Renjana Kanya
"Dari mana?"
Pertanyaan bernada tegas itu menghentikan tawaku saat Aldo menceritakan salah satu hal memalukan bagi Mas Hanung. Dengan niat agar suatu saat bisa kugunakan sebagai senjata jika dia berbuat tidak adil. Kami berhenti di tangga rendah sebelum masuk rumah Almira. Mataku menangkap sosok Putra sudah berdiri di depan teras dengan tatapan... entah. Aku tak ingin menyimpulkannya terlalu cepat.
"Kenapa lo pengen tahu?" balasku sambil berlalu dari hadapan Putra. Lelaki itu menarik pergelangan tanganku hingga membuat kami saling berhadapan. "Auw... sakit, Putra. Mau lo apa lagi sih?"
Melihat aku merintih kesakitan, Aldo mendekat ke arahku dan meminta Putra melepaskan tangannya, tapi lelaki itu justru menampel tangan Aldo.
"Tolong, kamu harusnya nggak berbuat kasar sama perempuan. Lepaskan tangan, Kanya!" pinta Aldo dengan suara tegas. Namun Putra justru berdiri menantang di depan Aldo dengan sorot mata tajam yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Gue perlu bicara sama dia!" kata Putra tak kalah tegas tanpa melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku. Aku meringis menahan panas. Genggaman Putra terlalu kencang hingga membuat kulitku seperti terbakar.
"Setidaknya lo bisa menghargai posisi Kanya! Lo nggak lihat dia kesakitan?" Aldo masih berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Putra, tapi lelaki itu justru memasang badan di depanku. Membuat jarak antara aku dan Aldo. "Oke, gue nggak akan ikut campur urusan kalian, tapi kalau Kanya sampai terluka, gue akan bikin perhitungan sama lo."
"Gue nggak mau ngomong sama lo. Lagian apa lagi sih yang perlu kita obrolkan? Nggak ada, Putra. Lepasin tangan gue!" teriakku kesal sambil berusaha melepaskan cengkraman Putra dari pergelangan tanganku. Usahaku tetap sia-sia. Bahkan Putra semakin meningkatkan pertahanannya ketika Aldo merangsek ke depan.
"Ikut, kita nggak bisa ngobrol di sini!"
"Gue nggak mau!"
"Kanya, kali ini aku minta tolong sama kamu, ikut aku." Tatapan Putra melembut kali ini. Kilat kemarahan yang terpancar di matanya mulai meredup.
Lelaki itu menarik tanganku agar mengikuti ke mana ia pergi. Sedang aku mencoba meminta pertolongan Aldo yang menatap kepergian kami dengan pandangan yang susah dijelaskan. Sejekap aku mengingat lelaki yang memiliki sorot mata yang sama dengannya.
"Arez," gumamku membuat langkah Putra berhenti.
"Apa?"
"Bukan urusan lo!"
"Jangan kira gue nggak dengar apa yang barusan lo sebut, Anya! Kenapa lo mendadak sebut nama Arez?"
"Gue bilang bukan urusan lo!"
Sorot mata Putra kembali tajam. Ia melepas genggamannya dan mendorong tubuhku hingga membentur gerbang rumah Almira. Hanya satu nama itu yang selalu bisa membangunkan insting hewan dalam tubuh Putra. Arez. Teman yang sudah sejak lama berhasil memancing kecemburuan Putra.
"Lo masih berhubungan sama dia?"
"Bukan urusan lo!"
Putra memukul tembok pembatas di belakangku. Tangan lelaki itu mengepal, membuat buku-buku jarinya terlihat jelas. Emosinya tak terkendalikan. Ia mencengkeram kerah kaus yang kupakai dan menekan tubuhku semakin rapat ke gerbang. Sorot matanya mengintimidasi. Meski aku kesusahan mengambil napas, Putra tetap tidak melepaskan cengkramannya. Bahkan ia tak peduli ketika melihat air mataku mengalir.
Lelaki itu baru melepaskan cengkramannya saat Aldo menghampiri kami dan memukul wajah Putra. Mereka terlibat baku hantam hingga Damar dan Pak Pras berhasil melerai keduanya.
***
Jakarta, Februari 2016
"Kamu dari mana aja sama Arez? Nggak lihat ini udah jam berapa?"
"Putra?" tanyaku tak bisa menyembunyikan keterkejutan dari wajahku. Lelaki itu bilang akan berkunjung pekan depan dan saat ini tiba-tiba saja sudah berdiri di teras rumah. Sementara Arez dengan sikap tengilnya menyapa Putra yang sudah pasti tidak diacuhkannya. "Kapan datang?"
