NovelToon NovelToon

Still In Love

Ep. 1. Sky In The Afternoon

Note: Novel ini dalam proses editing supaya lebih enak dibaca.

Sky In the Afternoon

********

Bandung, 2013

Bulatan matahari yang menguning telur dan semburat jingga di sore hari seperti menghipnotis siapapun yang memandangnya.

Dengan melihat proses matahari kembali ke peraduannya, bisa menciptakan rasa syukur atas ciptaan Tuhan yang maha segalanya. Bersyukur untuk masih tetap diberi kehidupan sampai sekarang.

Jingga, gadis cantik dengan gaun ulang tahun berwarna peach sebatas lututnya berdiri dengan tangan bersedekap pada beton pembatas yang berada di atap sebuah hotel sambil memperhatikan pemandangan yang ada di bawahnya, taman outdoor luas yang didesain sedemikian rupa dengan dekorasi ulang tahun yang khas.

Terkadang, matanya memicing untuk menghindari cahaya tipis matahahari sore yang tak sengaja mengenai wajah cantik bak perinya.

Jingga memejamkan matanya, meraup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang lapang. Jingga, dia membiarkan angin sore menyapa wajah dan memainkan rambut sebahunya yang sedikit bergelombang.

Jingga lantas termenung, sorot matanya memperhatikan orang-orang yang satu per satu mulai berdatangan memenuhi taman hotel di bawah sana.

Taman hotel berkonsep outdoor yang akan menjadi tempat acara pesta ulang tahunnya itu mulai ramai dengan kegaduhan anak remaja seusianya. Mereka heboh dan sibuk berfoto ria mencari angle yang pas.

Jingga mendengus malas melihat apa yang dilakukan teman-teman sekelasnya itu. Tapi yang membuatnya lebih malas adalah acara ulang tahunnya yang harus dirayakan.

Hari ini adalah ulang tahun Jingga yang ke 16. Karena orang tuanya, Jingga harus terjebak dalam pesta ulang tahun yang menurutnya sangat kekanak-kanakan ini. Terlebih, pesta ulang tahun ini dirayakan bersama dengan sahabat kecilnya yang kebetulan mereka lahir di tanggal dan tahun yang sama, dan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak mereka masih berada di Taman Kanak-Kanak sepuluh tahun yang lalu.

Orang tuanya benar-benar kekanak-kanakkan, bukan? Mereka masih memperlakukan Jingga dan sahabat kecilnya seperti bocah kecil berumur lima tahun.

“Happy birthday, semoga panjang tangan, kepala, pundak, lutut, ka. . . ., aww.” Jingga menghentikan ocehan seorang anak remaja laki-laki seusianya dengan cara menendang tulang kering anak laki-laki itu.

“Sakit, Ji.” Protes anak laki-laki itu meringis sambil mengusap-usap kakinya, Langit.

Sementara Jingga hanya menatap jengkel Langit yang selalu petakilan itu. Dia lantas memperhatikan penampilan Langit dari atas sampai bawah, cowok itu cukup tampan dengan balutan tuxedo berwarna senada dengan gaun ulang tahun yang dia kenakan.

Jingga mendelik keki. Sekali lagi, bahkan orang tuanya meminta mereka untuk memakai baju yang sama setiap tahun. Semua orang akan mengira jika mereka adalah anak kembar.

“Bisa ngucapin selamat yang bener, nggak?” Seru Jingga sebal.

“Enggak.” Balas Langit seraya menjulurkan lidahnya meledek, lalu membenarkan posisinya untuk berdiri tepat di samping Jingga.

Jingga mendesis sebal, lalu memukul lengan bahu Langit keras-keras hingga membuat cowok itu mengaduh kesakitan.

“Bisa nggak, sih, jangan galak-galak?” Langit kembali protes.

“Enggak.” Sahut Jingga sambil menjulurkan lidahnya, persis yang Langit lakukan tadi. Langit mendelik keki, matanya melotot sebal.

“Cewek kalau galak-galak, nanti nggak laku.” Ujar Langit meledek.

“Sebodo.” Jingga mengedikkan bahunya tak peduli, lalu mengalihkan atensinya pada langit sore yang mulai menjingga. Pemandangan yang selalau Jingga sukai dan nikmati setiap hari.

Beberapa saat hening mengambil alih, Langit memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan kekanak-kanakkan mereka. Matanya lantas mengikuti arah pandang Jingga. Pesona langit sore dengan sapuan warna  jingga yang membentang bak lukisan, sangat cantik.

“Hadiah.” Ucap Langit seraya menyerahkan tiga lembar voucher makan gratis restoran ayam cepat saji yang dia keluarkan dari saku tuxedonya kepada Jingga.

