Renjana Kanya
Stasiun Pasar Senen, akhir tahun 2019
Kereta api Dharmawangsa hampir berangkat sepuluh menit lagi, tapi teman yang dimaksud Mas Hanung belum juga sampai. Kemarin dia sudah mengirim chat. Katanya dia akan sampai di stasiun pukul 08.00 WIB. Kurasa 25 menit sebelum kereta berangkat cukup digunakan untuk mengobrol dan mengenalkan diri satu sama lain. Kenyataannya hingga kereta api hampir berangkat sosok itu belum juga terlihat.
Aku memutuskan memasuki gerbong saat terdengar pengumuman yang meminta para penumpang segera naik ke kereta. Saat itulah mataku menangkap sosok lelaki yang kemarin digambarkan oleh Mas Hanung. Lelaki bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 182 centimeter itu melambai ke arahku. Napasnya terengah ketika mengulurkan tangan. Membantuku membawakan koper menuju tempat duduk kami.
"Sori, aku bangun kesiangan. Alarmku ternyata mati. Biasalah bujang, nggak ada yang bangunin kalau bukan alarm," katanya saat ia menemukan tempat duduk kami dan menyimpan koper di kabin kereta. "Eh, aku sampai lupa ngenalin nama. Aku Aldo, sori ya kalau beberapa hari ke depan bakal ngerepotin kamu."
Lelaki itu tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang berbaris rapi. Bahkan lesung di kedua belah pipinya ikut pamer ketika ia tersenyum. Sedangkan matanya menyipit mengikuti garis lengkung bibirnya. Gayanya terkesan cuek dengan celana jeans robek di bagian lutut dipadu kaus putih dan kemeja kotak-kotak lengan panjang. Meski begitu tidak melunturkan kharismanya sebagai lelaki dewasa awal 30 tahunan. Terpaut lima tahun tua dariku.
Sudut bibirku terangkat kikuk. Aku hanya mengangguk sambil menyebutkan nama. Mas Hanung memang sudah bercerita jika teman yang dimaksud adalah seorang cowok. Tapi dia tidak bilang jika lelaki itu cukup memesona dan sukses membuat jantungku seperti genderang perang. Bahkan sejak tadi aku tak bisa mengalihkan pandangan dari rahang tegas, hidung mancung dan bibirnya yang sensual.
"Sebenarnya aku udah tahu nama kamu Kanya. Aku pernah tanya Hanung waktu main ke kantornya. Kita ketemu di lift waktu itu. Kamu ingat?"
"Eh?"
"Kok eh?"
Lagi-lagi aku tertawa kikuk karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Tak biasanya aku seperti ini. Aku tipikal orang yang mudah bergaul, tapi dengannya aku tahu harus bagaimana bersikap. Apa lagi dia beraku-kamu seakan teman yang sudah lama akrab. Membuatku semakin kikuk. Sebab selama tinggal di Jakarta sejak lulus SMA baru kali ini aku diajak ngobrol dengan sebutan aku-kamu dengan orang yang baru kenal.
"Wah kayaknya kamu beneran lupa kalau kita udah pernah ketemu ya?"
"Hehe... sori Mas, gue... eh, aku nggak mudah ngenalin wajah orang kalau baru sekali dua kali ketemu."
Aldo tertawa menanggapi pernyataanku. Ia menggeser duduknya hingga kami berhadapan dan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk. "Kalau gitu ingat baik-baik. Siapa tahu kita terpisah dan kamu nggak bisa menemukanku."
Wajah itu tersenyum. Meninggalkan lesung pipi yang entah mengapa membuatku gemas dan ingin mencubitnya.
"Oh ya, satu lagi. Kamu nggak perlu ikutin gaya bicaraku. Santai aja kayak kamu ngomong biasanya."
"Iya Mas. Gue... eh aku, bakal coba."
