Renjana Kanya
Almira tak berhenti memburuku dengan berbagai pertanyaan ketika menjelang tidur. Meski aku sudah memasang wajah tak ingin diganggu, tetap saja perempuan itu tidak kapok dan terus mengajakku berbicara. Padahal sebelum aku memasuki kamar yang dulu sering menjadi tempat pelarianku ketika kecil hingga beranjak remaja, Almira sudah bercerita banyak hal hingga membuatku menguap karena bosan.
"Mir, aku ngantuk. Lanjut besok aja ya. Plis."
"Bentar dong, Nya. Aku masih kangen ngobrol sama kamu tau. Plis deh, ini masih setengah sembilan loh."
Meski berat aku memaksakan membuka mata dan menekan kantuk yang sudah menyerang sejak tadi. Selama di perjalanan aku sama sekali tidak tidur karena terlalu asyik bercerita dengan Aldo. Sialnya, sahabat yang sudah kukenal sejak sekolah dasar itu tak membiarkan aku tidur dengan dalih sekarang malam tahun baru. Bahkan ia memaksaku ikut bergabung dengan Damar dan Aldo yang bermain kembang api di halaman.
"Aku ngantuk banget sumpah. Besok kamu mau cerita apa aja bakal aku ladenin deh. Tapi plis, biarin aku tidur malam ini," rengekku pada Almira yang tak juga jera memaksaku bangun dari tempat tidur.
"Kamu nggak menghindari Aldo 'kan?" tebak Almira tepat sasaran. Aku tak bisa menghindari tatapan penuh kecurigaan perempuan itu. "Hufftt... susah emang kalau udah urusan hati. Ya udah deh, aku nggak bakal maksa, tapi tetap aja kamu nggak boleh tidur dulu."
"Tapi gue ngantuk, Nyet," kataku sarkas. Meladeni Almira dalam kondisi lelah dan mengantuk memang bukan perkara mudah.
"Eh, eh, kalau ngomong tolong dijaga ya. Ada anak kecil yang dengerin nih. Omongannya yang baik-baik aja," kata Almira sambil mengelus-elus perutnya. Melihat perilaku Almira justru membuatku semakin kesal.
"Dih, kalau gue aja lo suruh ngomong baik-baik. Sendirinya malah maksain orang buat melek. Lebih buruk siapa coba?"
Senyum mengembang di bibir perempuan itu. Aku tahu Almira merindukanku seperti aku juga selalu kangen sama dia jika lama tak bertemu. Dulu kami sering menginap saat akhir pekan. Jika tidak aku yang tidur di rumah Almira, maka dia akan tidur di rumahku. Bahkan banyak yang mengira kami saudara karena tak pernah terpisahkan sejak sekolah dasar.
Kami baru berpisah sekolah saat SMA dan membuat lingkar pertemananku dengan Almira semakin luas. Aku di SMA Bina Bangsa, sedangkan Almira memilih SMA Negeri. Dari teman sekolahku semasa SMA lah dia mengenal Damar. Mereka sudah pacaran sejak kelas 2 SMA dan bertahan hingga sebentar lagi mau punya momongan.
Soal reuni SMA yang dibahas Almira, sebenarnya itu acara sekolah dia. Tapi perempuan itu selalu mengajakku datang dengan dalih banyak teman-temannya yang mengenalku. Meski aku tahu ada maksud tersembunyi dari semua ajakan itu. Misalnya ingin mengenalkanku dengan salah seorang temannya yang masih single. Padahal aku belum berpikir untuk menikah secepatnya. Tapi dia selalu sibuk mengurusi jodohku.
"Nya, kamu serius nggak mau turun?"
"Nggak Mir, gue ngantuk."
"Dih anak Jakarta ngomongnya gue elu mulu sekarang. Masih inget bahasa Jawa nggak lo?"
"**** gue ngantuk, Monyet. Bisa tinggalin gue nggak?" umpatku saat Almira masih saja bawel. Sungguh aku hanya ingin memejamkan mata sekarang.
"Dih, kamu beneran mau tidur jam segini?" tanya Almira sambil menggoyang-goyangkan tubuhku agar tak tertidur.
Aku mendengus kesal. Jika saja dia sedang tidak hamil, aku ingin sekali mencekiknya hingga memohon ampun.
"Iya bawel, aku ngantuk berat ini. Udah kamu keluar aja sana. Bantuin tuh Damar. Katanya lagi barbeque, kok malah kamu tinggal."
"Dia lebih ahli daripada aku kalau urusan masak memasak." Almira hanya nyengir, memperlihatkan giginya yang berderet rapi.