"Iya, ini gue. Kenapa, kaget? Nggak nyangka kalau gue bakal ke sini lebih cepat?"
Tanpa menjawab pertanyaan Putra, aku mengambil kunci dari dalam tas dan membuka pintu. Melebarkan jarak agar tidak terjadi hal yang tak kuinginkan antara Putra dan Arez. Aku tahu Putra tidak suka aku jalan dengan Arez saat mendengar ia menyebut gue-lo.
Aku baru saja sampai di kontrakan bersama Arez, saat Putra sudah menunggu di depan rumah. Wajahnya terlihat lelah. Juga ada raut cemburu yang tercetak jelas. Ia bahkan masih menyandang ransel dan kopernya tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Entah sejak kapan ia datang, sebab jika melihat kondisi rumah yang masih sepi, sepertinya Almira dan Damar juga belum pulang. Toh pertanyaanku pun tak dijawab lelaki itu.
"Masuk dulu," pintaku sambil membantu Putra membawakan kopernya.
Aku ingin menjauhkan Putra sesegera mungkin dengan Arez. Ia bahkan masih saja menebar hawa permusuhan dengan Arez meskipun teman serumahku itu sudah masuk ke kamarnya.
"Dari mana sih kalian jam 11 baru pulang?"
Putra memburuku dengan pertanyaan saat kami berada di kamar tamu. Rumah ini lumayan besar dengan beberapa kamar tidur. Jadi tak susah jika ada temanku maupun Damar, Almira atau Arez yang ingin menginap.
Setelah menyimpan koper Putra di sudut ruangan, kami berdiri berhadapan. Aku menatap matanya yang bergerak gelisah. Jika dia tidak sedang dalam keadaan marah, aku pasti akan memeluk dan mencium bibirnya yang sensual itu. Saling memangkas jarak dan berbagi rindu yang hampir satu bulan kami tabung.
"Arez jemput aku di Sanggar Garasi karena mobilku mogok. 'Kan tahu sendiri, kalau pulang teater tuh malem banget. Jadi aku minta Arez buat jemput. Tadi di jalan sempat hujan, jadi kami berteduh dulu. Jas hujan Arez cuma satu," kata sambil menggenggam tangan Putra yang gemetar. Aku tahu ia mulai panik karena aku tak mau menuruti permintaannya menjauhi Arez. "Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan, Putra."
"Tapi aku nggak percaya sama dia!" Nada suara Putra masih meninggi.
"Ya kalau lo nggak percaya sama gue, setidaknya lo bisa percaya sama pacar lo." Tiba-tiba Arez sudah berdiri di pintu kamar. Tubuhnya yang tinggi atletis bersandar di bingkai pintu dan mengulurkan cucian kering kepadaku. Senyum yang katanya bisa membuat siapa pun jatuh cinta, tercetak di wajahnya. "Cucian lo udah kering nih. Sekalian gue ambilin CD lo."
"Apa? Lo ngambil CD, Kanya?" tanya Putra dengan nada suara makin meninggi.
"Ya, ada yang salah?" tanya Arez tanpa merasa bersalah meski aku sudah memberi tanda untuk tidak menjawab pertanyaan Putra.
Sudah biasa bagi kami saling membantu mengambil cucian. Termasuk pakaian dalam. Awalnya aku juga risih, tapi lama-lama terbiasa juga. Lagian apa yang salah dengan pakaian dalam. Toh bentuknya juga seperti itu-itu saja. Berbahan katun dan bukan dari emas. Namun bagi Putra hal itu masih jadi bagian sensitif yang sembarangan orang tidak boleh tahu.
Bukannya menjawab pertanyaan Arez, Putra justru memukul wajah lelaki itu. Meski sudah kulerai pun, Putra masih gelap mata dan memukuli Arez. Ia baru berhenti saat aku nekat menghadang pukulan Putra dengan punggungku. Pukulannya yang keras membuatku terhuyung dan jatuh tersungkur ke lantai hingga mengantarkanku ke ruang gawat darurat dan mendapat tiga jahitan di pelipis kananku. Sementara Putra harus mulai rajin mengikuti konseling untuk meredam emosinya.
Satu minggu sejak kejadian itu, Arez memutuskan untuk pindah kos dan mulai jarang menghubungi aku. Putra benar-benar menghapus seluruh koneksiku terhadap Arez. Bahkan ia memblokir seluruh akun media sosial milik lelaki itu. Padahal Putra tak pernah merasa cemburu berlebihan pada teman laki-lakiku yang lain. Bahkan terhadap lawan mainku ketika pertunjukan teater yang kadang mengharuskan aku melakukan adegan skin ship. Hanya kepada Arez sikap Putra tak bisa dikendalikan.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Kini, setelah empat tahun berlalu dan tak lagi ada hubungan apa pun di antara kami, nama Arez kembali membuat emosi lelaki itu tak terkendali hingga adu pukul dengan Aldo. Ia memutuskan pulang dengan wajah berlumuran darah tanpa mengizinkan aku membersihkan lukanya terlebih dahulu. Sedangkan Aldo tampak mencoba meredam emosinya. Teman Mas Hanung itu meninggalkan kami dan masuk ke kamar tamu.