Gadis itu menoleh, lalu memutar bola matanya malas. Otaknya berputar, menghitung voucher makan gratis yang selalu Langit berikan di setiap ulang tahunnya sejak sepuluh tahun yang lalu, dan itu berarti Langit sudah memberikannya 30 voucher sampai saat ini, dan selama itu pula Jingga tidak pernah menggunakannya, dia hanyaa menyimpan voucher tersebut di kamarnya seperti seorang kolektor voucher ayam. Entah bagaimana cowok itu berpikir memberinya hadiah tersebut, Jingga heran sendiri.

“Bisa nggak, sih, ngasih hadiah yang agak mahalan dikit?” Protes Jingga. Tapi meski begitu, dia tetap menerima voucher tersebut.

“Oke, tahun depan jumlahnya masing-masing 200 ribu.” Sahut Langit santai, mengingat voucher makan yang diberikannya saat ini berjumlah masing-masing 100 ribu.

“Kamu mau jadiin aku babi gendut karena makan ayam mulu?” Gerutu Jingga sewot.

“Emang kenapa kalau mirip babi? Si Piglet aja lucu, tuh.” Sahut Langit meledek, membuat Jingga kembali melayangkan pukulan keras di lengan bahunya.

“Ihh, Langiiiit.” Teriak Jingga kesal. Langit hanya tertawa geli, puas membuat gadis itu kesal.

Suasana kembali hening setelah itu. Jingga mengerucutkan bibirnya lucu dengan sisa-sisa kekesalannya atas keisengan Langit yang selalu mengerjainya hampir setiap hari. Gadis itu kembali memandang langit sore, pun dengan Langit.

“Ji. . . .” Panggil Langit setelah beberapa saat terdiam.

“Hmm.” Sahut Jingga malas, tanpa berniat

menoleh untuk melihat wajah tampan Langit.

“Kabur, yuk! Males banget udah gede ultah masih dirayain.” Ajak Langit yang memang sudah menyusun rencana pelarian diri dari kemarin, masa bodoh dengan kemarahan orang tuanya nanti.

Jingga memutar  kepalanya, menatap Langit yang juga sedang menatapnya sambil menaik-turunkan alisnya yang tebal, merasa cukup tertarik dengan ajakan cowok itu.

“Ke mana?” Tanya Jingga.

“Yang jelas keluar dari hotel ini.” Jawab Langit sekenanya. “Udah, deh. Kamu nggak usah banyak nanya, cukup ikut aku. "Ayok.” Lanjutnya kemudian sambil menarik pergelangan tangan Jingga.

“Bentaran dulu, deh. Aku mau lihat sunset.” Ucap Jingga, membuat Langit menghembuskan napasnya malas dan melepaskan genggaman tangannya.

“Ya ampun, Jii. 30 menit lagi acaranya dimulai, nggak bisa kabur kita kalau gitu.” Protes Langit. “Lagian kamu aneh banget kok suka banget nontonin langit sore tiap hari?” Gerutunya kemudian sambil melemparkan pandangannya ke arah taman hoteh. Heran saja dengan kelakuan sahabatnya itu yang sangat menyukai langit sore. Dia bahkan harus menemaninya setiap hari untuk melihat langit sore sampai menampakkan jingganya.

“Ya suka aja.” Sahut Jingga singkat.

“Bukan karena kamu dilahirin pas matahari tenggelam, kan?” Tanya Langit lagi.

Jingga tersenyum tipis dan menggeleng pelan, kemudian berujar. “Karena langit jingga datangnya cuma sebentar. Dengan melihat langit berwarna jingga, kita bisa menyaksikan perubahan siang dan malam secara langsung.” Mata bening Jingga tampak berbinar mengatakan itu.

“Ya tapi kita nggak punya waktu buat itu, Ji. Kamu bisa lihat sunset di jalan. Udah, ahh, ayo.” Ujar Langit tak peduli, lalu kembali menarik pergelangan tangan Jingga untuk ikut dengannya.

Jingga mendengus, namun tidak protes karena ucapan Langit memang ada benarnya.

********

Kedua anak remaja itu dengan was-was mulai meninggalkan area hotel, menuju parkiran bawah tanah di mana motor Langit tersimpan di sana.

Namun saat Langit menemukan motornya, mereka tiba-tiba dikejutkan dengan suara seorang wanita yang memanggil Jingga.

“Mbak.” Panggil wanita itu.

Langit dan Jingga jelas terkejut, takut-takut wanita itu adalah seseorang yang dipekerjakan orang tua mereka untuk

mengawasi. Keduanya lantas menoleh ke arah sumber suara. Mereka memandang orang itu dengan tatapan bingung, ternyata seorang pelayan hotel yang memanggil Jingga.

