwa nggak bisa nunggu Mir. Kan kamu tahu di sini lagi banjir." Aku berkelit dari ajakan Almira untuk menghadiri reuni tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sebenarnya aku berbohong pada Almira perkara jatah cutiku yang habis. Selama satu tahun ini aku bahkan sekali pun tidak mengambil cuti hingga dijuluki manusia mesin oleh rekan-rekan sekantor. Padahal tidak mudah bekerja di media yang selalu menuntut tetap enerjik dan selalu fit setiap saat. Apa lagi reporter surat kabar harian.
Aku bahkan heran dengan daya tubuhku. Ketika satu per satu teman kantorku mulai tumbang karena kelelahan dan cuaca yang tidak menentu, aku bahkan dengan entengnya menerima pelimpahan berita dari Mas Hanung, redakturku.
Hanya saja, pulang perkara rumit yang selalu kuhindari sejak kematian ayah tiga tahun yang lalu. Aku masih belum bisa menerima sosok baru yang menggantikannya. Dan lagi...
"Ayolah Nya, kamu nggak kangen sama aku? Aku lagi hamil loh ini, ngidam pengen ketemu kamu." Almira masih mencoba membujukku agar aku pulang. Sebab dia yang paling tahu aku tak mungkin menolak permintaannya jika itu menyangkut janin dalam kandungnya. Tapi aku harus tetap bersikukuh. Aku tidak ingin pulang.
"Sori Mir, gue beneran nggak bisa kali ini."
"Elah Nya, kamu nggak penat apa tiap hari kejar-kejaran mulu sama waktu. Belum lagi macetnya ibu kota. Bising, polusi di mana-mana. Rileks dikit lah, kamu 'kan juga bisa eksplore kota kelahiran kamu buat bahan berita." Suara Almira mulai meninggi. Aku tahu dia sedang kesal. Tapi aku tetap tidak ingin pulang.
"Sori Mir, aku beneran nggak bisa pulang."
"Iya main aja sana sama teman-teman borjuis kamu. Aku sih emang udah nggak selevel sama kamu yang pergaulannya sekarang high class."
"Apa sih Mir, bandingin kayak gitu? Plis, kita bukan anak kecil lagi ya. Jangan..."
Tuutt... tuutt... tuuttt...
Sambungan telepon terputus.
"Sial, gue belum selesai ngomong ****," umpatku kesal.
Kutelungkapkan kepalaku yang pening ke atas meja. Almira selalu saja menimbulkan masalah saat aku ingin melalui awal tahun dengan damai. Perkaranya selalu sama, memintaku pulang demi menghadiri reuni SMA yang bagiku tak berarti.
"Kenapa lo Nya? Dicari Mas Hanung tuh." Suara Vina membuatku terduduk tegak. Wajah kusut selepas liputan perempuan itu membuatnya tampak lelah. Musim banjir menjelang tahun baru bukanlah pekerjaan mudah bagi para pencari warta.
"Eh, gue?" tanyaku refleks sambil mengurut kepala yang tiba-tiba pusing.
"Iyalah, kalo manggil Dani kenapa gue mesti ngomong sama lo?"
Aku tersenyum lemah menanggapi pertanyaan perempuan itu. Kalau saja lelaki yang disebut saat ini berada di mejanya, dia pasti akan melempari Vina dengan kulit kacang.
Dengan malas aku berjalan ke ruangan Mas Hanung. Dalam hati aku selalu mengucapkan doa semoga tidak ada tugas liputan ke luar daerah. Sekali pun aku tak ingin pulang, bukan berarti aku ingin menghabiskan waktu dengan liputan ke daerah.
Aku menarik napas panjang sebelum memasuki ruangan Mas Hanung. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Biasanya jika sudah begini ketakutanku akan menjadi kenyataan.
Kulihat Mas Hanung sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon saat aku membuka ruangannya. Dia memberi tanda agar aku masuk dan mempersilakan duduk.
