NovelToon NovelToon

Pulang

Awal Sebuah Masalah

Renjana Kanya

"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus datang reuni kali ini," tegas Almira saat meneleponku ketika istirahat makan siang.

Meski sudah kujelaskan berulang-ulang jika aku tak bisa meninggalkan pekerjaan kantor dan jatah cutiku tahun ini sudah habis, perempuan itu masih memaksaku datang ke reuni yang rutin dilaksanakan setiap awal tahun.

"Aku nggak bisa, Mir. Kan kamu tahu sendiri gimana kalau akhir tahun. Aku mesti standby buat liputan menyambut tahun baru. Dan lagi, peristiwa nggak bisa nunggu Mir. Kan kamu tahu di sini lagi banjir." Aku berkelit dari ajakan Almira untuk menghadiri reuni tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya aku berbohong pada Almira perkara jatah cutiku yang habis. Selama satu tahun ini aku bahkan sekali pun tidak mengambil cuti hingga dijuluki manusia mesin oleh rekan-rekan sekantor. Padahal tidak mudah bekerja di media yang selalu menuntut tetap enerjik dan selalu fit setiap saat. Apa lagi reporter surat kabar harian.

Aku bahkan heran dengan daya tubuhku. Ketika satu per satu teman kantorku mulai tumbang karena kelelahan dan cuaca yang tidak menentu, aku bahkan dengan entengnya menerima pelimpahan berita dari Mas Hanung, redakturku.

Hanya saja, pulang perkara rumit yang selalu kuhindari sejak kematian ayah tiga tahun yang lalu. Aku masih belum bisa menerima sosok baru yang menggantikannya. Dan lagi...

"Ayolah Nya, kamu nggak kangen sama aku? Aku lagi hamil loh ini, ngidam pengen ketemu kamu." Almira masih mencoba membujukku agar aku pulang. Sebab dia yang paling tahu aku tak mungkin menolak permintaannya jika itu menyangkut janin dalam kandungnya. Tapi aku harus tetap bersikukuh. Aku tidak ingin pulang.

"Sori Mir, gue beneran nggak bisa kali ini."

"Elah Nya, kamu nggak penat apa tiap hari kejar-kejaran mulu sama waktu. Belum lagi macetnya ibu kota. Bising, polusi di mana-mana. Rileks dikit lah, kamu 'kan juga bisa eksplore kota kelahiran kamu buat bahan berita." Suara Almira mulai meninggi. Aku tahu dia sedang kesal. Tapi aku tetap tidak ingin pulang.

"Sori Mir, aku beneran nggak bisa pulang."

"Iya main aja sana sama teman-teman borjuis kamu. Aku sih emang udah nggak selevel sama kamu yang pergaulannya sekarang high class."

"Apa sih Mir, bandingin kayak gitu? Plis, kita bukan anak kecil lagi ya. Jangan..."

Tuutt... tuutt... tuuttt...

Sambungan telepon terputus.

"Sial, gue belum selesai ngomong ****," umpatku kesal.

Kutelungkapkan kepalaku yang pening ke atas meja. Almira selalu saja menimbulkan masalah saat aku ingin melalui awal tahun dengan damai. Perkaranya selalu sama, memintaku pulang demi menghadiri reuni SMA yang bagiku tak berarti.

"Kenapa lo Nya? Dicari Mas Hanung tuh." Suara Vina membuatku terduduk tegak. Wajah kusut selepas liputan perempuan itu membuatnya tampak lelah. Musim banjir menjelang tahun baru bukanlah pekerjaan mudah bagi para pencari warta.

"Eh, gue?" tanyaku refleks sambil mengurut kepala yang tiba-tiba pusing.

"Iyalah, kalo manggil Dani kenapa gue mesti ngomong sama lo?"

Aku tersenyum lemah menanggapi pertanyaan perempuan itu. Kalau saja lelaki yang disebut saat ini berada di mejanya, dia pasti akan melempari Vina dengan kulit kacang.