“I-iya, Mbak?” Tanya Jingga sedikit gelagapan, sala satu alisnya terangkat.

“Mbak Jingga, benar?” Pelayan hotel balik bertanya seolah ingin memastikan, Jingga hanya mengangguk.

“Tadi ada temannya yang menitipkan ini.” Pelayan hotel itu menyerahkan kotak kecil ukuran 8x8 cm berwarna merah muda dengan pita sebagai hiasan. Jingga merengut bingung seraya menerima kotak hadiah yang diberikan pelayan hotel itu.

“Teman yang mana, Mbak?” Tanya Jingga bingung sambil celingukkan ke sekitar untuk mencari teman yang dimaksud.

“Tadi orangnya buru-buru pergi, Mbak.” Jawab pelayan hotel, mengingat dia hanya tidak sengaja bertemu dengan orang yang memintanya memberikan hadiah tersebut pada Jingga.

“Kalau begitu, saya permisi Mbak, Mas.” Pamit si pelayan hotel kemudian seraya berlalu pergi tanpa ingin

memberikan penjelasan lebih lanjut.

Jingga dan Langit menatap kepergian pelayan hotel itu dengan wajah bingung. Sesaat setelahnya, Jingga lantas membuka kotak hadiah tersebut dan terlihat sebuah foto polaroid di dalamnya.

Sebuah foto langit sore di atas atap hotel berbintang yang baru saja Jingga dan Langit tinggalkan.

“Siapa yang iseng ngasih kamu foto ginian, Ji? Ck, nggak modal banget.” Komentar Langit berdecak mencemooh, lalu merampas kotak hadiah untuk melihat siapa tahu ada nama pengirimnya di sana, tapi nihil.

Jingga berdecak geli mendengar komentar  Langit yang seolah sedang mengatai dirinya sendiri. Bukankah cowok itu juga memberinya hadiah murah? Huuh.

Jingga lantas kembali memandangi foto tersebut, lalu membaliknya. Dia sedikit terkejut karena di balik foto polaroid tersebut terdapat gambar sketsa dirinya yang sedang berdiri di atap gedung hotel. Persis seperti yang Jingga lakukan beberapa saat lalu saat berada di sana.

“Bi?” Gumam Jingga dengan kening berkerut bingung saat membaca tulisan 'Bi yang tertera di sudut kanan bawah foto tersebut.

“Bianca, Bima?” Langit yang ikut membaca tulisan tersebut menebak-nebak, mengingat semua teman mereka yang memiliki awalan Bi.

“Tapi, kan, mereka datang ke sini, Ji.  Ngapain coba ngasih hadiah sok misterius kayak gini?” Langit kembali berkomentar, mengingat dia sempat melihat teman-teman yang disebutkannya itu datang ke acara pesta ulang tahun mereka.

“Paling cuma orang iseng. Udah, ahh,  nggak usah dipikirin. Ayo, ntar keburu ketahan orang-orang lagi kita mau kabur.” Sahut Jingga tak ingin memikirkannya lagi. Langit hanya mengangguk setuju.

Langit lantas menyodorkan helm sebelum Jingga naik ke belakang boncengan motornya.

Setelah Jingga melingkarkan tangannya di pinggang Langit, cowok itu lalu melajukan motornya, menembus langit sore yang mulai digantikan dengan keremangan malam, rupanya matahari sudah benar-benar kembali

ke tempat peraduannya.

********

To be continued….

Ep. 2. Beautiful Eyes

Note : Tanda BAB yang sudah di Revisi berjudul bahasa Inggris mengurut dari EP. 1

********

Jingga setengah berlari memasuki gerbang sekolahnya. Bagaimana tidak? Hari ini Jingga bangun kesiangan setelah tadi malam dia mendapat hukuman dari orang tuanya karena kabur dari pesta ulang tahunnya sendiri.

Hampir tiga jam Jingga berdiri angkat satu kaki dengan buku tebal di kepalanya sebagai hukuman, hal itulah yang membuatnya terlambat bangun. Gadis itu bahkan tidak sempat menyisir rambutnya pagi ini hingga penampilannya tampak sedikit awut-awutan.

Koridor kelas sudah tampak sepi, hampir seluruh siswa di sekolah bertaraf internasional itu sudah masuk kelas. Jingga dengan langkah besar tergesa-gesa menuju kelasnya. Dalam pikirannya saat ini adalah datang ke kelas sebelum guru yang akan memulai mata pelajaran pada jam pelajaran pertama datang, atau dia tidak akan diizinkan mengikuti kegiatan belajar mengajar kalau sampai terlambat.