Meski dia memintaku untuk bersikap santai tetap saja aku tak bisa. Mungkin di luar kantor aku bisa berbicara santai dengan Mas Hanung sekali pun seumuran Aldo. Itu karena Mas Hanung juga bersikap santai. Bahkan ketika di kantor sekali pun. Tapi dengan Aldo aku tak bisa seenaknya manggil gue-elo karena dia bersikap sopan kepadaku.
Selama perjalanan Aldo bercerita tentang banyak hal. Mulai pengalamannya bekerja di surat kabar harian hingga kini menggarap rubrik seni budaya di salah satu majalah yang cukup terkenal di Indonesia.
Siapa yang tak mengenal La Fammes. Majalah itu menjadi trend perempuan metropolitan hingga ke pelosok daerah. Bahasannya yang segar dan selalu up to date membuat LF -sebutan beken La Fammes- selalu menjadi idola. Meskipun zaman serba digital, menenteng LF dengan cover model terkenal tidak akan membuatmu terlihat kudet alias kurang update.
"Kamu nggak pengen suatu saat gabung sama LF?" tanya Aldo saat ia selesai menceritakan perjalanan kariernya.
"Belum kepikiran pindah haluan Mas. Ngejar peristiwa bagiku punya kepuasan tersendiri. Apa lagi kalau urusan politik udah memanas. Serasa memicu adrenalin."
"Nggak nyangka masih ada perempuan yang setangguh kamu, Nya. Padahal nggak sedikit perempuan yang pengen kerja di LF loh."
"Kalau semua perempuan sibuk ngurusin trend fashion, trus siapa yang ngurusin negara, Mas? Mbak Nana 'kan juga perlu regenerasi," kataku menyebut nama salah satu presenter TV terkenal yang dimiliki negeri ini.
"Iya juga ya. Berarti ada keinginan pindah ke saluran elektronik nih?"
"Nggak juga sih Mas, TV sekarang udah kalah sama yang dapat monetisasi dolar. Mungkin bikin channel sendiri kali ya. Kamu mau join nggak, Mas? Lumayan loh itu bayarannya dolar."
Aldo tertawa. Membicarakan pekerjaan membuatku mulai nyaman ngobrol dengannya. Aku bahkan tak lagi kikuk beraku-kamu dengan Aldo.
"Bener kata Hanung kamu anaknya asyik diajak ngobrol. Untung kamu nggak nolak waktu Hanung minta kamu ngantar aku ke kampung. Kalau berangkat sendiri aku nggak bisa bayangkan gimana bosannya selama perjalanan."
Senyum lenyap dari wajahku saat menyadari kalimat Aldo. Kami bukan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk liburan. Tapi menuju kota tempat aku dilahirkan.
Napasku mendadak sesak. Sekali pun aku menghindari kata pulang, nyatanya itulah yang kulakukan sekarang.
***
Hujan menyambut kami saat sampai stasiun tujuan. Stasiun kecil yang terletak di kabupaten tetangga dari kota kelahiranku itu tampak tak begitu ramai seperti biasa. Sebagaimana fungsinya menjadi pemberhentian sementara. Hanya ada beberapa penumpang yang turun dari kereta. Selebihnya penumpang yang akan naik kereta lainnya dengan tujuan berbeda-beda.
Damar -suami Almira- sudah menunggu di depan pintu keluar. Awalnya aku menolak ketika Almira menawarkan agar Damar menjemput mereka. Tapi mengingat aku tidak sendirian, akhirnya aku menyetujui ide Almira dengan tambahan aku dan Aldo diizinkan menginap beberapa hari di rumahnya. Aku masih belum siap patah hati berkali-kali jika memutuskan pulang ke rumah.
"Hei Mar, apa kabar lo? Almira sehat 'kan," kataku sambil melakukan tos yang sering kami lakukan sejak SMA. Lelaki yang sebentar lagi menjadi seorang ayah itu hanya cengar-cengir memperhatikan aku dan Aldo yang berjalan bersisihan. Fokusnya tertuju pada Aldo dan siap mencecarku dengan berbagai pertanyaan tak bermutu. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh lo. Dia temen gue. Mau liputan buat bahan tulisan dia."