Dengan malas aku berjalan ke ruangan Mas Hanung. Dalam hati aku selalu mengucapkan doa semoga tidak ada tugas liputan ke luar daerah. Sekali pun aku tak ingin pulang, bukan berarti aku ingin menghabiskan waktu dengan liputan ke daerah.

Aku menarik napas panjang sebelum memasuki ruangan Mas Hanung. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Biasanya jika sudah begini ketakutanku akan menjadi kenyataan.

Kulihat Mas Hanung sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon saat aku membuka ruangannya. Dia memberi tanda agar aku masuk dan mempersilakan duduk.

"Ei Kanya, duduk dulu. Tunggu sebentar ya." Setelah mengakhiri pembicaraan dengan seseorang di telepon, Mas Hanung kini meneliti wajahku yang tegang. Dari senyumnya aku tahu jika dia menginginkan sesuatu. "Kayaknya lo udah tahu kalo gue bakal minta bantuan lo, Nya. Beneran cenayang ya lo?"

"Bukan liputan ke daerah 'kan Mas?" tanyaku was-was.

"Nggak, kalau pun iya pasti 'kan bakal rapat redaksi dulu, Nya."

Tapi perlakuan lo sama gue 'kan beda Mas, suka asal tunjuk aja tanpa rapat redaksi dulu. Keluhku dalam hati karena seringnya lelaki itu memintaku liputan mendadak jika ada hal mendesak dan tidak bisa ditangani kontributor di daerah.

"Gimana Nya, lo bisa 'kan?"

"Eh, apa Mas?" tanyaku linglung saat Mas Hanung bertanya padaku. Berapa lama aku melamun sampai tidak menyimak pembicaraan lelaki di depanku itu?

"Ya ampun, Nya. Lo dari tadi nggak dengar gue ngomong apa? Keterlaluan lo, Nya. Kalau kayak gini makin yakin gue, lo harus terima tawaran gue. Gue udah bikin surat cuti buat lo. Dua minggu. Ambil kesempatan ini buat pulang. Gue nitip teman gue ya, anak majalah. Dia mau liputan tetang batik tenun di daerah lo." Mas Hanung memberi keputusan tegas tanpa mendengarkan pembelaanku.

"Eh, ini maksudnya gimana Mas?" tanyaku saat tak mampu mencerna keputusan Mas Hanung dengan baik. Pikiranku terlalu lemot untuk memahami apa maksud pimpinan redaksiku itu.

"Ya lo bebas tugas. Dua minggu. Lo pulang kampung trus ajak temen yang gue ceritain tadi. Lagian lo udah kayak mesin aja. Setahun penuh nggak ada liburnya. Kurang baik gimana coba gue sebagai atasan lo?"

"Saya nggak butuh istirahat kok, Mas."

"Iya tapi mata gue juga perlu istirahat, Nya. Lo kira gue nggak bosen lihat lo tiap hari mondar-mandir di kantor?"

"Saya juga masih ada janji untuk wawancara seorang tokoh penggerak lingkungan, Mas. Ini mumpung momennya pas musim penghujan."

"Udah, itu nanti bisa digantikan sama Dani atau Vina. Gue bukan minta lo mengundurkan diri, Nya. Gue minta lo cuti. Lo juga perlu istirahat. Otak lo juga butuh refreshing."

Syaraf otakku menegang mendengar penjelasan Mas Hanung. Di saat aku tak butuh istirahat dari semua rutinitas ini, dia justru mengusirku menjauh dari tempat yang menampung seluruh energiku. Lantas jika sudah begini apa yang bisa kulakukan?

Aku menghela napas panjang. Setelah mengucapkan terima kasih atas "kebaikan hati" Mas Hanung, aku pamit dari ruangannya. Poor Kanya. Semesta mendukung kepulanganmu menyambut luka.