Saking terburu-burunya, Jingga sampai tidak sengaja menabrak seorang siswa laki-laki yang datang dari arah berlawanan dengannya. Tabrakan yang terjadi di antara keduanya mengakibatkan setumpuk buku yang dibawa siswa laki-laki itu jatuh berserakkan.

“Ahh, maaf.” Jingga spontan meminta maaf atas kecerobohannya dan langsung berjongkok untuk membantu membereskan buku yang berserakkan tersebut.

Jingga merasa sangat bersalah karena dia benar-benar tidak memperhatikan sekitar dan hanya memikirkan agar bisa segera sampai ke kelasnya. Sementara siswa laki-laki yang Jingga tabrak hanya menampakkan ekspresi sedikit terkejut, dia tampak lebih tenang menanggapinya. Lantas tanpa mengatakan apapun, dia ikut berjongkok untuk ikut memunguti dan membereskan buku yang dibawanya.

Setelah selesai, sekali lagi Jingga meminta maaf, menunjukkan rasa penyesalannya dengan wajah yang teramat bersalah.

Siswa laki-laki itu hanya tersenyum simpul melihat Jingga yang sungguh-sungguh meminta maaf padanya. Melihat ketulusan Jingga, siswa laki-laki itu kemudian mengangguk pelan sebagai tanda jika dia menerima permintaan maaf Jingga.

“Makasih.” Ucap Jingga tidak enak hati, lalu segera beranjak setelah siswa laki-laki itu mempersilahkan Jingga untuk pergi.

Siswa laki-laki itu terdiam menatap kepergian Jingga yang keberadaannya mulai menjauh. Dia tersenyum simpul dan kembali melangkah untuk melanjutkan perjalanannya ke ruang guru.

Tapi baru saja satu langkah berjalan, siswa laki-laki itu malah tak sengaja menendang benda biru berbulu. Benda itu terlempar sedikit jauh dari tempat dia berdiri.

Siswa laki-laki itu lantas berjalan dan setengah berjongkok untuk mengambil benda berbulu itu yang ternyata adalah gantungan tas dengan karakter babi lucu berwarna biru tua. Dia kemudian teringat dengan tas gadis yang menabraknya tadi.

“It’s so cute.” Gumam siswa laki-laki itu tersenyum geli seraya memperhatikan gantunngan tas tersebut. “And her.” Lanjutnya, lalu berbalik menatap jauh ke arah Jingga yang sudah menghilang.

“Bi. . . .” Suara baritone tegas mengalihkan perhatian dan menuntutnya untuk menoleh ke arah sumber suara. Dia kemudian memutuskan untuk menyimpan gantungan tas tersebut di balik saku kemeja seragam dan menghampiri orang yang memanggilnya.

********

Jingga akhirnya sampai di kelasnya, dia bernapas lega saat mendapati suasana riuh di kelas, yang artinya guru jam pelajaran pertama belum masuk.

Suasana kelas Jingga terlalu ramai bahkan bisa mengalahkan riuhnya kelas anak PAUD. Ada saja hal kekanak-kanakkan yang dilakukan teman-teman Jingga di sana. Mulai dari yang sibuk berdandan, bergosip, kejar-kejaran, bernyanyi tidak jelas, bahkan bermain pesawat kertas. Benar-benar kekanak-kanakkan untuk ukuran anak kelas sebelas SMA.

Di sana Jingga langsung diserbu pertanyaan yang sama oleh teman-teman sekelasnya terkait dia dan Langit yang minggat dari pesta ulang tahun. Namun, Jingga tak menanggapinya dan malah berjalan santai ke arah kursi meja Laura, seoranng siswi yang selalu membawa peralatan make up untuk meminjam sisir.

“Kabur ke mana tadi malem, lo, Ji? Gak asyik banget, mau party-party lo sama si kunyuk malah ilang.” Tanya Laura seraya menyerahkan sisir berwarna merah mudanya pada Jingga.

“Ini nggak ada kutunya, kan?” Jingga malah menyelisik benda pipih bergigi itu, sedikit ragu untuk menggunakan di rambut cantiknya.

Laura memutar bola matanya malas. “Minjem aja banyak komentar. Sini kalau nggak mau pake.” Sewotnya sambil berusaha merebut sisirnya dari tangan Jingga, tapi tidak berhasil karena Jingga malah menjauhkan sisir tersebut dari jangkauan Laura, lalu membawanya ke kursi mejanya sendiri untuk menyisir di sana.

“Awas lecet, Ji. Gue jauh belinya dari Swiss.” Laura memperingatkan. Sementara Jingga hanya mengedik tak peduli dan mulai menyisir rambutnya.

“PR tuh ya dikerjain di rumah, bukan di sekolah.” Tegur Jingga pada Langit yang sejak kedatangannya terlihat begitu fokus pada buku catatannya. Cowok itu bahkan tidak menegur Jingga seperti biasanya.

