Renjana Kanya
Pagi ini aku memilih mengasingkan diri setelah sarapan bersama Almira, Damar dan Aldo. Mereka masih asyik bercerita ketika aku menyelinap ke teras samping rumah Almira. Aku ingin sejenak melepas sesak. Sebab tak mudah merasa nyaman, jika sejak awal memang tak ingin tinggal.
Hufftt...
Aku menghembuskan napas panjang untuk ke sekian kali. Bayang-bayang masa silam mengganggu pikiran sejak semalam. Belum lagi pesan yang menumpuk di ruang obrolanku dengan orang yang pernah kupanggil mama yang menanyakan kapan aku pulang.
Heh, pulang.
Bagiku kini tak ada yang bisa mewakilkan definisi kata pulang. Sebab pulang bukan lagi perkara melabuhkan penat ketika lelah usai perjalanan. Tak ada lagi istilah pulang yang bisa membuatku tetap tinggal dengan nyaman.
"Nak, awal tahun ini kamu pulang ya. Mama kangen sama kamu."
Pesan terakhir yang dikirim mama sejak tiga hari lalu, hanya kubaca melalui jendela notifikasi tanpa berniat membalasnya. Dia yang memaksaku pergi dari rumah dua tahun lalu sejak setahun kepergian ayah. Dia yang mendorongku pergi atas keputusan yang tak pernah sanggup kuterima dengan lapang dada. Lantas mengapa sekarang memintaku pulang jika hanya menambah luka yang tak pernah bisa kering. Bahkan luka itu sengaja disiram air jeruk nipis setiap kali aku pulang. Bagaimana aku bisa sanggup menerima sayatan baru di atas luka yang lama.
"Hei, pagi-pagi udah ngelamun. Gimana rencana kita hari ini?"
Pertanyaan Aldo membuyarkan lamunanku saat sedang menikmati gemericik air kolam ikan. Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaan lelaki itu. Tapi aku sudah menyanggupi permintaan Mas Hanung untuk mengantar temannya meliput batik tenun khas daerahku. Meski hari ini aku hanya ingin tidur seharian tanpa memedulikan urusan apa pun. Obrolan dengan Almira tadi malam membuat perasaanku semakin kacau setelah terpaksa pulang ke kota ini.
"Aku dulu sempat wawancara dengan beliau. Bagaimana kalau aku bikin janji dulu, Mas? Takutnya beliau sedang keluar kota karena ini momennya pas tahun baru," dalihku menghindari ajakan Aldo.
Aku tak ingin perasaanku semakin berantakan jika memaksakan pergi dengan lelaki itu. Meski begitu aku tetap mengirim pesan kepada seorang kenalan pemilik sekaligus pengrajin tenun batik tulis khas daerahku. Dalam hati aku berharap, wanita itu sedang keluar kota dan memintaku untuk bertemu besok atau lusa.
"Boleh. Oh ya, Nya. Aku beneran nggak apa-apa nih tinggal di rumah temen kamu?"
"Santai aja Mas, rumah segede ini muat kok kalau buat nampung satu orang aja. Lagian di sini lebih nyaman dibanding rumahku."
Lagi-lagi aku berdalih di depan Aldo. Padahal sebenarnya aku hanya tidak ingin lelaki itu tahu kondisi yang terjadi pada rumah yang tak bisa lagi kuanggap sebagai rumah.
"Kenapa, takut aku dikira pacar kamu ya?"
"Nggak gitu juga, Mas. Rumahku terlalu kecil, khawatir Mas Aldo nggak nyaman," bohongku.
Memang rumah peninggalan ayah tak sebesar rumah orang tua Almira, tapi jika untuk menampung satu orang tamu saja bukanlah hal yang sulit. Masih ada dua kamar kosong di lantai dasar yang tidak terpakai. Hanya saja seperti yang kubilang, aku tak ingin Aldo mengetahui apa yang terjadi di tempat yang tak bisa kuanggap sebagai rumah.
"Aku sih nggak masalah tinggal di mana aja. Sekali pun nggak di rumah kamu, aku juga bisa tinggal di hotel."
"Almira sama Damar orangnya santai, Mas. Mumpung orang tua Almira lagi ngurus tambangnya di Kalimantan. Jadi sekalian ngeramein rumah ini biar nggak sepi."
Aldo tersenyum menanggapi pernyataanku. Ia menggeser duduknya ke tepi kolam sambil mengeluarkan kotak rokok dari saku kemeja.
"Sori, aku boleh ngerokok?" izin Aldo sebelum menyulut ujung rokoknya dengan korek api.
Aku hanya mengangguk mengiyakan permohonan Aldo. Kuperhatikan lelaki yang duduk di bebatuan tepi kolam ikan itu. Hari ini ia mengenakan celana jeans dipadu kaus polo warna putih. Melekat serasi di tubuhnya yang kurus dan jangkung. Rambutnya yang hitam lurus melebihi kerah kaus dengan potongan sedikit berponi dibiarkan berantakan. Membuatnya terkesan segar.
Jika diperhatikan ia seperti pemeran utama laki-laki film Korea yang menjadi kontroversi di negara ginseng tahun lalu. Kim Ji-Yeong Born in 1982. Sebenarnya aku sudah membaca novel karya Cho Nam-Joo itu, tapi demi kepentingan halaman review film yang biasanya ditangani Deni - dan kebetulan dia tumbang, jadi akulah yang menggantikannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku melihat film Korea. Jika aku tak salah ingat, Gong Yoo atau siapalah itu namanya.