Teman Seperjalanan

Renjana Kanya

Stasiun Pasar Senen, akhir tahun 2019

Kereta api Dharmawangsa hampir berangkat sepuluh menit lagi, tapi teman yang dimaksud Mas Hanung belum juga sampai. Kemarin dia sudah mengirim chat. Katanya dia akan sampai di stasiun pukul 08.00 WIB. Kurasa 25 menit sebelum kereta berangkat cukup digunakan untuk mengobrol dan mengenalkan diri satu sama lain. Kenyataannya hingga kereta api hampir berangkat sosok itu belum juga terlihat.

Aku memutuskan memasuki gerbong saat terdengar pengumuman yang meminta para penumpang segera naik ke kereta. Saat itulah mataku menangkap sosok lelaki yang kemarin digambarkan oleh Mas Hanung. Lelaki bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 182 centimeter itu melambai ke arahku. Napasnya terengah ketika mengulurkan tangan. Membantuku membawakan koper menuju tempat duduk kami.

"Sori, aku bangun kesiangan. Alarmku ternyata mati. Biasalah bujang, nggak ada yang bangunin kalau bukan alarm," katanya saat ia menemukan tempat duduk kami dan menyimpan koper di kabin kereta. "Eh, aku sampai lupa ngenalin nama. Aku Aldo, sori ya kalau beberapa hari ke depan bakal ngerepotin kamu."

Lelaki itu tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang berbaris rapi. Bahkan lesung di kedua belah pipinya ikut pamer ketika ia tersenyum. Sedangkan matanya menyipit mengikuti garis lengkung bibirnya. Gayanya terkesan cuek dengan celana jeans robek di bagian lutut dipadu kaus putih dan kemeja kotak-kotak lengan panjang. Meski begitu tidak melunturkan kharismanya sebagai lelaki dewasa awal 30 tahunan. Terpaut lima tahun tua dariku.

Sudut bibirku terangkat kikuk. Aku hanya mengangguk sambil menyebutkan nama. Mas Hanung memang sudah bercerita jika teman yang dimaksud adalah seorang cowok. Tapi dia tidak bilang jika lelaki itu cukup memesona dan sukses membuat jantungku seperti genderang perang. Bahkan sejak tadi aku tak bisa mengalihkan pandangan dari rahang tegas, hidung mancung dan bibirnya yang sensual.

"Sebenarnya aku udah tahu nama kamu Kanya. Aku pernah tanya Hanung waktu main ke kantornya. Kita ketemu di lift waktu itu. Kamu ingat?"

"Eh?"

"Kok eh?"

Lagi-lagi aku tertawa kikuk karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Tak biasanya aku seperti ini. Aku tipikal orang yang mudah bergaul, tapi dengannya aku tahu harus bagaimana bersikap. Apa lagi dia beraku-kamu seakan teman yang sudah lama akrab. Membuatku semakin kikuk. Sebab selama tinggal di Jakarta sejak lulus SMA baru kali ini aku diajak ngobrol dengan sebutan aku-kamu dengan orang yang baru kenal.

"Wah kayaknya kamu beneran lupa kalau kita udah pernah ketemu ya?"

"Hehe... sori Mas, gue... eh, aku nggak mudah ngenalin wajah orang kalau baru sekali dua kali ketemu."

Aldo tertawa menanggapi pernyataanku. Ia menggeser duduknya hingga kami berhadapan dan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk. "Kalau gitu ingat baik-baik. Siapa tahu kita terpisah dan kamu nggak bisa menemukanku."

Wajah itu tersenyum. Meninggalkan lesung pipi yang entah mengapa membuatku gemas dan ingin mencubitnya.

"Oh ya, satu lagi. Kamu nggak perlu ikutin gaya bicaraku. Santai aja kayak kamu ngomong biasanya."

"Iya Mas. Gue... eh aku, bakal coba."

Meski dia memintaku untuk bersikap santai tetap saja aku tak bisa. Mungkin di luar kantor aku bisa berbicara santai dengan Mas Hanung sekali pun seumuran Aldo. Itu karena Mas Hanung juga bersikap santai. Bahkan ketika di kantor sekali pun. Tapi dengan Aldo aku tak bisa seenaknya manggil gue-elo karena dia bersikap sopan kepadaku.