“Gimana mau ngerjain di rumah, semaleman habis kena omel Pak Presiden gegara kabur.” Sahut Langit tanpa mengalihkan perhatian dari PR yang tengah berusaha diselesaikannya.

Jingga hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O mendengar itu sambil manggut-manggut. Sama seperti dirinya, Langit juga mendapat hukuman akibat ulah mereka tadi malam.

“Dan tahu, nggak?” Langit menyentak buku paket Fisikanya yang tebal itu ke meja kursi sehingga membuat Jingga sedikit berjengit kaget. “Papa ngambil black card aku.” Lanjutnya dengan raut wajah penuh keluhan.

Sementara Jingga kembali memasang ekspresi biasa, menganggap itu bukanlah hal yang tidak terlalu berat. “Yang penting bukan nyawa kamu aja yang diambil.” Sahutnya kemudian.

Langit yang mendengar itu otomatis mendengus kesal, karena tanpa kartu tersebut dia tidak bisa membeli apapun sepuasnya.

“Dan tanpa black card, aku susah hidup, Ji. That's my soul.” Sanggah Langit menggebu-gebu.

“And I don’t care.” Balas Jingga santai, membuat Langit kembali mendengus sebal.

“Ehem. . . .” Suara deheman keras keras seorang lelaki paruh baya dengan kumis tebal dan rambut klimis mengurungkan niat Langit yang hendak membalas ucapan Jingga. Tidak hanya itu, suara dehemannya juga seketika membungkam riuhnya kelas pagi itu.

********

“It’s time to have break.”

Mendengar bel tanda istirahat, semua siswa berhamburan dengan semangat keluar dari kelas. Waktu yang selalu mereka tunggu setelah beberapa jam melaksanakan *** yang cukup melelahkan otak.

“Kantin.” Ajak Langit seraya mengedikkan dagunya ke arah luar kelas.

“Enggak, ahh. Aku lagi bosan sama makanan kantin.” Sahut Jingga seraya merapihan buku dan memasukannya ke dalam tas.

“Terus, kita nggak makan?” Tanya Langit.

“Ya kita tetap makan. Tapi di taman belakang, aku udah bawa bekal buat kita.” Jawab Jingga sambil mengeluarkan dua buah kotak makan siang beserta susu kotak full cream. Mata bening Langit langsung berbinar senang dan langsung mengambil bagiannya.

“Sayang, kantin, yuk.” Seorang siswa laki-laki dengan gaya rambut The Dandy ala idola Korea tiba-tiba menghampiri Jingga seraya mengedipkan matanya menggoda. Ken, cowok ganteng, si Ketua OSIS yang sangat populer, namun petakilan. Heran saja warga sekolah memilihnya menjadi Ketua OSIS.

Ken sudah menyukai Jingga sejak awal masuk sekolah, hanya saja Jingga tidak pernah meladeninya, karena menurut Jingga Ken hanya becanda, terlebih sikap Ken yang terlalu centil dan ramah pada hampir semua siswa perempuan di sekolah ini. Ken juga selalu memanggil mereka dengan sebutan sayang.

Tapi meski demikian, Ken pantang menyerah dan selalu mengganggu Jingga setiap hari untuk mendapat perhatian gadis itu. Ken juga terkadang mengintil pada Jingga, meski selalu habis dimaki-maki Langit sahabatnya.

“Tuh mata kenapa? Cacingan?” Ken mendelik sebal mendengar ledekkan Langit.

“Yee, nih setan ganggu aja. Ayo, Ji.” Protes Ken, lalu tangannya terulur untuk meraih lengan Jingga. Namun, Langit yang selalu menjadi tameng untuk gadis itu dengan segera menepisnya.

“Haram, jangan sentuh.” Ucap Langit menyentak tangan Ken.

“Si setan, lo kira gue babi?” Protes Ken lagi.

“Emang nggak nyadar? Ngaca aja sana..” Sahut Langit dengan wajah penuh meledek, kemudian meraih pergelangan tangan Jingga untuk mengajaknya keluar dari kelas.

“Next time, Ken.” Ucap Jingga ikut memasang wajah meledek. Ken yang melihat Jingga dan Langit berlalu dari hadapannya hanya bisa mendengus kesal.

********

Jingga dan Langit duduk lesehan di bawah pohon Tabebuya di taman belakang sekolah yang tepat berhadapan dengan danau buatan sehingga membuat suasana di sana semakin sejuk dan asri.

Lantas tanpa banyak bicara karena waktu istirahat hanya sebentar, keduanya mulai membuka kotak makan siang yang Jingga bekal dari rumah.

