Renjana Kanya
Lelaki di depanku menyimak dengan serius penjelasan Bu Sekar tentang salah satu motif batik yang berkembang di daerahku dan dimiliki hampir seluruh daerah di negeri ini. Sebut saja Lasem, Madura, hingga Cirebon. Karena memang asal motif batik ini pun sama. Dibawa oleh para pedagang Cina pada masa kerajaan di nusantara. Ya, setua itulah umur warisan kemanusiaan untuk benda lisan dan non benda yang sudah diakui UNESCO.
Setelah menyampaikan salah satu motif yang berkembang di daerah Margomulyo, Bu Sekar mengajak kami berpindah tempat. Kali ini beliau menunjukkan koleksi batik tenun gedog yang tersimpan di lemari khusus. Berbagai macam motif dan warna tersimpan rapi. Meski kebanyakan motif lokcan dengan warna biru indigo maupun coklat mahoni ataupun sogan, tetap dapat dijumpai motif-motif lain serupa gringsing, kijing miring, parang maupun sidomukti yang lebih dulu dikenal orang awam.
Beliau juga bercerita jika motif-motif kain itu, terutama lokcan, dianggap sakral bagi penduduk setempat karena pada masanya digunakan untuk menghadiri upacara adat, kematian, ataupun kelahiran. Sementara Aldo sibuk mencatat di buku sakunya jika menjumpai sesuatu yang dianggap penting.
Senyumku mengembang. Entah mengapa, melihatnya begitu serius mengumpulkan data membuat Aldo tampak seksi di mataku. Eh? Tidak, tidak, sebelum aku semakin gila mengagumi ketampanan Aldo, aku memutuskan untuk melihat-lihat koleksi batik yang dipajang. Berbagai warna, motif dan jenis kain membuatku betah berlama-lama.
"Coba lihat yang ini, Mas. Lebih jelas motif lokcannya." Suara Bu Sekar mengalihkan perhatianku. Mereka sudah kembali duduk di kursi yang tersedia di tengah ruangan.
Aldo sedang memperhatikan motif menyerupai burung phoenix di kain batik berwarna biru indigo yang diulurkan oleh Bu Sekar. Lelaki itu meraba permukaan kainnya yang kasar. Lantas menoleh ke arahku yang sejak tadi memperhatikan keseriusannya berbincang dengan sang pemilik butik.
Ia mendekat ke arahku dan berbisik pelan. "Kalau lihat jangan terlalu serius. Nanti bisa jatuh cinta loh."
"Kayaknya memang udah jatuh cinta, Mas. Sama kain yang kamu pegang," kataku membuat senyum Aldo mengembang. Matanya yang sipit ikut terpejam ketika ia tersenyum.
"Mas sama Kanya ini pacaran toh? Atau udah ada rencana mau menikah? Saya ada loh kain yang pas buat sarimbit manten. Mau modern atau pakaian adat, lebih bagus kalau pakai jarit. Manten-nya pasti terlihat lebih gagah, berwibawa, luwes, cantik dan ganteng," komentar Bu Sekar membuat wajahku terasa panas. Bagaimana bisa setiap orang yang bertemu denganku dan Aldo menganggap kami pasangan kekasih? Padahal gestur kami tak sedikit pun menunjukkan jika pacaran.
Tawa Aldo berderai. "Kalau setiap kain punya kekuatan magisnya sendiri, ada yang bisa buat cepet dapat jodoh nggak Bu? Siapa tahu perempuan yang saya suka mau menerima jadi calon suaminya."
"Oh ada, Mas. Ya yang saya sebut tadi. Motifnya Sidomukti, artinya biar pasangan itu menjadi sejahtera. Tercapai segala pengharapannya. Loh Mas Aldo ndak pacaran sama Kanya toh?" tanya Bu Sekar semakin penasaran dengan pengakuan Aldo. Sementara aku hanya bisa tertawa kikuk berada di situasi yang tidak nyaman ini.
"Masih jadi rencananya saya, Bu. Belum jadi pengharapan kami," jawab Aldo ditanggapi anggukan oleh Bu Sekar.