Selama perjalanan Aldo bercerita tentang banyak hal. Mulai pengalamannya bekerja di surat kabar harian hingga kini menggarap rubrik seni budaya di salah satu majalah yang cukup terkenal di Indonesia.

Siapa yang tak mengenal La Fammes. Majalah itu menjadi trend perempuan metropolitan hingga ke pelosok daerah. Bahasannya yang segar dan selalu up to date membuat LF -sebutan beken La Fammes- selalu menjadi idola. Meskipun zaman serba digital, menenteng LF dengan cover model terkenal tidak akan membuatmu terlihat kudet alias kurang update.

"Kamu nggak pengen suatu saat gabung sama LF?" tanya Aldo saat ia selesai menceritakan perjalanan kariernya.

"Belum kepikiran pindah haluan Mas. Ngejar peristiwa bagiku punya kepuasan tersendiri. Apa lagi kalau urusan politik udah memanas. Serasa memicu adrenalin."

"Nggak nyangka masih ada perempuan yang setangguh kamu, Nya. Padahal nggak sedikit perempuan yang pengen kerja di LF loh."

"Kalau semua perempuan sibuk ngurusin trend fashion, trus siapa yang ngurusin negara, Mas? Mbak Nana 'kan juga perlu regenerasi," kataku menyebut nama salah satu presenter TV terkenal yang dimiliki negeri ini.

"Iya juga ya. Berarti ada keinginan pindah ke saluran elektronik nih?"

"Nggak juga sih Mas, TV sekarang udah kalah sama yang dapat monetisasi dolar. Mungkin bikin channel sendiri kali ya. Kamu mau join nggak, Mas? Lumayan loh itu bayarannya dolar."

Aldo tertawa. Membicarakan pekerjaan membuatku mulai nyaman ngobrol dengannya. Aku bahkan tak lagi kikuk beraku-kamu dengan Aldo.

"Bener kata Hanung kamu anaknya asyik diajak ngobrol. Untung kamu nggak nolak waktu Hanung minta kamu ngantar aku ke kampung. Kalau berangkat sendiri aku nggak bisa bayangkan gimana bosannya selama perjalanan."

Senyum lenyap dari wajahku saat menyadari kalimat Aldo. Kami bukan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk liburan. Tapi menuju kota tempat aku dilahirkan.

Napasku mendadak sesak. Sekali pun aku menghindari kata pulang, nyatanya itulah yang kulakukan sekarang.

***

Hujan menyambut kami saat sampai stasiun tujuan. Stasiun kecil yang terletak di kabupaten tetangga dari kota kelahiranku itu tampak tak begitu ramai seperti biasa. Sebagaimana fungsinya menjadi pemberhentian sementara. Hanya ada beberapa penumpang yang turun dari kereta. Selebihnya penumpang yang akan naik kereta lainnya dengan tujuan berbeda-beda.

Damar -suami Almira- sudah menunggu di depan pintu keluar. Awalnya aku menolak ketika Almira menawarkan agar Damar menjemput mereka. Tapi mengingat aku tidak sendirian, akhirnya aku menyetujui ide Almira dengan tambahan aku dan Aldo diizinkan menginap beberapa hari di rumahnya. Aku masih belum siap patah hati berkali-kali jika memutuskan pulang ke rumah.

"Hei Mar, apa kabar lo? Almira sehat 'kan," kataku sambil melakukan tos yang sering kami lakukan sejak SMA. Lelaki yang sebentar lagi menjadi seorang ayah itu hanya cengar-cengir memperhatikan aku dan Aldo yang berjalan bersisihan. Fokusnya tertuju pada Aldo dan siap mencecarku dengan berbagai pertanyaan tak bermutu. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh lo. Dia temen gue. Mau liputan buat bahan tulisan dia."

"Lebih dari teman juga nggak apa-apa loh, Nya."

"Nggak usah bikin isu deh lo."

"Lah, gue 'kan cuma bilang lebih dari teman juga nggak apa-apa, Nya. Salah lagi gue."

