Renjana Alcatraz
September, 2019
Kantor tempat Kanya bekerja terlihat ramai saat aku ke sana. Mulai lantai dasar hingga lantai lima penuh sesak dengan orang-orang yang berlarian. Mengejar peristiwa.
Ini hari kedua demo mahasiswa yang menjadi sorotan utama publik. Bahkan gerakan ini direspon hingga ke ujung timur Indonesia. Sebagai insan media sudah tentu menjadi hari-hari sibuk. Bahkan Hanung masih memimpin rapat ketika aku sampai di kantornya. Termasuk Kanya yang sedang ikut dalam lingkaran itu.
Tanpa sepengetahuan perempuan itu, aku menyelinap ke meja kerja Kanya dan menaruh minuman kaleng yang biasa dia minum ketika kami sering berpapasan. Aku menyobek sticky note di meja Kanya dan menulis pesan singkat.
Hei, Kanya. Semangat tugas liputan demo mahasiswa ya. Hati-hati gas air mata. Kudengar suasana mulai nggak kondusif. Jaga diri ya. ☺
Setelah menyelesaikan misiku, aku memilih duduk di sofa ruang tunggu sampai Hanung selesai memimpin rapat. Aku hanya tersenyum saat mendengar teman-teman Kanya menggoda perempuan itu ketika melihat minuman kaleng yang kuberikan.
"Cie, yang dapat pesan dari pengagum rahasia."
"Apaan sih, Nov. Heran gue, siapa sih yang sok-sokan misterius kasih ginian? Sering banget loh ini. Kalian ada yang iseng sama gue ya?"
"Dih kurang kerjaan isengin lo hampir tiap hari."
Sebelum ketahuan akulah yang menaruh minuman di meja Kanya, aku menyelinap masuk ke ruangan Hanung. Temanku itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku.
“Gila lo memang, kayak ABG baru kenal cinta aja. Tiap kali ke sini cuma perlu kasih dia cola.”
“Lah memang gue baru kenal cinta ini ‘kan?”
***
Awal Desember, 2019
"Gimana kalau kita angkat batik sebagai topik utama. Gue dengar ada motif yang dulu diwariskan dari para pedagang Cina. Lagian juga masih nyambung sama divisi fashion atau ekonomi kreatif. Kalau memang iya, harus ke beberapa tempat buat liputan karena batik nggak cuma di Pekalongan sama Solo. Gimana menurut kalian?"
Ide gila tiba-tiba muncul di benakku. Kami sedang rapat redaksi menyiapkan perencanaan materi terbit bulan Januari. Karena bulan Januari bertepatan dengan perayaan Imlek, atasan meminta tema besar tentang tahun baru umat Tionghoa itu. Namun belum ada satu pun ide segar yang kami sepakati.
Mendengar pernyataanku, hampir separuh penghuni ruang rapat menoleh ke arahku. Wajah-wajah kusut itu menjadi sedikit lebih cerah. Penyebabnya, sudah dua jam kami berdiskusi, tapi belum ada satu pun ide yang diterima anggota rapat.
Apa lagi Mas Andre, si redaktur pelaksana LF itu. Semua ide dimentahkan begitu saja. Dia ingin penyajian Imlek LF berbeda dengan yang lain. Harus tetap ada unsur budaya Indonesianya yang kuat. Jadi benar-benar menunjukkan sisi multikulturalismenya antara dua kebudayaan itu.
"Btw, batik lagi nih? Bukannya kita udah sering banget bahas batik ya?" kata Bianca kepala divisi marketing, menyurutkan lagi semangat para anggota rapat.
Sekadar informasi, aku bekerja di sebuah majalah perempuan yang cukup dikenal di negeri ini. La Fammes. Majalah yang dikhususkan untuk perempuan yang baru beranjak dewasa hingga perempuan dewasa itu memang fokus pada talenta atau kelebihan yang dimiliki setiap perempuan. Role model kami pun beragam, mulai perempuan pekerja kantoran, pengusaha, aktivis perempuan hingga seniman. Jadi cukup rumit terkadang untuk menggali isu yang hangat dibicarakan dan tidak ketinggalan zaman.
"Iya memang sih, tapi kali ini kita ambil korelasinya sama perayaan Imlek. Tahu nggak lo kalau ada motif batik yang diwariskan dari pedagang Cina?" tanyaku hanya dijawab gelengan kepala oleh Bianca dan beberapa staf lain yang mengikuti rapat. "Nah, itu poin pentingnya."
"Gue setuju sama Araz. Udah itu aja kita garap. Nggak makan siang beneran nih kalau urusan satu ini belum selesai." Henry si kepala divisi fashion sudah sepakat dengan ide yang kuusulkan.
"Gue juga sependapat. Udah lama juga gue pengen angkat masalah perekonomian tentang batik." Sazkia pun setuju dengan pendapatku.
"Pak Abas bakal setuju nggak kira-kira?" Bianca masih pesimis dengan ide yang disetujui hampir seluruh anggota rapat.
"Oke, kita pakai ide dari Araz. Gue yang bakal lapor sama Pak Abas," tawar Mas Andre setelah perdebatan panjang kami di meja rapat. "Lo yang siapkan laporan utama ya, Raz. Segera urus surat untuk liputan ke daerah," imbuh Mas Andre sebelum meninggalkan ruang rapat.
"Siap, Mas!"
Usai rapat aku segera menyiapkan draft untuk liputan laporan utama dan membuat list ke daerah mana saja harus mengumpulkan bahan tulisan. Tuban, daerah pesisir yang terletak di ujung paling barat di Provinsi Jawa Timur itu menjadi tujuan utamaku.
