Renjana Alcatraz
Hampir menjelang pukul 11 malam, tapi Kanya belum juga pulang dari acara reuni SMA Almira. Padahal temannya itu sudah sampai rumah sejak tiga jam lalu dengan keadaan menangis. Aku mendengar samar-samar dari ruang tamu, Almira dan Damar menyebut nama seseorang yang dijumpai Kanya saat reuni. Putra.
Ah entah mengapa mendengar namanya membuat dadaku terasa ngilu. Rasanya seperti tertancap oleh sesuatu yang tak kasat mata. Bahkan dua kali lipat lebih sakit ketika jantung ini sering bermasalah dulu.
Di luar hujan semakin deras. Waktu seakan berputar lambat. Lagi-lagi kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Kanya belum juga terlihat.
"Mas, mungkin aja dia lagi hujan-hujanan. Bisa tolong kasih handuk ini kalau dia pulang?"
Damar menghampiriku di ruang tamu dan menyerahkan handuk kering. Raut muka lelaki itu tak bisa ditebak. Padahal biasanya wajah Damar selalu dihiasi senyuman. Dia tipikal ramah bahkan pada orang yang baru dikenal sekali pun.
"Oh, oke. Sori, kalau boleh tahu, dia di mana sekarang? Atau perlu gue jemput?" tanyaku menawarkan bantuan. Damar menepuk pundakku seolah meminta untuk tenang dan tak perlu terlalu memikirkan perempuan itu. "Bentar lagi dia pasti pulang kok, Mas."
"Oke, btw gimana keadaan Almira?"
"Mereka udah temenan dari kecil, gue yakin nggak bakal berantem lama-lama. Yah, gue khawatir justru gue yang nggak bisa maafin dia sih," ucap Damar sambil melunakkan wajahnya yang kaku.
"Eh, kok bisa?"
"Nggak tahu kenapa, waktu pertama ketemu Mas Aldo ada sesuatu yang ingetin gue sama kawan lama. Ada perasaan yang sama ketika gue deket sama lo. Kayak ngerasa udah lama kenal aja. Sayang gue nggak tahu di mana dia sekarang. Udah lama nggak pernah kontak-kontakkan sama dia." Wajah Damar berubah sendu saat menceritakan pengalamannya padaku. "Gue bakal dukung lo semampu gue, Mas."
Damar tersenyum meski tak setulus biasanya. Ia memilih menghindar saat melihat sebuah Honda Civic hitam keluaran terbaru memasuki halaman dan Kanya turun dengan kondisi basah kuyup. Tanpa sadar aku berlari menyambut Kanya dan menyampirkan handuk kering di pundaknya. Wajahnya sembab bercampur hujan. Aku yakin perempuan itu pasti habis menangis. Ada sebagian dari jiwanya yang terluka. Bahkan ia tak menolak ketika aku membimbingnya memasuki rumah.
Sekilas aku sempat melirik ke arah lelaki yang mengantarkan Kanya pulang. Nyeri kembali menghujam jantung serta ulu hatiku. Tatapan tajam lelaki yang mungkin tujuh tahun lebih muda dariku itu membuatku semakin merasa tidak nyaman. Ia seperti kucing yang kehilangan mangsanya ketika aku mengajak Kanya masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Almira tadi datang dari reuni sambil nangis. Aku nggak tahu masalahnya apa. Tadi aku langsung duduk di ruang tamu begitu Almira datang. Trus Damar suruh aku nungguin kamu sambil nyiapkan handuk. Kalau lihat keadaanmu begini, kalian pasti habis berantem ya?" Aku penasaran untuk tidak bertanya. Namun Kanya hanya tersenyum lemah tanpa berniat menjawab. Aku pun hanya menepuk pundaknya dan berkata,"Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita. Kita masih punya banyak waktu untuk berbagi keluh."
"Makasih, Mas."
Padahal dalam hati aku ingin tahu lebih banyak tentang Kanya. Tentang apa yang telah terjadi, siapa lelaki itu, kemana ia pergi hingga terpisah dengan Almira, apakah dia dunia yang dibangun selama ini dalam kepalanya dan masih banyak lagi pertanyaan yang tertahan di ujung lidahku.
Aku benar-benar menahan pertanyaan itu hingga Kanya memutuskan untuk masuk ke kamar tamu. Memupuskan harapan yang terlalu semangat kusiram sampai lupa jika Kanya tak mudah untuk digenggam.
***
"Nya, lo inget nggak, dulu lo pernah nonjok gue waktu nggak bisa move on dari Farah?"
Langkahku menuju dapur untuk mengambil air minum terhenti di pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan teras samping saat mendengar suara Damar berbicara dengan seseorang.
"Kenapa mendadak banget lo inget soal itu?"
Kali ini suara Kanya benar-benar membuatku berhenti. Didorong rasa penasaran aku bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan obrolan mereka. Aku tahu ini salah, tapi aku penasaran dengan apa yang terjadi. Terlebih pada sosok lelaki yang mengantarkan Kanya pulang tadi.
Ah sial, jantungku terasa sakit lagi saat mengingat sosok lelaki itu. Putra atau entah siapa pun namanya.
"Lo inget nggak?" tanya Damar sekali lagi.
"Waktu itu gue pengen nunjukkin ke elo kalau masih ada banyak cewek yang lebih baik dari Farah."