"Lihat sendiri 'kan akibat ulah kamu? Tadi pagi Almira, sekarang Aldo. Mau siapa lagi yang akan jadi korban keegoisan kamu, Nya?" kata Damar membuatku merasa tertampar. "Semua masalah ini nggak akan pernah selesai kalau kamu selalu lari."
Damar meninggalkanku yang masih syok di halaman depan. Aku baru beranjak masuk saat Almira menghampiriku dan meminta agar aku membersihkan luka Aldo.
"Kamu harus berani, Nya. Aku tahu ini rumit, tapi kalau kamu nggak mencoba berani selamanya cuma kamu yang akan tenggelam sendirian."
Aku tersenyum saat menerima kantong es batu dan kotak P3K dari Almira. Ia mengantarku ke depan pintu kamar tamu tempat Aldo dan meyakinkan jika aku bisa melewati peristiwa ini.
Ragu-ragu aku mengetuk pintu bercat putih itu. Tak ada jawaban. Berulang-ulang aku mencoba mengetuk hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wajah lebam Aldo muncul dari balik pintu. Almira mendorongku agar mendekat sebelum ia masuk ke ruang keluarga.
"Ehm, aku boleh masuk? Sepertinya Anda butuh perawat," kataku mencoba melucu sambil menunjukkan kotak P3K sekalipun tak yakin hasilnya akan sukses. Meski begitu Aldo tetap tersenyum dan mempersilakan aku masuk.
"Sori ya Mas Aldo, kamu jadi terluka karena nolongin aku," kataku pada akhirnya setelah kebisuan menyelimuti kami. Lelaki itu hanya meringis menahan perih. Matanya semakin sipit saat ia mengaduh kesakitan.
"Nggak apa-apa kok. Udah sewajarnya kayak gitu."
Aldo hanya tersenyum dan mengamatiku saat sedang membersihkan lukanya. Jarak kami yang terlalu dekat membuat detak jantungku tak beraturan. Apa lagi napas lelaki itu terasa di wajahku. Membuatku semakin salah tingkah.
"Ehm, Mas Aldo bisa tolong jangan ngeliatin aku serius gitu?"
"Kenapa? Masa aku ngelewatin momen dirawat sama perempuan secantik kamu?" goda Aldo membuat wajahku memanas.
Gerakan tanganku berhenti ketika Aldo mengucapkan kalimat itu. Detik selanjutnya, ia menempelkan bibirnya ke bibirku dan mengecupnya lembut.
Tubuhku masih menegang ketika Aldo melepas ciumannya dan memandangku lekat. Tatapan mata itu lagi. Mengapa sangat mirip dengan Arez?
Situasi dan kalimat lelaki itu mengingatkanku pada malam setelah peristiwa Putra memukul wajah Arez.
Aku memutuskan untuk masuk ke kamar Arez setelah Putra tertidur usai dari rumah sakit. Lelaki itu masih sibuk menyelesaikan maket di kamarnya. Sesekali ia mendesis dan mengusap sudut bibirnya yang lebam.
"Sori ya, kalau sikap Putra kekanak-kanakan."
Arez tersenyum. "Nggak apa-apa kok. Udah sewajarnya kayak gitu."
"Mana ada, harusnya dia tuh bisa atur emosinya. Dia kan tahu gue sama lo cuma te..."
Kalimatku terputus, sebab pada detik selanjutnya Arez mencium bibirku. "Tapi aku nggak pernah menganggapmu teman. Selama ini aku nggak ganggu kamu sama Putra karena aku sabar menunggu sejauh mana hubungan kalian bisa bertahan."
Mata hitam Arez menatapku tajam. Seolah menyeretku agar masuk dalam hatinya dan melihat sendiri untuk siapa ruang itu disisakan setelah mendapat pengkhianatan dari mantan pacarnya.
Aku masih terpaku. Menatap mata Aldo yang semakin mirip Arez.
"Siapa kamu sebenarnya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
Erni Fitriana
🤣🤣🤣🤣lha udah dicium aja nengggg????
2021-08-21
0
Nacita
wihhhh...s naya d sosor sana sini ini aduh gimana tohhh 😩
2021-08-05
0
Fifa
keren thor 👍semngat selali ya
2021-07-12
0