“Enjoy your meal.” Ucap Jingga riang dan mulai bersiap untuk menyendok makanannya. Tapi tiba-tiba Langit menahan tangannya hingga membuat Jingga memasang wajah protes.

“Berdoa dulu.” Langit mengingatkan.

Jingga yang mendengar itu langsung nyengir kuda dan meletakkan sendoknya kembali ke dalam kotak makan siang. Mereka kemudian mengatupkan kedua tangan dan menutup mata masing-masing.

“Makanan ini punya aku, nggak boleh ada yang minta apalagi nyomot. Dan aku nggak akan minta atau nyomot makanan orang lain” Jingga mulai merapalkan doanya yang lebih terdengar seperti sebuah mantra.

“Kalau ada yang minta atau nyomot, dia nggak akan bisa berhenti makan sampai mirip induk babi.” Tambah Langit.

“Kami orang terpelajar.” Jingga dan Langit mengakhiri doanya bersamaan seraya mengusap wajah masing-masing. Keduanya lantas membuka mata dan mulai memakan makanannya.

Dan tak jauh dari tempat mereka, sepasang mata indah dengan bulu mata lentiknya memperhatikan sambil tersenyum, merasa gemas akan tingkah laku Jingga dan Langit.

“Bi, ngapain lo ngumpet di balik pohon? Ngintip?” Pemilik mata indah itu terkejut mendapati seseorang datang dan menepuk pundaknya.

********

To be continued. . . .

Ep. 3. Who Dis?

********

Jingga menuruni tangga dengan langkah bersemangat menuju lantai bawah, kakinya lantas melangkah ke ruang makan di mana kedua orang tuanya sudah menunggu untuk sarapan bersama.

“Pagi-pagi begini udah rapi, mau kemana, nih Putri Mahkota?” Sambut Ayah begitu Jingga sampai di sana dan langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan.

Pagi itu Jingga tampil sporty dengan pakaian tenis lapangan. Dia mengenakan kaus jersey warna putih dengan aksen biru yang dipadukan dengan rok pendek biru muda, sehingga memperlihatkan kakinya yang jenjang.

Selain wajahnya yang cantik, Jingga diberkahi dengan tinggi badan dan bentuk tubuh ideal, sehingga apapun yang dikenakannya akan selalu terlihat cocok untuknya. Bahkan teman-teman satu kelasnya mengatakan jika Jingga adalah ciptaan Tuhan yang terlalu sempurna karena dia juga dilengkapi dengan otak yang cerdas serta kemampuan psikomotor yang membuatnya hampir menguasai berbagai bidang olahraga.

“Klub tenis, masa ngemall ke sekolah pake baju kayak gini. Lagian ini, kan, Minggu.” Jawab Jingga seraya membalik piring di hadapannya untuk diisi makanan.

“Lho, kan kamu udah janji mau nemenin Bunda belanja bulanan.” Bunda tampak tak setuju, membuat Jingga yang sedang mencentong nasi goreng menghentikan gerakkan tangannya.

“Bukannya Bunda bilang minggu depan?” Tanya Jingga dengan kening berkerut.

“Ya Bunda majuin waktunya. Persediaan makanan kita udah mau habis soalnya.” Jawab Bunda santai.

“Lho, kok gitu?” Protes Jingga.

“Ya suka-suka Bunda, doong.” Bunda kembali menanggapinya dengan santai, membuat Jingga mengerucutkan bibirnya lucu.

“Ihh, enggak, ahh. Sama kak Bintang aja. Aku, kan, udah ada rencana hari ini, Bun.” Ucap Jingga penuh penolakan seraya melirik sang kakak yang baru saja tiba.

“No, aku juga udah punya rencana hari ini.” Sahut anak laki-laki dengan wajah bantal, namun tidak mengurangi ketampanannya. Dia lantas bergabung di meja makan, Bintang.

Bintang Bimasena William, kakak laki-laki pertama Jingga yang terpaut usia enam tahun dengannya. Wajah Bintang sangat mirip dengan Jingga, sehingga jika dia mengenakan pakaian perempuan, orang lain akan mengira itu adalah Jingga, pun sebaliknya.

“Ya ampuuun, Bunda punya anak tiga, tapi nggak ada satu pun yang berguna.” Bunda mendesah kesal.

“Ya udah, sih. Hitung-hitung hiasan rumah aja, Bun.” Celetuk Jingga asal, membuat Ayah yang mendengarnya geleng-geleng kepala. Ada-ada saja jawaban anak gadisnya itu.