"Itu juga yang pengen gue lakuin saat pertama kali lihat Almira pulang dalam keadaan menangis dan lo jadi penyebab utamanya. Bukan karena gue pengen ikut campur urusan kalian, tapi gue cuma pengen lo sadar kalau cowok nggak cuma Putra."
"Gue sebodoh itu ya Dam, nggak bisa move on dari Putra?"
"Menurut lo?"
Hening. Cukup lama jeda di antara mereka untuk tidak saling berbicara. Jika begini, aku tidak akan tahu apa yang sedang Kanya pikirkan.
"Gue tanya deh, kurang apa sih laki-laki yang ngedeketin lo selama ini? Roland, Yuda, Rendi, Terry, Atlas, mereka semua juga nggak kalah ganteng kan sama Putra. Mereka juga orang-orang yang udah mapan. Aldo apa lagi. Baru dua hari kenal, gue yakin dia itu nyimpan perasaan buat lo."
"Gimana lo bisa yakin?"
"Kita sama-sama cowok, Anya. Dan itu yang gue lakuin dulu ketika PDKT sama Almira. Plis deh, lo udah dewasa. Udah tahu mana bedanya orang yang naksir sama kamu atau sekadar pengen kenalan."
Tubuhku menegang di balik pintu. Mengapa Damar bisa tahu aku menyukai perempuan itu? Apakah selama aku di sini gerak-gerikku begitu terlihat nyata jika sedang mendekati Kanya?
"Nya, kalau lo aja nggak mau berdamai dengan rasa sakit itu, gimana bisa nasib baik akan mendekat? Sudah cukup melarikan diri dari semua masalah ini. Lo harus berani menghadapi rasa sakit itu jika ingin semua berakhir."
"Dengan cara? Gue nggak bisa nerima dia sebagai kakak, Dam. Karena dari awal perasaan gue ke Putra bukan sebatas kakak-adik."
Alasan Kanya yang baru saja disampaikan pada Damar lagi-lagi membuat tubuhku kaku. Fakta macam apa pula kali ini? Dari awal aku tak pernah tahu jika Kanya memiliki seorang kakak dan mereka... tidak. Aku tak ingin gegabah mengambil kesimpulan. Kelak jika aku punya kesempatan, aku pasti akan bertanya langsung pada Kanya.
"Sumpah deh, Nya. Gue boleh nonjok lo nggak? Lo udah ngapain aja sih sama Putra sampai nggak bisa lupain dia?" tanya Damar tak bisa menahan amarah. Ia mendorong tubuh Kanya dan menatap mata perempuan itu dengan sorot tajam. "Jangan bilang lo udah ML sama, Putra!"
Mulut Kanya bungkam. Detak jantungku semakin tak karuan.
Kanya tetap diam, tapi lagi-lagi aku melihat tatapan mata kosong itu. Tanda jika Kanya sedang memikirkan sesuatu. Atau saat ia larut dalam dunia yang ada dalam kepala juga hatinya. Dan jujur saja, aku paling tidak suka jika Kanya sudah seperti itu. Sebab bukan aku yang menjadi dunia Kanya dalam kepala perempuan itu.
Apa bagusnya dia sampai lo membangun dunia dengan dia dalam kepala lo, Nya. Padahal ada gue yang siap menjadi rumah tempat lo melabuhkan segala resah.
"Huufftt... ternyata memang sulit merebut hati lo, Nya," gumamku setelah merasa cukup mendengarkan pembicaraan mereka.
"Serius lo udah ML sama dia? Itu kenapa lo dulu tanya gimana caranya biar nggak hamil setelah berhubungan badan? Nya?"
Aku hampir saja melangkah pergi saat suara Damar meninggi. Tak ingin sesuatu yang buruk terjadi, aku urung meninggalkan tempat persembunyian.
"Lo mikir apa sih sampai ngelakuin hal sejauh itu?" Pertanyaan Damar terdengar penuh emosi. "Brengsek juga si Putra berani ngelakuin hal itu sama lo."
"Gue juga mau."
"Tapi 'kan, Nya..."
"Itu udah cerita lama, Dam."
"Dan itu alasan kenapa lo nggak bisa move on dari, Putra. Lo masih kebayang kebejatan Putra."
"Dam, plis deh!"
"Trus kalau udah gini lo mau gimana? Lo sadar nggak sih kalau kalian nggak mungkin bisa nikah kecuali..."
"Gue cuma butuh waktu untuk mencintai diri gue sendiri."
"Tapi yang ada lo justru nyiksa diri lo karena nggak bisa move on dari Putra. Kalau kalian memang niat menabrak jalur jangan lakukan setengah-setengah. Nanggung tahu nggak," kata Damar marah sebelum meninggalkan Kanya seorang diri.
Sebenarnya aku ingin duduk di samping Kanya. Memberi kekuatan dan kehangatan agar hati yang terluka itu bisa segera sembuh, tapi aku mampu. Sebab hatiku pun ikut terluka melihat air mata jatuh dan mengering di pipinya.
Kalau saja lo mau izinkan gue mengobati perasaan sakit lo, Nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
Ersa
jantung?. jantung arez didonorkan ke araz kah?? penisiriinnn
2023-04-20
0
Erni Fitriana
menclos hati ini😥😥😥😥😥😥🤔
2021-08-21
0
Nacita
masi misteri sih ini, klo bner s arez tmennya yg dlu ko smsm ga salibg kenal ya, aduh bingung juga gue 😂😂😂
2021-08-05
0