Harusnya dengan penampilannya ditunjang sikap sopan dan perhatian, tak susah membuat perempuan mana pun jatuh cinta pada Aldo. Bahkan kuakui, aku terkesan dengan ketampanan dan sikapnya saat pertama kali bertemu. Namun, obrolan Almira tadi malam kembali mengusik pikiranku.
Apa kamu nggak mau mencoba dengan Aldo? Sepertinya dia tertarik sama kamu.
Tanpa sadar aku tersenyum kecut menertawakan bagaimana mudahnya Almira menilai ketertarikan Aldo kepadaku. Atau mungkin juga sebaliknya. Tanya itu mengetuk tempurung otakku. Apa aku bisa jatuh cinta pada Aldo sementara jauh dalam lubuk hatiku masih ada nama seseorang yang terukir permanen?
Tak kutemukan jawabannya. Nyatanya aku tak bisa semudah itu jatuh cinta. Bukan hanya pada Aldo, melainkan juga pada orang lain yang datang dan pergi silih berganti. Aku sudah mencoba dan aku belum bisa mengizinkan siapa pun mengetuk relung hatiku. Sebab perkara jatuh cinta bukanlah seperti memilih menu makanan yang bisa ditentukan dengan mudah. Bukankah semua ini juga masih terlalu awal? Aku bahkan baru mengenalnya satu hari.
"Hei, ngelamun mulu, Neng. Jangan keseringan, nanti ada yang gantiin jiwa kamu loh. Kan susah, aku belum sempat liputan eh kamunya udah kesurupan."
Lagi-lagi suara Aldo menginterupsi lamunanku. Setidaknya kali ini dia berhasil membuatku tertawa. Tak lagi terpaksa.
"Penunggu rumah Almira udah temenan sama aku sejak kecil, Mas. Jadi udah hafal sama baunya. Mereka nggak mungkin mau ngerasukin aku. Wong aku ndak pernah mandi kalo di sini. Jadi ya nggak jauh bedalah baunya sama mereka," kataku membuat mata sipit Aldo semakin menyipit ketika tertawa.
"Pantes aku bau nggak enak dari tadi. Ternyata kamu belum mandi toh."
"Eh? Nggak gitu juga kali Mas. Sekarang mah beda. Tiap pagi udah rajin mandi."
"Tetap cantik kok," balas Aldo sambil tersenyum. Matanya yang sipit menatapku serius. Sedang aku hanya tertawa menanggapi gombalannya.
"Sori Mas, aku nggak punya uang receh."
"Lah, buat apa uang receh?"
"Tuh buat bayar gombalannya yang udah mainstream," kataku membuat tawa Aldo semakin lebar.
"Bayar pakai senyum juga aku nggak nolak, Neng. Daripada ngeliat wajah sepet kamu pagi-pagi gini."
Giliran aku kini yang tertawa. Mungkin lemparan jokes Aldo sedikit norak, tapi itu berhasil membuat otot-otot bibir dan pipiku mengembang.
"Eh Mas, dapat balasan nih. Katanya beliau masih pameran di Surabaya. Tulat baru bisa ketemu."
"Tulat? Berarti tiga hari lagi dong. Ya udah kalau gitu, kita jalan-jalan aja yuk. Mumpung liburan 'kan. Tunjukin tempat yang baguslah. Kudengar kota ini juga dapat julukan seribu goa. Nggak pengen nunjukin aku?"
"Ya udah deh, yuk. Kasihan juga nanti kalau sampai Mas Aldo ditumbuhi jamur," ucapku setelah berpikir apa salahnya menyenangkan tamu yang datang berkunjung. Lelaki itu tersenyum lebar. Ia mematikan rokoknya yang masih separuh di atas asbak.
"Alhamdulillah, nggak jadi makan tongseng jamur malam ini." Aku tertawa lepas saat menyadari jika Aldo memahami jokes yang kulemparkan kepadanya. "Gih, siap-siap. Tadi Damar udah kasih kunci kalau misal kita butuh pergi ke mana-mana."
"Lah, mereka emang pada ke mana?" tanyaku mendadak linglung menanggapi kalimat Aldo.
"Damar nggak dapat jatah cuti tahun baru. Almira udah berangkat ke butiknya. Kamu tadi nggak ada respon waktu mereka pamit."
"Eh?"
"Kamu nggak sadar ya udah berapa lama ngelamun di tepi kolam gini?"
Aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Aldo. Lelaki itu bukannya menjawab justru berjalan ke arahku dan mengacak-acak rambutku.
"Besok lagi kalau ngelamun pakai timer ya, biar tahu berapa lama waktu yang kamu perlukan buat bengong," kata Aldo masih tak menyembunyikan senyum di wajahnya. Ia berjalan ke arah kamar tamu tanpa peduli jika aku benar-benar bingung dengan perlakuannya barusan. "Udah jam 10 sekarang, Nya. Kamu ngelamun tadi hampir dua jam."
Teriakan Aldo membuatku tercengang. Apa mungkin selama itu? Rasanya baru lima menit aku memikirkan tentang pulang. Heh, bahkan memikirkannya pun membutuhkan banyak waktu yang terbuang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 214 Episodes
Comments
💕febhy ajah💕
apa mngkin bpak sambung kanya bapaknya orng yg disukai kanya atau pacar kanya 🤔🤔🤔jdi kanya memilih mundur krna ingin mamanya bahagia. aduhhhh penasaran deh gue tp dari part sebelumnya kanya terluka bnget dgn keadaan pada saat itu
2022-12-28
0
𝑀𝒶𝓎𝑀𝑜𝓊
pacitan...🤗🤗🤗🤗🤗
2021-10-07
0
Luscha Wati
ya ceritanya bagus koq semangat ya thor💪💪💪
2021-09-03
0