Still In Love
Note: Novel ini dalam proses editing supaya lebih enak dibaca.
Sky In the Afternoon
********
Bandung, 2013
Bulatan matahari yang menguning telur dan semburat jingga di sore hari seperti menghipnotis siapapun yang memandangnya.
Dengan melihat proses matahari kembali ke peraduannya, bisa menciptakan rasa syukur atas ciptaan Tuhan yang maha segalanya. Bersyukur untuk masih tetap diberi kehidupan sampai sekarang.
Jingga, gadis cantik dengan gaun ulang tahun berwarna peach sebatas lututnya berdiri dengan tangan bersedekap pada beton pembatas yang berada di atap sebuah hotel sambil memperhatikan pemandangan yang ada di bawahnya, taman outdoor luas yang didesain sedemikian rupa dengan dekorasi ulang tahun yang khas.
Terkadang, matanya memicing untuk menghindari cahaya tipis matahahari sore yang tak sengaja mengenai wajah cantik bak perinya.
Jingga memejamkan matanya, meraup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang lapang. Jingga, dia membiarkan angin sore menyapa wajah dan memainkan rambut sebahunya yang sedikit bergelombang.
Jingga lantas termenung, sorot matanya memperhatikan orang-orang yang satu per satu mulai berdatangan memenuhi taman hotel di bawah sana.
Taman hotel berkonsep outdoor yang akan menjadi tempat acara pesta ulang tahunnya itu mulai ramai dengan kegaduhan anak remaja seusianya. Mereka heboh dan sibuk berfoto ria mencari angle yang pas.
Jingga mendengus malas melihat apa yang dilakukan teman-teman sekelasnya itu. Tapi yang membuatnya lebih malas adalah acara ulang tahunnya yang harus dirayakan.
Hari ini adalah ulang tahun Jingga yang ke 16. Karena orang tuanya, Jingga harus terjebak dalam pesta ulang tahun yang menurutnya sangat kekanak-kanakan ini. Terlebih, pesta ulang tahun ini dirayakan bersama dengan sahabat kecilnya yang kebetulan mereka lahir di tanggal dan tahun yang sama, dan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak mereka masih berada di Taman Kanak-Kanak sepuluh tahun yang lalu.
Orang tuanya benar-benar kekanak-kanakkan, bukan? Mereka masih memperlakukan Jingga dan sahabat kecilnya seperti bocah kecil berumur lima tahun.
“Happy birthday, semoga panjang tangan, kepala, pundak, lutut, ka. . . ., aww.” Jingga menghentikan ocehan seorang anak remaja laki-laki seusianya dengan cara menendang tulang kering anak laki-laki itu.
“Sakit, Ji.” Protes anak laki-laki itu meringis sambil mengusap-usap kakinya, Langit.
Sementara Jingga hanya menatap jengkel Langit yang selalu petakilan itu. Dia lantas memperhatikan penampilan Langit dari atas sampai bawah, cowok itu cukup tampan dengan balutan tuxedo berwarna senada dengan gaun ulang tahun yang dia kenakan.
Jingga mendelik keki. Sekali lagi, bahkan orang tuanya meminta mereka untuk memakai baju yang sama setiap tahun. Semua orang akan mengira jika mereka adalah anak kembar.
“Bisa ngucapin selamat yang bener, nggak?” Seru Jingga sebal.
“Enggak.” Balas Langit seraya menjulurkan lidahnya meledek, lalu membenarkan posisinya untuk berdiri tepat di samping Jingga.
Jingga mendesis sebal, lalu memukul lengan bahu Langit keras-keras hingga membuat cowok itu mengaduh kesakitan.
“Bisa nggak, sih, jangan galak-galak?” Langit kembali protes.
“Enggak.” Sahut Jingga sambil menjulurkan lidahnya, persis yang Langit lakukan tadi. Langit mendelik keki, matanya melotot sebal.
“Cewek kalau galak-galak, nanti nggak laku.” Ujar Langit meledek.
“Sebodo.” Jingga mengedikkan bahunya tak peduli, lalu mengalihkan atensinya pada langit sore yang mulai menjingga. Pemandangan yang selalau Jingga sukai dan nikmati setiap hari.
Beberapa saat hening mengambil alih, Langit memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan kekanak-kanakkan mereka. Matanya lantas mengikuti arah pandang Jingga. Pesona langit sore dengan sapuan warna jingga yang membentang bak lukisan, sangat cantik.
