********
Jingga duduk di kursi taman belakang sekolah di bawah naungan pohon Tabebuya yang melindunginya dari pancaran cahaya matahari sore yang masih cukup menyengat.
Dia termenung, bertanya-tanya apa benar Obi yang sudah iseng mengirimnya foto? Jingga menggeleng. Itu tidak mungkin, karena jika dilihat dari wajah polosnya. Obi tidak mungkin seiseng itu. Tadi pun saat bertemu, cowok itu memasang ekspresi biasa saja.
Tapi jika itu memang Obi, tidak masalah. Toh, Jingga hanya ingin tahu dan bertanya siapa yang mengirim dan kenapa dia iseng memotretnya tanpa izin. Itu benar-benar tidak nyaman karena itu berarti ada seseorang selalu mengikuti atau bahkan menguntitnya.
“Huuft….” Menghembuskan napasnya kasar, Jingga lalu mengangkat dan melihat jam bertali kulit warna kuning yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat tepat.
Kepalanya lantas celingukkan, pandangannya menyisir taman belakang sekolah yang cukup luas itu. Terlihat beberapa siswa masih berlalu lalang di sekitar sana.
Jingga bingung, sebenarnya siapa yang sedang dia cari? Sudah 30 menit berlalu, tapi tidak ada siapapun yang menghampirinya sejak awal dia datang ke sana. Tapi meski demikian, Jingga memutuskan untuk menunggu sebentar lagi.
Untuk menepis kejenuhan, Jingga mengambil ponsel dan earphone dari dalam tasnya yang sejurus kemudian lagu Payphone dari Maroon 5 ft Wiz Khalifa mengalun indah di telinganya.
Lagu yang Jingga dengar seolah menjadi pengantar tidur untuknya. Dia kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu matanya mulai memberat dan perlahan terrpejam.
Entah setengah sadar atau sedang bermimpi, tiba-tiba Jingga melihat ada sosok jangkung yang berjalan ke arahnya. Aroma maskulin khas laki-laki langsung menyeruak masuk ke indra penciumannya begitu sosok tersebut ada di hadapan dan duduk tepat di sebelahnya. Sosok itu semakin dekat, hingga Jingga bisa merasakan deru napas orang itu menyapu separuh wajahnya.
Sejurus kemudian, benda lembut dan lembab dia rasakan menyapa bibir merah jambunya, membenamkannya cukup lama, dan menyentuhnya dengan lembut.
“What is this? Is this a dream or what?” Gumam Jingga dalam hati, dia ingin bangun tapi tubuhnya seolah melumpuh.
“This is my first kiss. Stop, please.” Jingga berusaha membuka matanya yang terasa dilem, ingin segera sadar dari mimpi yang cukup indah dan aneh ini.
“Eungh. . . .” Lenguh Jingga bangun dari tidurnya dengan napas sedikit memburu. Matanya mengerjap bingung, pun dengan raut wajahnya yang linglung.
“Cuma mimpi, ya?” Gumam Jingga dalam hati sambil menyentuh bibir bawahnya yang sedikit basah. Gadis itu mengira jika dia sudah ngiler saat tidur, buru-buru dia mengelap bibirnya dengan punggung tangan.
Detik berikutnya, rona merah menghiasi wajah cantiknya. Sadar bahwa dia sudah bermimpi mesum. Padahal, menyukai lawan jenis saja dia tidak pernah.
“Ehem.” Dehem Jingga untuk menenangkan dirinya. Ahh, dia tiba-tiba malu sendiri.
Sejenak dia kembali menyusuri keadaan sekitar yang semakin sepi dan tidak ada tanda-tanda orang yang ditunggunya akan datang. Gadis itu dibuat terkejut saat mengetahui jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, ternyata dia tertidur cukup lama.
Lalu, bola matanya yang jernih kembali menggerayangi sekitar, tampak langit sore sudah mulai gelap.
Mendadak tengkuk Jingga meremang kala menyadari suasana sekolah yang sangat sepi. Sepertinya semua penghuni sekolah juga sudah pulang.
“Duhh, kok sekolah jadi serem gini ya kalau sepi?Mana duduk di bawah pohon lagi aku.” Jingga kembali bergumam dalam hati sambil mengusap tengkuknya, matanya melirik ke atas pohon. Imajinasinya otomatis melayang membayangkan segala hal yang menyeramkan.
Jingga buru-buru menepis imajinasi liarnya, lalu menggelengkan kepala. Kemudian dengan cepat mencabut earphone dan memasukkan kembali ke dalam tas beserta ponselnya. Dia lalu beranjak dan mengambil langkah besar untuk keluar dari gedung sekolah.