"Oh ya, katanya mau lihat proses pembuatan sampai jadi kain? Mau sekarang atau masih nanti?" tawar Bu Sekar saat terjadi jeda pembicaraan cukup lama di antara kami.
"Sekarang aja, Bu," jawabku cepat. Aku ingin segera pergi dari suasana canggung yang tiba-tiba menyelimuti kami.
***
Aku dan Aldo berjalan bersisihan di sepanjang jalan Desa Margomulyo. Bu Sekar memang memiliki joglo yang khusus difungsikan sebagai tempat menenun maupun membatik oleh warga sekitar, tapi kebetulan hari ini para pengrajinnya libur. Jadi kami memutuskan jalan-jalan di sekitar rumah Bu Sekar yang menjadi sentra pembuatan kain tenun gedog maupun batik.
Tak jauh kami berjalan, dari sebuah rumah sederhana berdinding kayu dan beralas tanah terdengar suara dog...dog...dog... yang cukup keras. Itu mengapa tenun khas daerahku disebut gedog, sebab pada proses pembuatannya menimbulkan bunyi dog.
Aku mengajak Aldo berbelok ke rumah itu. Awalnya lelaki itu bingung. Saat melihat sorang wanita hampir menjelang 3/4 abad sedang menenun menggunakan alat tradisional di samping rumahnya, Aldo memahami tujuanku.
"Sugeng siang, Mbah. Nuwun sewu, kula angsal ningali?" (Selamat siang, Mbah. Permisi, saya boleh lihat.) Aku menyapa ramah wanita bertubuh kurus itu.
Wanita itu menghentikan aktivitasnya. Beliau mengamati kami yang mungkin tampak asing. Meski begitu beliau tetap tersenyum ramah dan mempersilakan kami duduk di bangku kayu panjang.
"Oh, mangga Ngger, pinarak mriki. Niki saking pundi?" (Oh, silakan Nak, duduk sini. Ini dari mana?)
"Jakarta, Mbah. Pengen ngertos proses ndamel tenun gedog. Nuwun sewu, asmanipun panjenengan sinten, Mbah?" (Ingin tahu proses pembuatan tenun gedog. Permisi, namanya siapa Mbah?)
"Lah kok adoh sampek tekan kene, Ngger? Pariyem, Ngger." (Kok jauh sampai di sini, Nak?)
"Nggih, Mbah. Amargi ketepangan kalian Bu Sekar. Kala wau saking mrika," (Iya Mbah. Soalnya kenal sama Bu Sekar. Saya tadi dari sana.) jelasku membuat Mbah Pariyem mengangguk paham.
"Oh... Mbahe tak nyambi karo nenun yo. Wis dienteni wonge. Sesok arep dikirim ning Bali." (Mbah sambil menenun ya. Sudah ditunggu orangnya. Besok mau dikirim ke Bali.)
"Nggih Mbah, mangga. Ngoteniku pesenan toh Mbah?" (Iya Mbah, silakan. Apakah semua pesanan, Mbah?)
"Iya Ngger, ya Bu Sekar kuwi pengepule." (Iya Nak, Bu Sekar pengepulnya.)
"Direginipun pinten Mbah menawi setunggal kain?" (Dihargai berapa per lembar kain?) Kali ini Aldo ikut bertanya setelah meminta izin untuk mengambil foto wanita itu.
"Satus seket ewu, Ngger. Kadang yo sampek rong atus ewu.Tapi nek akeh yo beda rego." (Seratus lima puluh ribu, Nak. Kadang juga sampai dua ratus lima puluh ribu. Tapi kalau banyak ya beda harga.)
"Setunggal kain ngantos pirang dinten, Mbah?" (Satu kain sampai berapa hari pengerjaan, Mbah?)
"Gak mesti, Ngger. Kadang ya limang dina, kadang yo pitung dina. Nek sepi ya sepuluh dina." (Tidak pasti, Nak. Kadang lima hari, kadang ya tujuh hari. Kalau sepi ya sepuluh hari.)