“Oke. Dua anak di sini cuma bisa jadi hiasan rumah, dan satunya lagi di luar sana. . . .” Bunda mengambil napas sejenak untuk kemudian melanjutkan kalimatnya. “Bunda yakin dia udah nggak tahu jalan pulang.” Lanjutnya, mengingat Sagara William putra keduanya yang sedang menempuh pendidikan di London, Inggris, yang sangat menyukai travelling menjelajahi berbagai Negara. Hobinya itu membuat Sagara jarang sekali pulang walaupun sedang libur semester.

“Kayaknya kita perlu lahirin anak satu lagi, deh, Yah.” Ujar Bunda beralih pada Ayah yang sedang sibuk megunyah nasi gorengnya.

“Eum…” Ayah tamppak berpikir “Bisa dipertimbangkan. Anak cewek kayaknya lucu, biar Putri Mahkota ada temannya.” Lanjutnya kemudian diiringi senyum geli.

“No, big NO.” Protes Jingga heboh.

“Tuhan bilang, Dia udah menakdirkan aku jadi yang paling cantik di keluarga ini. Kalian nggak boleh punya rencana kayak gitu.” Jingga merengut lucu, membuat Ayah dan Bunda memandangnya dengan tatapan geli dan gemas sekaligus. Dan hal itu juga membuat Ayah dan Bunda tergelitik untuk menjahili Jingga dengan kata adik sehingga suasana sarapan pagi itu terdengar begitu heboh dengan teriakan kesal Jingga.

********

Langit duduk di pinggir lapangan tenis dengan kipas angina portable merah jambu yang dihadapkan ke lehernya sehingga dia mendapatkan sedikit kesejukan setelah lebih dari satu jam bergelut dengan raket dan bola tenis melawan Jingga yang seperti tidak ada lelahnya. Gadis itu bahkan sekarang masih bermain dengan Bima, si ketua klub tenis.

Jika diperhatikan, Jingga sudah seperti pemain tenis professional. Dia terlihat menguasai semua teknik dalam bermain tenis lapangan sehingga dia bisa memukul bola dengan baik dan mengalahkan lawannya dengan mudah. Tidak hanya itu, Jingga juga bisa membuat lawan mainnya kewalahan.

“Gue saranin, kalian ikut olimpiade buat ngewakilin klub kita, deh.” Ujar Bima seraya menyerahkan air mineral dingin pada Jingga yang kini ikut mendudukkan diri di samping Langit.

“Kalau mau, kami udah jadi perwakilan sekolah buat olimpiade dari dulu.” Sahut Jingga sebelum kemudian menenggak air mineralnya.

“Dari awal masuk ke sini, gue sama Jingga, kan, cuma mau seneng-seneng doang, Bang. Nggak seserius itu buat sampai ikutan olimpiade.” Jelas Langit mengingatkan.

Prestasi akademik yang didapatkan di sekolahnya saja sudah sangat merepotkan mereka, karena kecerdasan keduanya membuat pihak sekolah mengikutsertakan mereka dalam berbagai olimpiade mulai dari bidang sains, fisika, matematika, dan masih banyak lagi. Selain itu, mereka juga dituntut untuk menjadi tutor sebaya bagi teman-teman mereka yang memiliki kemampuan belajar rendah.

“Ya elah, udah dikasih kelebihan sama Tuhan, ehh nggak dipake. Pinter-pinter bego kalian emang.” Bima menggerutu kesal sambil melempar botol plastik bekas ke arah Jingga dan Langit. Sementara kedua remaja itu hanya terkekeh.

“Kalau gue dilahirin lagi, gue bakal milih jadi anak biasa dengan kemampuan rata-rata.” Gumam Langit sambil menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jingga tersenyum dan mengangguk kecil mendengarnya. Sementara Bima memasang wajah heran karena menurutnya Jingga dan Langit kurang mensyukuri anugerah yang sudah Tuhan berikan kepada mereka.

Namun, bukan seperti itu. Hanya saja, banyaknya keterampilan yang dimiliki keduanya membuat mereka tidak bisa hidup normal. Di sekolah, mereka terlalu dijunjung tinggi dan dielu-elukan, itu sangat tidak nyaman. Teman-teman di sekolah banyak yang mendekati mereka dengan berbagai tujuan, dan itu sangat tidak tulus.

Karena itu pula, Jingga dan Langit menutup diri untuk memiliki teman lain. Mereka boleh ramah, tapi tidak untuk dekat sebagai teman.

Sejak dulu, Jingga dan Langit hanya saling memiliki satu sama lain sebagai teman. Tidak ada teman lain. Ditambah kedekatan kedua orang tua mereka, serta Bintang yang akan segera menikah dengan Senja yang merupakan kakak perempuan Langit, membuat hubungan keduanya semakin erat layaknya saudara, dan mereka merasa tidak membutuhkan teman lain.

********

Waktu menunjukkan pukul 14. 30 WIB.

