Renjana Kanya
Wajah Almira tampak murung ketika aku dan Aldo baru saja sampai rumah. Kami memutuskan untuk jalan-jalan ke wisata Goa Akbar yang konon dulu menjadi salah satu tempat musyawarah para wali di tanah Jawa. Lelaki itu bahkan sempat mewawancarai pengelola wisata untuk bahan tulisan di blog traveling miliknya karena tertarik dengan legenda yang melekat pada Goa Akbar. Belum lagi tentang tradisi melempar koin ke dalam kolam yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan. Alhasil kami baru memutuskan pulang setelah data yang diperlukan Aldo cukup lengkap meski tubuhku serasa mau ambruk akibat cuaca panas Kota Tuban.
"Kamu kenapa, Mir? Lagi nggak enak badan?" tanyaku pada Almira yang hanya duduk termenung depan TV. Aku turut duduk menyelonjorkan kaki di karpet ruang keluarga.
"Aku pengen makan martabak, tapi kayaknya Damar pulang malem deh."
"Mana ada jual martabak jam segini, Mir?" tanyaku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Pukul 02.00 siang. Apa ibu hamil memang keinginannya kadang tidak masuk akal seperti ini, batinku dalam hati.
"Ada kok, di D'caffe. Lagian kamu kan jarang pulang. Mana tahu kalau kota ini udah berkembang."
"Tapi kami baru nyampe loh. Nggak bisa agak sorean?" tanyaku sambil melirik Aldo. Lelaki itu duduk di seberangku. Kelihatan dari wajahnya jika ia merasa lelah.
"Aku pengennya sekarang, Nya."
"Trus kenapa nggak delivery order aja? Ada ojek online 'kan sekarang."
"Lama kalau DO."
"Ya udah kasih alamatnya biar aku yang belikan," tawar Aldo disambut binar cerah mata Almira. Perempuan sebayaku itu langsung menuju kamar entah untuk mengambil apa. Ia balik tak lama kemudian.
"Alamatnya di Jalan Letda Sucipto, Nya. Nggak susah kok carinya."
"Lah, yang mau belikan kan Mas Aldo. Kenapa bilangnya ke gue?" tanyaku mendadak kesal. Baru saja mataku terpejam untuk mengusir lelah. Setelah menyusuri goa yang pengap dan lembab, aku ingin beristirahat sejenak.
"Ya mana Mas Aldo tahu, Anya. Kalau dia nyasar gimana?"
Aku melirik tajam ke arah Almira. Tidak tahukah dia kalau aku butuh istirahat. Merepotkan saja.
"Aku bisa berangkat sendiri kok, Mir. Ada google maps 'kan. Tenang aja, kerja sampinganku jadi driver ojol kok," kata Aldo bermaksud mencairkan suasana, namun justru membuatku semakin kesal pada Almira. Perempuan itu justru tertawa mendengar pengakuan Aldo yang lebih terdengar satir di telingaku.
"Gue ikut deh, Mas. Susah kalau nurutin orang ngidam. Awas aja kalau nggak lo makan ntar!" ancamku membuat tawa Almira semakin lebar.
"Eh sori nih sebelumnya Mas, mobilnya boleh ganti ini? Soalnya mau dipakai Pak Pras buat jemput Mama Damar di Juanda," kata Almira sambil menyerahkan kunci motor pada Aldo. Aku meliriknya curiga. Melihat gelagat Almira aku yakin dia sedang merencanakan sesuatu.
"Bukannya Tante Sari sudah punya sopir pribadi ya?"
"Mobilnya lagi di bengkel, Nya. Makanya dia minta Pak Pras buat jemput. Udah gih berangkat. Mengko aku selak ngiler."
"Bodo, biar aja ngiler sekalian," kataku dibalas jitakan oleh Almira.
"Seneng lo kalau anak gue ileran!"
"Biar kayak ibunya 'kan, ngiler kalau lagi tidur," kataku membuat Almira histeris. Sebelum dia sempat membalas perlakuanku, aku menarik tangan Aldo untuk segera pergi. Lelaki itu hanya tertawa melihat kelakuanku dengan Almira.
***
Tak sulit menemukan kafe yang dimaksud Almira. Desainnya yang modern dengan ornamen berbagai jenis dan ukuran boneka di setiap sudut ruangan maupun tempat duduk, menjadikannya terasa nyaman. Bahkan disediakan sound system lengkap dengan monitor TV untuk berkaraoke meski di ruang terbuka. Pilihan menunya juga beragam. Mulai snack hingga makanan berat yang cukup bervariatif. Jika tempat tujuan yang dimaksud Almira tak senyaman ini, aku pasti akan membuat perhitungan saat pulang nanti.
"Gimana kalau sekalian makan siang, Mas? Aku lapar," tawarku setelah memesankan titipan Almira dan membaca sederet menu.
"Sama, tapi nggak apa-apa Almira nunggu lama?"
"Biarin. Salah sendiri nyusahin orang."