“Hadiah.” Ucap Langit seraya menyerahkan tiga lembar voucher makan gratis restoran ayam cepat saji yang dia keluarkan dari saku tuxedonya kepada Jingga.
Gadis itu menoleh, lalu memutar bola matanya malas. Otaknya berputar, menghitung voucher makan gratis yang selalu Langit berikan di setiap ulang tahunnya sejak sepuluh tahun yang lalu, dan itu berarti Langit sudah memberikannya 30 voucher sampai saat ini, dan selama itu pula Jingga tidak pernah menggunakannya, dia hanyaa menyimpan voucher tersebut di kamarnya seperti seorang kolektor voucher ayam. Entah bagaimana cowok itu berpikir memberinya hadiah tersebut, Jingga heran sendiri.
“Bisa nggak, sih, ngasih hadiah yang agak mahalan dikit?” Protes Jingga. Tapi meski begitu, dia tetap menerima voucher tersebut.
“Oke, tahun depan jumlahnya masing-masing 200 ribu.” Sahut Langit santai, mengingat voucher makan yang diberikannya saat ini berjumlah masing-masing 100 ribu.
“Kamu mau jadiin aku babi gendut karena makan ayam mulu?” Gerutu Jingga sewot.
“Emang kenapa kalau mirip babi? Si Piglet aja lucu, tuh.” Sahut Langit meledek, membuat Jingga kembali melayangkan pukulan keras di lengan bahunya.
“Ihh, Langiiiit.” Teriak Jingga kesal. Langit hanya tertawa geli, puas membuat gadis itu kesal.
Suasana kembali hening setelah itu. Jingga mengerucutkan bibirnya lucu dengan sisa-sisa kekesalannya atas keisengan Langit yang selalu mengerjainya hampir setiap hari. Gadis itu kembali memandang langit sore, pun dengan Langit.
“Ji. . . .” Panggil Langit setelah beberapa saat terdiam.
“Hmm.” Sahut Jingga malas, tanpa berniat
menoleh untuk melihat wajah tampan Langit.
“Kabur, yuk! Males banget udah gede ultah masih dirayain.” Ajak Langit yang memang sudah menyusun rencana pelarian diri dari kemarin, masa bodoh dengan kemarahan orang tuanya nanti.
Jingga memutar kepalanya, menatap Langit yang juga sedang menatapnya sambil menaik-turunkan alisnya yang tebal, merasa cukup tertarik dengan ajakan cowok itu.
“Ke mana?” Tanya Jingga.
“Yang jelas keluar dari hotel ini.” Jawab Langit sekenanya. “Udah, deh. Kamu nggak usah banyak nanya, cukup ikut aku. "Ayok.” Lanjutnya kemudian sambil menarik pergelangan tangan Jingga.
“Bentaran dulu, deh. Aku mau lihat sunset.” Ucap Jingga, membuat Langit menghembuskan napasnya malas dan melepaskan genggaman tangannya.
“Ya ampun, Jii. 30 menit lagi acaranya dimulai, nggak bisa kabur kita kalau gitu.” Protes Langit. “Lagian kamu aneh banget kok suka banget nontonin langit sore tiap hari?” Gerutunya kemudian sambil melemparkan pandangannya ke arah taman hoteh. Heran saja dengan kelakuan sahabatnya itu yang sangat menyukai langit sore. Dia bahkan harus menemaninya setiap hari untuk melihat langit sore sampai menampakkan jingganya.
“Ya suka aja.” Sahut Jingga singkat.
“Bukan karena kamu dilahirin pas matahari tenggelam, kan?” Tanya Langit lagi.
Jingga tersenyum tipis dan menggeleng pelan, kemudian berujar. “Karena langit jingga datangnya cuma sebentar. Dengan melihat langit berwarna jingga, kita bisa menyaksikan perubahan siang dan malam secara langsung.” Mata bening Jingga tampak berbinar mengatakan itu.
“Ya tapi kita nggak punya waktu buat itu, Ji. Kamu bisa lihat sunset di jalan. Udah, ahh, ayo.” Ujar Langit tak peduli, lalu kembali menarik pergelangan tangan Jingga untuk ikut dengannya.
Jingga mendengus, namun tidak protes karena ucapan Langit memang ada benarnya.