Aldo mengangguk paham. Ia berbisik padaku bagaimana teganya kaum kapitalis memeras keringat para pekerja kasar hanya demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Itu mengapa wajahnya tak lagi antusias saat mendengar cerita Mbah Pariyem. Sementara beliau masih melanjutkan aktivitasnya sambil bercerita pada kami tentang proses penenunan kain. Suara lembut dog...dog...dog... dari alat yang saling beradu menjadi musik pengiring obrolan kami. Tangannya yang sudah keriput dengan cekatan menggerakkan alat-alat tenun.
Sesekali Mbah Pariyem memanggil nama seseorang. Tak lama, seorang perempuan yang lebih muda keluar dari dapur. Dari aroma tubuhnya menguar bumbu rempah. Mungkin dia sedang memasak saat wanita tua itu memanggilnya. Aku tersenyum saat tatapan kami bertemu.
"Ana wong tekan Jakarta, tamune Bu Sekar. Gawekno teh kono," (Ada tamu dari Jakarta, tamunya Bu Sekar. Buatkan teh.) perintah Mbah Pariyem langsung kutolak halus.
"Ndak usah repot, Bu. Kami cuma sebentar kok. Habis ini mau lihat proses pembuatan benang," kataku tak ada maksud melukai perasaan pemilik rumah. Hanya saja aku merasa sungkan diperlakukan sebagai tamu penting.
"Ndak apa-apa, Mbak. Wong cuma air teh saja kok."
"Sungguh ndak usah repot-repot Bu. Nanti kami malah tanek lama-lama di sini," kata Aldo menambahi.
Wanita yang belum genap setengah baya itu memperhatikan kami. "Beneran ini ndak usah?"
"Beneran Bu, sebentar lagi kami juga mau pamit kok."
Setelah keperluan Aldo terpenuhi, kami kembali berkeliling desa. Mencari rumah warga yang sedang membuat benang. Kenyataan miris yang diketahui Aldo bahwa satu ukel - istilah yang dipakai untuk satu gulung benang - dihargai 20 sampai 30 ribu rupiah tergantung susah tidaknya bahan baku, membuat lelaki itu ingin marah. Sedangkan setiap kain berukuran 90×250 centimeter membutuhkan lima sampai enam ukel. Upah satu kain yang terjual hanya cukup untuk membeli benang. Bahkan terkadang masih kurang.
Belum lagi harga kain batik di pengrajin berbeda jauh ketika masuk butik. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Perusahaan hanya peduli ia menulis tentang pesona batik, bukan perjalanan penuh perjuangan di belakang pembuatan batik hingga menjadi produk layak jual.
"Heh, lucu ya," komentar Aldo saat menyetir ketika perjalanan menuju rumah Almira. "Aku mengutuk kapitalis, tapi sendirinya jadi budak. Kayaknya aku perlu investigasi masalah ini deh. Hanung mau terima aku jadi karyawannya nggak ya?"
"Kok malah jadi karyawan Mas Hanung? Kenapa nggak bikin media sendiri aja, Mas. Biar lebih leluasa menentukan arah."
"That's right. Bener juga kamu, Nya. Kayaknya memang udah waktunya aku bikin media sendiri. Kenapa sebelumnya nggak kepikiran ya?"
Aku hanya mengendikkan bahu menjawab pertanyaan Aldo. Selama perjalanan kami membahas bagaimana cantiknya motif lokcan, tanpa luput mendebatkan nasib pekerja-pekerja perempuan mulai memanen kapas, memintal, hingga menggambar baris dan titik. Sesekali Aldo melempar tawaran seandainya ia membuat medianya sendiri, apakah aku mau mendukungnya. Kujawab lihat saja nanti, sebab kita tak pernah tahu peristiwa apa yang sudah menunggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
Queen Mehrunnisa
very interesting story'..nice and educated, valuable..👍👍👍
2023-01-02
0
Ayyu
nambah wawasan ttg macem2 batik nih 😊
2021-08-28
0
Erni Fitriana
ilmuuu ini....👍🏾👍🏾👍🏾👍🏾
2021-08-21
0