Aldo hanya tertawa menanggapi kekesalanku. Lalu ikut memesan makanan demi membungkam cacing-cacing yang sudah demo sejak tadi.
"Kanya, kapan pulang Nak? Kok nggak main ke rumah sih? Lama nggak ketemu. Sampai kangen Tante sama kamu," sapaan seorang wanita paruh baya sambil membawa nampan berisi pesanan kami membuatku terkejut. Bukan perkara setelah rapi bermotif bunga-bunga kecil yang dipakai wanita itu. Atau harum semerbak yang menandakan beliau wanita berkelas, tapi siapa sosok yang menyapaku. "Siapa nih yang kamu ajak? Pacar ya? Kenalin Tante dong."
"Tante Sari? Kok Tante ada di sini?" tanyaku setelah mampu menguasai keterkejutanku.
Wanita itu sudah meletakkan semua pesanan di atas meja dan ikut duduk di sebelahku. Matanya yang menyorot lembut memperhatikan aku dan Aldo bergantian. Sedangkan lelaki yang duduk di depanku salah tingkah diperhatikan oleh ibu Damar sekaligus mertua Almira. Memang sialan tuh anak. Aku sudah curiga sejak dia memaksa minta dibelikan martabak telur.
"Loh Almira nggak cerita sama kamu. Tante sekarang lagi ngelola kafe ini. Butik udah diurus Almira jadi Tante tenang kalau mau buka usaha baru. Siapa sih ini? Pacar kamu yo? Ganteng loh, kaya artis Korea. Sapa kuwi jenenge? Gong Yoo?"
Aku tertawa kikuk menanggapi komentar Tante Sari. Sekali pun aku menjawab tidak, beliau tak akan mudah percaya. Tipikal orang tua yang menganggap semua hubungan laki-laki dan perempuan tak akan bisa berteman. Padahal itu bisa kulakukan dengan Damar, anaknya. Tetap saja wanita itu tak akan mudah percaya jika laki-laki dan perempuan yang duduk bersama di kafe hanyalah sebatas teman atau kenalan.
"Dia Aldo Tante. Teman atasan di kantor," jawabku pada akhirnya. Terserah Tante Sari akan berasumsi bagaimana, aku hanya menyampaikan sebuah fakta. "Beliau ibunya Damar, Mas, yang kata Almira tadi mau dijemput Pak Pras di Juanda," imbuhku kesal saat mengingat rencana jahat perempuan itu.
"Halo Tante, saya teman Kanya," kata Aldo menimpali obrolanku sambil mengulurkan tangan pada Tante Sari.
"Ganteng yo. Ya sudah ndak usah lama-lama pacarannya. Langsung nikah wae, biar cepet nyusul Almira sama Damar," kata Tante Sari sibuk dengan asumsinya sendiri. "Memang Almira tadi bilang gimana sama kalian, kok jemput Tante di bandara segala?"
"Biasa Tan, dia lagi ngidam ngerjain orang kayaknya," kataku masih sebal. Wanita itu tertawa menanggapi komentarku.
"Anggap aja dia kasih kalian waktu buat berduaan." Jawaban Tante Sari justru membuatku syok. Hufft, tak kusangka menantu dan mertua sama kompaknya kalau urusan membuat orang kikuk. Beliau bahkan dengan semangat menemani kami dan bercerita tentang pernikahan yang belum pernah kupikirkan. Wanita itu baru meninggalkan kami saat seorang pegawai memanggilnya. "Tante tinggal ya, Nya. Ada tamu. Nikmati aja makanannya. Biar nanti Tante bilang sama yang jaga kasir. Gratis buat kalian."
"Loh Tan..."
"Udah, ndak apa-apa. Wong kamu ya jarang-jarang pulangnya. Tante tinggal ya."
"Makasih ya, Tan."
Suasana mendadak hening sepeninggalan Tante Sari. Kami terlarut dalam pikiran masing-masing. Hingga Aldo memecahkan kesunyian dengan sebuah pertanyaan yang cukup mengagetkan.
"Jadi kapan kita nikah?"
"Hah?"
Lelaki itu tertawa melihat reaksiku. "Nggak usah buru-buru. Kita masih punya banyak waktu kok. Kamu juga pasti kaget ya aku tanya gitu?"
Sebagai jawaban aku hanya tertawa kikuk. Sebab skenario yang dibuat Almira mengingatkanku pada peristiwa sembilan tahun lalu meski pada situasi yang berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
eza
9 tahun dan belum move on??? bodoh ini
2023-02-20
0
💕febhy ajah💕
kok aku curiga sama atasannya kanya
sepertinya aldo dah kepentok cinta ma kanya waktu di lif jd mnta tolong ma atasannya kanya untuk mendekatkan diri ke kanya.
2022-12-28
0
Suhartik Hartik
ceritanya luar biasa bagus .... seperti ikut membayangkan waktu yang lalu
2022-08-02
0