"Ya bantu ngapain kek. Kupas buah, bersihin udang, atau ngapain gitu. Daripada gangguin orang mau tidur. Capek banget ini, sumpah deh Mir," keluhku tak membuat Almira patah semangat menggangguku. Kini ia duduk di ujung tempat tidur sambil menarik selimut yang menyembunyikan tubuhku.
Aku bergeming dari posisi tidurku. Lama-lama Almira mengalah dan ikut berbaring di sebelahku.
"Jadi ingat zaman dulu nggak sih. Kita sering gantian nginep dan curhat-curhatan sampai pagi sambil dengerin radio. Eh mau dengerin radio nggak, Nya?"
"Nggak usah," jawabku tak lagi bertenaga.
Bukannya mengabulkan permintaanku, Almira justru bangun dari tempat tidur dan menyalahkan radio tape di meja yang terletak sudut ruangan. Ia mencari saluran gelombang yang tertangkap jelas. Hingga gerakan tangan Almira berhenti pada sebuah saluran yang menyiarkan program musik indie.
Di waktu bersamaan tubuhku menegang saat menyadari pemilik suara yang sedang menyanyikan sebuah lagu secara live. Aku kenal siapa pemilik suara yang menyerupai vokalis Sheila on 7 itu. Tubuhku membeku. Bahkan napasku mendadak sesak. Kenapa masa-masa yang ingin kulupakan justru mengetuk pintu hatiku paling awal?
"Wah, pas banget nih momennya. Sori Nya, aku nggak sengaja." Almira mematikan siaran radio dan kembali berbaring di sebelahku. Matanya menatap sendu langit-langit kamar. Sesekali ia menoleh ke arahku yang pura-pura memejamkan mata. "Kamu beneran belum bisa lupain dia, Nya?"
Pikiranku menerawang. Aku tak ingin menjawab pertanyaan Almira. Sebab, dia yang paling tahu jawaban dari pertanyaannya itu. Sebab, dia saksi pertama segala rona bahagia maupun luka atas peristiwa yang telah lalu. Sebab, ia pula yang menyembunyikan air mata yang tak juga surut ketika aku terpuruk.
Lantas, harus dengan kalimat apa lagi aku menjawabnya jika semua tetap sama. Tidak ada yang berubah meski waktu terus berjalan maju. Sakit itu masih tetap tinggal. Luka itu masih tetap menganga. Kekhawatiran itu akan tetap sama jika aku memutuskan pulang ke kotaku. Sebab tak ada yang benar-benar sembuh meski waktu memisahkan jarak. Sebab sakit yang tertinggal terlalu dalam hingga membuatku susah bergerak.
"Hei, menurutku Aldo lumayan juga. Kayaknya dia tertarik sama kamu deh. Nggak pengen coba jalan sama dia?"
Mulutku masih bisu. Siaran radio yang baru saja diputar Almira masih melekat dalam benakku. Suara vokalis sebuah band indie yang begitu khas menyebabkan kilasan memori masa lalu tumpah tanpa bisa kucegah.
"Seandainya saja aku bisa. Hentikan waktu untuk dirimu. Tak akan kubiarkan luka sakiti hatimu. Maafkanlah diriku yang tak mampu berikan bahagia untukmu..."
Lagu itu begitu lekat dalam memoriku. Meski sekilas dengar melalui siaran radio yang diputar Almira, aku masih hafal lirik hingga melodinya. Sebab lagu itu memang sengaja dibuat seseorang untuk melepas kepergianku. Lagu yang kemudian menjadi mimpi buruk di setiap malam-malam panjangku.
Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Almira yang berbaring di sampingku kini merengkuh tubuhku dalam pelukannya.
"Kamu juga berhak bahagia, Nya," bisiknya justru menumpahkan air mata di pipiku.
"Aku udah mencoba Mir, tapi gimana kalau aku nggak bisa lupain dia? Semua waktu yang kita lewati nggak cuma satu dua hari."
Almira menepuk pundakku. Menyalurkan kehangatan yang selama ini menguatkan aku.
"Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan menemukan kebahagiaanmu, Nya." Almira masih mencoba menghiburku. Sedang aku memilih memejamkan mata dan membiarkan kantuk menguasaiku sepenuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
eza
masak sampe lama bgt, berserah diri aja nya
2023-02-20
0
💕febhy ajah💕
baru bab 3 tp udah puas bnget bacanya selain cerita yg membuatku tertarik dan penulisan kata2 yg mudah dimengerti. kuy lah cerita yg bgus dan membuatku 💓💓💓💓
2022-12-28
0
sora
aku baru nemu novel ini dr notif nt..
2022-10-12
0