"Lebih dari teman juga nggak apa-apa loh, Nya."
"Nggak usah bikin isu deh lo."
"Lah, gue 'kan cuma bilang lebih dari teman juga nggak apa-apa, Nya. Salah lagi gue."
"Berisik ah, udah yuk. Capek gue."
"Masa belum move on sih dari yang itu. Udah cerita lama juga," komentar Damar sukses membuatku kesal. Aku melotot ke arahnya dan meninggalkan koperku begitu saja. "Elah, gitu aja udah ngambek tuh anak. Sori ya Mas, temen gue satu itu emang suka uring-uringan. Kenalin, nama gue Damar. Temen Kanya sejak SMA sampai mau punya anak satu."
"Panggil aja gue Aldo. Nggak usah pakai sebutan Mas lah. Belum setua itu gue."
Tubuhku menegang saat mendengar obrolan Aldo dengan Damar. Dengan Damar, lelaki itu ngobrol santai selayaknya orang Jakarta pada umumnya, tapi kenapa denganku harus beraku-kamu kayak udah lama saling kenal atau ada hubungan spesial? Menyebalkan. Aku bahkan harus menyesuaikan gaya bicaraku dengannya.
"Sampai tempat kamu butuh waktu berapa lama, Nya?" Pertanyaan Aldo membuatku terkejut. Kami sedang duduk berdua di bangku belakang. Sedang Damar menata barang bawaan di bagasi.
"Sekitar 45 menit, Mas. Paling lama sejam lah."
"Wah lumayan jauh juga ya."
Aku tak menanggapi komentar Aldo. Sikap lelaki itu ditambah obrolan tak penting Damar membuat mood-ku berantakan. Kalau saja aku boleh memilih, aku ingin keluar dari mobil dan mencegat bus yang lewat. Tapi di hari hujan seperti ini, naik bus bukanlah pilihan tepat.
Selama perjalanan aku memilih diam dan mendengarkan musik melalui airpods. Sedangkan Aldo dan Damar saling bertukar cerita tentang keadaan ibu kota. Sejak lulus kuliah dari Tri Sakti, Damar memang memilih berkarier di kota kelahiran kami. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN yang ada di kotaku. Mengikuti kemauan Almira yang tak diizinkan jauh dari orang tuanya sejak ia lulus kuliah. Sedang aku memilih menetap di Jakarta karena beberapa hal. Salah satunya...
"Jadi siapa yang dimaksud Damar dengan dia yang belum bisa membuatmu move on?" tanya Aldo tiba-tiba. Ia melepas airpods dan berbisik di telingaku.
Aku menatapnya tak suka. Kalau saja tidak di dalam mobil bersama Damar, aku pasti akan berteriak di depan Aldo jika itu bukan urusannya. Dia bahkan belum mengenalku genap satu hari, tapi sudah menanyakan hal yang bersifat pribadi.
"Sori, aku nggak seharusnya bertanya seperti itu. Kamu berhak untuk tidak menjawab pertanyaanku," kata Aldo saat menyadari aku tak nyaman dengan pertanyaannya.
Lelaki itu memilih diam dan memandang bulir-bulir air yang jatuh di kaca mobil. Kami tak saling bicara hingga mobil yang dikemudikan Damar sampai di rumah keluarga Almira. Perempuan dengan wajah secerah mentari pagi itu sudah menunggu di depan pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
𝑀𝒶𝓎𝑀𝑜𝓊
aq mampir kak🤗🤗bahasanya enak ringan...lanjuutt aaaa
2021-10-07
0
Ayyu
enakan ini dibaca,gampang dipahami bahasanya,alurnya kereeen 😍
2021-08-25
0
Nacita
wow...keren bacanya enak nih...rapi gmpg bgt d phami 😉
2021-08-05
0