"Berisik ah, udah yuk. Capek gue."

"Masa belum move on sih dari yang itu. Udah cerita lama juga," komentar Damar sukses membuatku kesal. Aku melotot ke arahnya dan meninggalkan koperku begitu saja. "Elah, gitu aja udah ngambek tuh anak. Sori ya Mas, temen gue satu itu emang suka uring-uringan. Kenalin, nama gue Damar. Temen Kanya sejak SMA sampai mau punya anak satu."

"Panggil aja gue Aldo. Nggak usah pakai sebutan Mas lah. Belum setua itu gue."

Tubuhku menegang saat mendengar obrolan Aldo dengan Damar. Dengan Damar, lelaki itu ngobrol santai selayaknya orang Jakarta pada umumnya, tapi kenapa denganku harus beraku-kamu kayak udah lama saling kenal atau ada hubungan spesial? Menyebalkan. Aku bahkan harus menyesuaikan gaya bicaraku dengannya.

"Sampai tempat kamu butuh waktu berapa lama, Nya?" Pertanyaan Aldo membuatku terkejut. Kami sedang duduk berdua di bangku belakang. Sedang Damar menata barang bawaan di bagasi.

"Sekitar 45 menit, Mas. Paling lama sejam lah."

"Wah lumayan jauh juga ya."

Aku tak menanggapi komentar Aldo. Sikap lelaki itu ditambah obrolan tak penting Damar membuat mood-ku berantakan. Kalau saja aku boleh memilih, aku ingin keluar dari mobil dan mencegat bus yang lewat. Tapi di hari hujan seperti ini, naik bus bukanlah pilihan tepat.

Selama perjalanan aku memilih diam dan mendengarkan musik melalui airpods. Sedangkan Aldo dan Damar saling bertukar cerita tentang keadaan ibu kota. Sejak lulus kuliah dari Tri Sakti, Damar memang memilih berkarier di kota kelahiran kami. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN yang ada di kotaku. Mengikuti kemauan Almira yang tak diizinkan jauh dari orang tuanya sejak ia lulus kuliah. Sedang aku memilih menetap di Jakarta karena beberapa hal. Salah satunya...

"Jadi siapa yang dimaksud Damar dengan dia yang belum bisa membuatmu move on?" tanya Aldo tiba-tiba. Ia melepas airpods dan berbisik di telingaku.

Aku menatapnya tak suka. Kalau saja tidak di dalam mobil bersama Damar, aku pasti akan berteriak di depan Aldo jika itu bukan urusannya. Dia bahkan belum mengenalku genap satu hari, tapi sudah menanyakan hal yang bersifat pribadi.

"Sori, aku nggak seharusnya bertanya seperti itu. Kamu berhak untuk tidak menjawab pertanyaanku," kata Aldo saat menyadari aku tak nyaman dengan pertanyaannya.

Lelaki itu memilih diam dan memandang bulir-bulir air yang jatuh di kaca mobil. Kami tak saling bicara hingga mobil yang dikemudikan Damar sampai di rumah keluarga Almira. Perempuan dengan wajah secerah mentari pagi itu sudah menunggu di depan pintu.

Luka

Renjana Kanya

Almira tak berhenti memburuku dengan berbagai pertanyaan ketika menjelang tidur. Meski aku sudah memasang wajah tak ingin diganggu, tetap saja perempuan itu tidak kapok dan terus mengajakku berbicara. Padahal sebelum aku memasuki kamar yang dulu sering menjadi tempat pelarianku ketika kecil hingga beranjak remaja, Almira sudah bercerita banyak hal hingga membuatku menguap karena bosan.

"Mir, aku ngantuk. Lanjut besok aja ya. Plis."

"Bentar dong, Nya. Aku masih kangen ngobrol sama kamu tau. Plis deh, ini masih setengah sembilan loh."