Sebenarnya bukan untuk bahan tulisan tujuan utamaku datang ke kota itu. Suatu hari, Hanung pernah bercerita tentang daerah asal Kanya. Setelah aku berselancar di internet, baru aku tahu jika kabupaten kecil itu memiliki banyak potensi alam maupun budaya. Dan aku punya alasan untuk dekat dengannya tanpa terkesan berlebihan ketika PDKT.
Aku menekan salah satu nomor yang ada di kontak handphone. Tak lama seseorang menyapa dari seberang. “Halo Nung, gue minta tolong dong.”
“Bantu apa nih?”
“Gue mau liputan ke daerah Kanya nih, bisa minta tolong atur supaya dia bantuin gue selama di sana nggak?”
Tawa Hanung berderai dari ujung telepon. Sambungnya,“Modus lo sa ae, Bro."
"Nungguin lo kebanyakan alasan."
"Dia yang kebanyakan alasan, Monyet."
Aku hanya tertawa menanggapi pernyataan Hanung. Temanku itu memang sudah mencoba mengenalkan kami, tapi Kanya selalu punya alasan untuk menghindari.
"Makanya kali ini jangan sampai gagal."
"Oke, gue bisa atur itu. Serahkan sama gue urusan ini. Kapan berangkat?”
"Akhir bulan aja deh. Gue mesti keliling dulu buat lengkapi data laput."
"Heran gue, punya rubrik sendiri masih aja kebagian laput lo."
"Lumayan duitnya gede. Udah deh, gue percayakan urusan Kanya sama lo ya?"
"Beres."
Sambungan telepon terputus. Aku tersenyum setelah menyelesaikan satu rencana. Tinggal menyusun rencana-rencana yang lainnya.
Huftt... Memang cinta kadang mengalahkan segala logika.
***
Akhir Desember, 2019
"Raz, gimana, udah selesai laput lo?" tanya Mas Andre saat aku terbangun esok harinya. Semalam aku tidur di kantor demi menyelesaikan bahan tulisan untuk laporan utama.
"Belum Mas, masih ada satu daerah lagi yang mesti gue kunjungi. Hari ini rencananya gue pergi."
"Lah, trus kenapa masih di sini? Udah jam 06.30 loh ini. Nggak siap-siap lo?"
"Astaga."
Tanpa menanggapi pernyataan Mas Andre lebih lanjut, aku segera berlari ke kamar mandi dan membersihkan tubuh seperlunya. Paling penting, aku masih punya waktu bercukur hingga terlihat lebih rapi. Masih dengan pakaian yang kupakai kemarin aku segera berangkat menuju Stasiun Pasar Senen.
Semalam aku sudah mengirim pesan kepada Kanya untuk bertemu di stasiun saja. Aku juga sudah mengirimkan e-tiket yang dipesankan Hanung sejak beberapa hari lalu. Untung Dewi Fortuna berpihak padaku. Sepanjang jalan menuju Stasiun Pasar Senin tak begitu macet di jam sibuk. Apa lagi ini akhir tahun yang disambut penuh euforia di segala penjuru dunia. Meski aku sampai di jam genting keberangkatan kereta.
Aku melihat sosok Kanya menaiki gerbong kereta saat tiba di stasiun. Kupercepat langkah kakiku dan membantu Kanya membawakan koper cabin size miliknya. Sebisa mungkin aku berusaha tersenyum meski ujung bibirku kaku karena canggung dan juga... gugup.
"Sori, aku bangun kesiangan. Alarmku ternyata mati. Biasalah bujang, nggak ada yang bangunin kalau bukan alarm," kataku berbohong. Mana mungkin kubilang aku ketiduran di kantor dan tidak sempat pulang karena lembur menyelesaikan laporan utama untuk bulan depan. "Eh, aku sampai lupa ngenalin nama. Aku Aldo, sori ya kalau beberapa hari ke depan bakal ngerepotin kamu."
Oh shit, kenapa gue malah sebut Aldo sih? Kebiasaan main sama Hanung nih sampai nama julukan gue kebawa terus. Aku mengumpat dalam hati saat menyadari ketololanku. Kelak aku pasti akan ceritakan kenapa dipanggil Aldo.
"Sebenarnya aku udah tahu nama kamu Kanya. Aku pernah tanya Hanung waktu main ke kantornya. Kita ketemu di lift waktu itu. Kamu ingat?"
"Eh?"
"Kok eh? Wah kayaknya kamu beneran lupa kalau kita udah pernah ketemu ya?"
"Hehe... sori Mas, gue... eh, aku nggak mudah ngenalin wajah orang kalau baru sekali dua kali ketemu."
Duh sial, gue makin nggak jelas aja nih. Gimana caranya ngajak dia ngobrol biar nggak bosen sama gue, ****.
Kupandangi wajah Kanya yang terlihat bosan mengobrol denganku. Sedang aku masih berusaha mencari topik yang bisa membuat kami semakin akrab. Hingga ide membahas pekerjaan terlintas begitu saja.
Aku tersenyum lega saat melihat wajah Kanya berangsur-angsur mulai cerah. Pilihanku membicarakan pekerjaan bukanlah hal buruk, meski sebenarnya aku tak ingin memikirkan pekerjaan saat ini. Aku ingin berbicara hal lain yang lebih santai dan menjadikan kami lebih dekat serta menyapanya dengan sapaan ringan. Hingga tak terkesan jika kami sebatas rekan seperjalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
Ersa
araz - arez....saudara kembarkah??
2023-04-20
0
💕febhy ajah💕
masih pusing aldo, araz,alcatras satu orang terus arez apakah orang yg sama jg????
2022-12-29
0
🎸ꪗᴏɴɴᴀ👀 <_
AKU SHOCK DIA AREZ PARAH SIH THOOOOOR
2021-10-18
0