"Ei Kanya, duduk dulu. Tunggu sebentar ya." Setelah mengakhiri pembicaraan dengan seseorang di telepon, Mas Hanung kini meneliti wajahku yang tegang. Dari senyumnya aku tahu jika dia menginginkan sesuatu. "Kayaknya lo udah tahu kalo gue bakal minta bantuan lo, Nya. Beneran cenayang ya lo?"
"Bukan liputan ke daerah 'kan Mas?" tanyaku was-was.
"Nggak, kalau pun iya pasti 'kan bakal rapat redaksi dulu, Nya."
Tapi perlakuan lo sama gue 'kan beda Mas, suka asal tunjuk aja tanpa rapat redaksi dulu. Keluhku dalam hati karena seringnya lelaki itu memintaku liputan mendadak jika ada hal mendesak dan tidak bisa ditangani kontributor di daerah.
"Gimana Nya, lo bisa 'kan?"
"Eh, apa Mas?" tanyaku linglung saat Mas Hanung bertanya padaku. Berapa lama aku melamun sampai tidak menyimak pembicaraan lelaki di depanku itu?
"Ya ampun, Nya. Lo dari tadi nggak dengar gue ngomong apa? Keterlaluan lo, Nya. Kalau kayak gini makin yakin gue, lo harus terima tawaran gue. Gue udah bikin surat cuti buat lo. Dua minggu. Ambil kesempatan ini buat pulang. Gue nitip teman gue ya, anak majalah. Dia mau liputan tetang batik tenun di daerah lo." Mas Hanung memberi keputusan tegas tanpa mendengarkan pembelaanku.
"Eh, ini maksudnya gimana Mas?" tanyaku saat tak mampu mencerna keputusan Mas Hanung dengan baik. Pikiranku terlalu lemot untuk memahami apa maksud pimpinan redaksiku itu.
"Ya lo bebas tugas. Dua minggu. Lo pulang kampung trus ajak temen yang gue ceritain tadi. Lagian lo udah kayak mesin aja. Setahun penuh nggak ada liburnya. Kurang baik gimana coba gue sebagai atasan lo?"
"Saya nggak butuh istirahat kok, Mas."
"Iya tapi mata gue juga perlu istirahat, Nya. Lo kira gue nggak bosen lihat lo tiap hari mondar-mandir di kantor?"
"Saya juga masih ada janji untuk wawancara seorang tokoh penggerak lingkungan, Mas. Ini mumpung momennya pas musim penghujan."
"Udah, itu nanti bisa digantikan sama Dani atau Vina. Gue bukan minta lo mengundurkan diri, Nya. Gue minta lo cuti. Lo juga perlu istirahat. Otak lo juga butuh refreshing."
Syaraf otakku menegang mendengar penjelasan Mas Hanung. Di saat aku tak butuh istirahat dari semua rutinitas ini, dia justru mengusirku menjauh dari tempat yang menampung seluruh energiku. Lantas jika sudah begini apa yang bisa kulakukan?
Aku menghela napas panjang. Setelah mengucapkan terima kasih atas "kebaikan hati" Mas Hanung, aku pamit dari ruangannya. Poor Kanya. Semesta mendukung kepulanganmu menyambut luka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
@tik jishafa
refreshing kan gak mesti pulang k rmh klo emang ada yg d hindari...bisa jalan" k luar kota nginep d hotel, tamasya, kulineran, dll jaman udah modern kok d buat pusing 😊
2023-05-02
0
Jong Nyuk Tjen
ini happy ending ato sad ending thor ?
2023-02-17
0
💕febhy ajah💕
hadir disini
udah lama difavoritkan, nunggu tamat tp sepertinya lnjut season 2.saking penasarannya gegara komen nitizen akhirnya melipir ajah yg pnting season 1nya dah tamat 😁😁😁
2022-12-28
0