Meski berat aku memaksakan membuka mata dan menekan kantuk yang sudah menyerang sejak tadi. Selama di perjalanan aku sama sekali tidak tidur karena terlalu asyik bercerita dengan Aldo. Sialnya, sahabat yang sudah kukenal sejak sekolah dasar itu tak membiarkan aku tidur dengan dalih sekarang malam tahun baru. Bahkan ia memaksaku ikut bergabung dengan Damar dan Aldo yang bermain kembang api di halaman.

"Aku ngantuk banget sumpah. Besok kamu mau cerita apa aja bakal aku ladenin deh. Tapi plis, biarin aku tidur malam ini," rengekku pada Almira yang tak juga jera memaksaku bangun dari tempat tidur.

"Kamu nggak menghindari Aldo 'kan?" tebak Almira tepat sasaran. Aku tak bisa menghindari tatapan penuh kecurigaan perempuan itu. "Hufftt... susah emang kalau udah urusan hati. Ya udah deh, aku nggak bakal maksa, tapi tetap aja kamu nggak boleh tidur dulu."

"Tapi gue ngantuk, Nyet," kataku sarkas. Meladeni Almira dalam kondisi lelah dan mengantuk memang bukan perkara mudah.

"Eh, eh, kalau ngomong tolong dijaga ya. Ada anak kecil yang dengerin nih. Omongannya yang baik-baik aja," kata Almira sambil mengelus-elus perutnya. Melihat perilaku Almira justru membuatku semakin kesal.

"Dih, kalau gue aja lo suruh ngomong baik-baik. Sendirinya malah maksain orang buat melek. Lebih buruk siapa coba?"

Senyum mengembang di bibir perempuan itu. Aku tahu Almira merindukanku seperti aku juga selalu kangen sama dia jika lama tak bertemu. Dulu kami sering menginap saat akhir pekan. Jika tidak aku yang tidur di rumah Almira, maka dia akan tidur di rumahku. Bahkan banyak yang mengira kami saudara karena tak pernah terpisahkan sejak sekolah dasar.

Kami baru berpisah sekolah saat SMA dan membuat lingkar pertemananku dengan Almira semakin luas. Aku di SMA Bina Bangsa, sedangkan Almira memilih SMA Negeri. Dari teman sekolahku semasa SMA lah dia mengenal Damar. Mereka sudah pacaran sejak kelas 2 SMA dan bertahan hingga sebentar lagi mau punya momongan.

Soal reuni SMA yang dibahas Almira, sebenarnya itu acara sekolah dia. Tapi perempuan itu selalu mengajakku datang dengan dalih banyak teman-temannya yang mengenalku. Meski aku tahu ada maksud tersembunyi dari semua ajakan itu. Misalnya ingin mengenalkanku dengan salah seorang temannya yang masih single. Padahal aku belum berpikir untuk menikah secepatnya. Tapi dia selalu sibuk mengurusi jodohku.

"Nya, kamu serius nggak mau turun?"

"Nggak Mir, gue ngantuk."

"Dih anak Jakarta ngomongnya gue elu mulu sekarang. Masih inget bahasa Jawa nggak lo?"

"**** gue ngantuk, Monyet. Bisa tinggalin gue nggak?" umpatku saat Almira masih saja bawel. Sungguh aku hanya ingin memejamkan mata sekarang.

"Dih, kamu beneran mau tidur jam segini?" tanya Almira sambil menggoyang-goyangkan tubuhku agar tak tertidur.

Aku mendengus kesal. Jika saja dia sedang tidak hamil, aku ingin sekali mencekiknya hingga memohon ampun.

"Iya bawel, aku ngantuk berat ini. Udah kamu keluar aja sana. Bantuin tuh Damar. Katanya lagi barbeque, kok malah kamu tinggal."

"Dia lebih ahli daripada aku kalau urusan masak memasak." Almira hanya nyengir, memperlihatkan giginya yang berderet rapi.

"Ya bantu ngapain kek. Kupas buah, bersihin udang, atau ngapain gitu. Daripada gangguin orang mau tidur. Capek banget ini, sumpah deh Mir," keluhku tak membuat Almira patah semangat menggangguku. Kini ia duduk di ujung tempat tidur sambil menarik selimut yang menyembunyikan tubuhku.