********
Kedua anak remaja itu dengan was-was mulai meninggalkan area hotel, menuju parkiran bawah tanah di mana motor Langit tersimpan di sana.
Namun saat Langit menemukan motornya, mereka tiba-tiba dikejutkan dengan suara seorang wanita yang memanggil Jingga.
“Mbak.” Panggil wanita itu.
Langit dan Jingga jelas terkejut, takut-takut wanita itu adalah seseorang yang dipekerjakan orang tua mereka untuk
mengawasi. Keduanya lantas menoleh ke arah sumber suara. Mereka memandang orang itu dengan tatapan bingung, ternyata seorang pelayan hotel yang memanggil Jingga.
“I-iya, Mbak?” Tanya Jingga sedikit gelagapan, sala satu alisnya terangkat.
“Mbak Jingga, benar?” Pelayan hotel balik bertanya seolah ingin memastikan, Jingga hanya mengangguk.
“Tadi ada temannya yang menitipkan ini.” Pelayan hotel itu menyerahkan kotak kecil ukuran 8x8 cm berwarna merah muda dengan pita sebagai hiasan. Jingga merengut bingung seraya menerima kotak hadiah yang diberikan pelayan hotel itu.
“Teman yang mana, Mbak?” Tanya Jingga bingung sambil celingukkan ke sekitar untuk mencari teman yang dimaksud.
“Tadi orangnya buru-buru pergi, Mbak.” Jawab pelayan hotel, mengingat dia hanya tidak sengaja bertemu dengan orang yang memintanya memberikan hadiah tersebut pada Jingga.
“Kalau begitu, saya permisi Mbak, Mas.” Pamit si pelayan hotel kemudian seraya berlalu pergi tanpa ingin
memberikan penjelasan lebih lanjut.
Jingga dan Langit menatap kepergian pelayan hotel itu dengan wajah bingung. Sesaat setelahnya, Jingga lantas membuka kotak hadiah tersebut dan terlihat sebuah foto polaroid di dalamnya.
Sebuah foto langit sore di atas atap hotel berbintang yang baru saja Jingga dan Langit tinggalkan.
“Siapa yang iseng ngasih kamu foto ginian, Ji? Ck, nggak modal banget.” Komentar Langit berdecak mencemooh, lalu merampas kotak hadiah untuk melihat siapa tahu ada nama pengirimnya di sana, tapi nihil.
Jingga berdecak geli mendengar komentar Langit yang seolah sedang mengatai dirinya sendiri. Bukankah cowok itu juga memberinya hadiah murah? Huuh.
Jingga lantas kembali memandangi foto tersebut, lalu membaliknya. Dia sedikit terkejut karena di balik foto polaroid tersebut terdapat gambar sketsa dirinya yang sedang berdiri di atap gedung hotel. Persis seperti yang Jingga lakukan beberapa saat lalu saat berada di sana.
“Bi?” Gumam Jingga dengan kening berkerut bingung saat membaca tulisan 'Bi yang tertera di sudut kanan bawah foto tersebut.
“Bianca, Bima?” Langit yang ikut membaca tulisan tersebut menebak-nebak, mengingat semua teman mereka yang memiliki awalan Bi.
“Tapi, kan, mereka datang ke sini, Ji. Ngapain coba ngasih hadiah sok misterius kayak gini?” Langit kembali berkomentar, mengingat dia sempat melihat teman-teman yang disebutkannya itu datang ke acara pesta ulang tahun mereka.
“Paling cuma orang iseng. Udah, ahh, nggak usah dipikirin. Ayo, ntar keburu ketahan orang-orang lagi kita mau kabur.” Sahut Jingga tak ingin memikirkannya lagi. Langit hanya mengangguk setuju.
Langit lantas menyodorkan helm sebelum Jingga naik ke belakang boncengan motornya.
Setelah Jingga melingkarkan tangannya di pinggang Langit, cowok itu lalu melajukan motornya, menembus langit sore yang mulai digantikan dengan keremangan malam, rupanya matahari sudah benar-benar kembali
ke tempat peraduannya.
********
To be continued….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Mia
1
2023-02-20
0
Flying-pan
Aseeek Bandung ❤️❤️❤️
Suka banget sama pilihan diksinya ✨✨
2021-06-11
0
❁︎⃞⃟ʂ𝕬𝖋⃟⃟⃟⃟🌺 ᴀᷟmdani🎯™
semangat thor 😘😘
2021-05-27
0