Terlihat aktivitas sekolah baru saja selesai sore hari itu. Semua murid berdesakkan keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang. Deru mesin kendaraan dan tingkah jahil khas anak SMA semakin menambah keramaian suasana sore itu.

Jingga berjalan ke belakang kelas menuju loker miliknya untuk menyimpan beberapa buku pelajaran yang dirasa cukup berat untuk dibawa pulang. Jingga membuka pintu loker lebar-lebar dan memasukkan bukunya. Namun saat dia hendak menutup pintu lokernya kembali, tiba-tiba sebuah foto polaroid melayang jatuh tepat di kakinya.

Jingga kemudian membungkukkan badannya dan mengambil foto polaroid tersebut. Keningnya berkerut kala melihat fotonya yang sedang duduk membaca buku di perpustakaan sekolah tadi siang saat waktu istirahat. Hal ini mengingatkannya pada foto yang dia dapatkan di hari ulang tahunnya beberapa hari yang lalu.

Jingga membalik foto tersebut, tidak ada sketsa gambar. Hanya sebuah tulisan. Pandangannya langsung menyorot tajam pada tulisan tersebut.

Taman belakang sekolah jam tiga sore

Let’s meet

Bi…

Jingga mengerjap, lalu membaca kembali tulisan yang seperti sebuah pesan itu. Keningnya merengut, heran saja masih ada orang memberi pesan melalui tulisan seperti ini.

“Who is Bi?” Jingga bertanya-tanya dalam hati akan orang sok misterius yang mengiriminya foto itu.

“Ji, ayo pulang.” Tepukan Langit di pundaknya yang tiba-tiba membuat Jingga sedikit berjengit kaget, tapi tidak membuatnya berbalik.

“Hey, lagi ngapain, sih?” Langit heran karena Jingga yang masih mematunng di depan loker memunggunginya. Jingga yang sadar lantas buru-buru menyembunyikan foto ke dalam saku baju seragamnya.

“Eung, kamu pulang duluan aja, Lang. Aku nanti bisa minta jemput sama Ayah.” Mendengar itu Langit langsung merengut bingung, tidak biasanya gadis itu menolak pulang bersama.

“Lho, kenapa?” Tanya Langit dengan sebelah alis terangkat.

“Aku mau ke perpus dulu. Kayaknya butuh buku buat tugas kimia Pak Koswara.” Jelas Jingga sedikit berbohong.

“Ya udah aku temenin.”

“Nggak usah!” Sahut Jingga dengan suara sedikit tinggi dan terlihat panik, membuat Langit memicingkan matanya keheranan.

“Soalnya aku sekalian mau ngajarin Laura. Tahu, kan, kalau nilainya Laura paling kecil?” Buru-buru Jingga menambahkan, dan masih berbohong tentunya. “Jadi bakalan lama kalau kamu nunggu aku.”

“Ohh.” Langit manggut-manggut tanpa curiga. “Yaudah, kalau gitu aku pulang duluan. Kamu jangan pulang terlalu sore nanti.” Pesan Langit sambil mengacak rambut Jingga. Cowok itu kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Jingga di kelas seorang diri yang masih penasaran tentang orang yang menyimpan foto di dalam lokernya.

********

Jingga berjalan sepanjang koridor sekolah menuju taman belakang. Suasana sekolah mulai sepi, hanya ada beberapa siswa yang melakukan kegiatan ekstakulikuler.

“Bi, ambil bolanya.” Teriakan siswa laki-laki terdengar oleh Jingga begitu dia melewati lapangan basket indoor. Terlihat bola basket terlempar ke luar dari area lapangan.

“Oke.”

“Bi?” Gumam Jingga dalam hati, atensinya dengan cepat teralihkan pada seorang siswa laki-laki yang berlari mengejar bola basket.

“Obi?” Gumam Jingga sedikit terkejut menegtahui siswa yang mengejar bola itu Obi, cowok manis berkacamata dari kelas sebelah yang pernah Jingga ajari matematika.

“Hai, Ji.” Dan ternyata Obi mendengar gumaman Jingga. Cowok itu tersenyum ramah.

“Hai.” Jingga nyengir kaku. Jingga bertanya-tanya dalam hati, apa benar Obi yang mengirimnya foto? Tapi kenapa? Obi bisa langsung mengirimnya pesan karena mereka sudah bertukar nomor.

“Belum pulang?” Tanya cowok manis itu.

Jingga menggeleng sebelum kemudian berujar. “Bentar lagi.” Gadis itu kembali tersenyum dipaksakan. “Aku duluan, Bi.” Lalu beranjak dari hadapan Obi yang memandanginya hingga punggung Jingga tak terlihat.

********

To be continued. . . .

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!