Aku bergeming dari posisi tidurku. Lama-lama Almira mengalah dan ikut berbaring di sebelahku.

"Jadi ingat zaman dulu nggak sih. Kita sering gantian nginep dan curhat-curhatan sampai pagi sambil dengerin radio. Eh mau dengerin radio nggak, Nya?"

"Nggak usah," jawabku tak lagi bertenaga.

Bukannya mengabulkan permintaanku, Almira justru bangun dari tempat tidur dan menyalahkan radio tape di meja yang terletak sudut ruangan. Ia mencari saluran gelombang yang tertangkap jelas. Hingga gerakan tangan Almira berhenti pada sebuah saluran yang menyiarkan program musik indie.

Di waktu bersamaan tubuhku menegang saat menyadari pemilik suara yang sedang menyanyikan sebuah lagu secara live. Aku kenal siapa pemilik suara yang menyerupai vokalis Sheila on 7 itu. Tubuhku membeku. Bahkan napasku mendadak sesak. Kenapa masa-masa yang ingin kulupakan justru mengetuk pintu hatiku paling awal?

"Wah, pas banget nih momennya. Sori Nya, aku nggak sengaja." Almira mematikan siaran radio dan kembali berbaring di sebelahku. Matanya menatap sendu langit-langit kamar. Sesekali ia menoleh ke arahku yang pura-pura memejamkan mata. "Kamu beneran belum bisa lupain dia, Nya?"

Pikiranku menerawang. Aku tak ingin menjawab pertanyaan Almira. Sebab, dia yang paling tahu jawaban dari pertanyaannya itu. Sebab, dia saksi pertama segala rona bahagia maupun luka atas peristiwa yang telah lalu. Sebab, ia pula yang menyembunyikan air mata yang tak juga surut ketika aku terpuruk.

Lantas, harus dengan kalimat apa lagi aku menjawabnya jika semua tetap sama. Tidak ada yang berubah meski waktu terus berjalan maju. Sakit itu masih tetap tinggal. Luka itu masih tetap menganga. Kekhawatiran itu akan tetap sama jika aku memutuskan pulang ke kotaku. Sebab tak ada yang benar-benar sembuh meski waktu memisahkan jarak. Sebab sakit yang tertinggal terlalu dalam hingga membuatku susah bergerak.

"Hei, menurutku Aldo lumayan juga. Kayaknya dia tertarik sama kamu deh. Nggak pengen coba jalan sama dia?"

Mulutku masih bisu. Siaran radio yang baru saja diputar Almira masih melekat dalam benakku. Suara vokalis sebuah band indie yang begitu khas menyebabkan kilasan memori masa lalu tumpah tanpa bisa kucegah.

"Seandainya saja aku bisa. Hentikan waktu untuk dirimu. Tak akan kubiarkan luka sakiti hatimu. Maafkanlah diriku yang tak mampu berikan bahagia untukmu..."

Lagu itu begitu lekat dalam memoriku. Meski sekilas dengar melalui siaran radio yang diputar Almira, aku masih hafal lirik hingga melodinya. Sebab lagu itu memang sengaja dibuat seseorang untuk melepas kepergianku. Lagu yang kemudian menjadi mimpi buruk di setiap malam-malam panjangku.

Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Almira yang berbaring di sampingku kini merengkuh tubuhku dalam pelukannya.

"Kamu juga berhak bahagia, Nya," bisiknya justru menumpahkan air mata di pipiku.

"Aku udah mencoba Mir, tapi gimana kalau aku nggak bisa lupain dia? Semua waktu yang kita lewati nggak cuma satu dua hari."

Almira menepuk pundakku. Menyalurkan kehangatan yang selama ini menguatkan aku.

"Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan menemukan kebahagiaanmu, Nya." Almira masih mencoba menghiburku. Sedang aku memilih memejamkan mata dan membiarkan kantuk menguasaiku sepenuhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!