Namun baru saja beberapa langkah berjalan, Jingga malah terjatuh karena tersandung tali sepatunya yang lepas.
“Hiish, sial.” Umpat Jingga dalam hati. Kenapa dia harus jatuh di saat seperti ini? Di saat dia merasa ketakutan seolah sedang dikejar hantu.
Jingga dibuat terkejut bukan main saat sebuah tangan tiba-tiba menyentuh pundaknya. Tubuh Jingga seketika melemas dan bergetar takut, rasanya dia tidak sanggup untuk bangkit apalagi menoleh ke belakang untuk melihat sosok yang tangannya bertengger di pundaknya.
“To-tolong jangan ganggu aku.” Ucap Jingga terbata. Wajahnya memucat seolah darah berhenti mengalir di tubuhnya, pun dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipisnya.
“Yaa?”
Bola mata Jingga melebar mendengar suara sahutan.
“Duhh, nih hantu malah nyahut lagi.” Gerutu Jingga, masih di dalam hati. Dia kemudian memberanikan diri untuk menoleh, dan dengan tangan gemetar, Jingga berusaha menepis tangan yang masih bertengger di pundaknya.
“Hantu, pergi sana!” Teriak Jingga, tapi dia tidak berani menatap sosok itu secara langsung begitu menoleh. Kepalanya malah tertunduk.
Melihat reaksi Jingga, sosok itu tersenyum geli.
“Kalau hantunya seganteng ini, manusia bisa iri, ayo.”
Dan sosok yang Jingga kira hantu itu kini meraih lengan dan membantunya untuk berdiri.
Jingga tercengang, lalu mengangkat kepalanya dan menatap sosok di hadapannya itu dengan wajah bingung, seperti tidak asing.
Siswa laki-laki dengan tinggi semampai bak seorang model, garis rahang yang tegas membingkai wajahnya yang tampan, hidung mancung, alis tebal, dan bola mata gelap memancarkan binarnya, membuat siapa saja akan merasa tenang dan betah untuk berlama-lama menatapnya. Tidak ketinggalan bibir kemerahan yang tidak terlalu tebal ikut menyempurnakan pahatan indah wajahnya. Satu kata untuk sosok ini, tampan.
Cowok tampan itu tersenyum simpul melihat Jingga yang memandangnya dengan tatapan polos, sesekali gadis itu mengerjap lugu.
“Hei, kamu nggak apa-apa, kan?” Tanya cowok itu dengan suara lembut, selembut hembusan angin sore yang meniup dedaunan di taman belakang sekolah saat itu.
Jingga tersadar, namun bibirnya kelu terasa kelu hingga tak mampu membuka suaranya.
Merasa tidak mendapat respon, cowok itupun lantas melambaikan tangannya di hadapan wajah cantik Jingga, membuat gadis itu sontak terkejut, kemudian mengangguk lemah.
“Ehh.” Jingga kembali dibuat terkejut saat melihat cowok itu membungkuk untuk memperbaiki ikatan tali sepatunya yang lepas. Tangan Jingga otomatis memegang erat bagian depan rok sekolahnya yang tertiup angin. Dia merasa aneh dengan posisi mereka saat ini.
“Lain kali, pastikan tali sepatu kamu terikat dengan baik.” Ucap cowok itu tersenyum manis setelah selesai mengikat tali sepatu Jingga.
“Ayo keluar dari sini.” Ajak cowok itu seraya mengulurkan tangannya. Tapi Jingga masih bungkam dalam kebingungannya. Sepertinya gadis itu belum sepenuhnya sadar.
Cowok itu kembali mengulas senyum geli melihat Jingga.
“Kalau kelamaan di sini, hantunya nanti bener-bener datang, lho.” Cowok itu berbisik, membuat Jingga mengernyit geli saat bibir cowok itu menyentuh telinganya.
“Ehh.” Karena tak kunjung mendapat respon, cowok itu kemudian menarik pergelangan tangan Jingga tanpa persetujuan dan menuntunnya untuk keluar dari bangunan luas yang mampu menampung ribuan siswa itu.
Benar saja, gedung sekolah sudah kosong, tidak ada tanda-tanda kehhidupan di sana. Tapi beruntung penjaga sekolah selalu siaga 24 jam.
“Bapak kira semua orang sudah pulang.” Ucap lelaki paruh baya dengan wajah garang bernama Pak Gareng yang merupakan penjaga sekolah itu.
Pak Gareng lantas membuka gerbang sekolah untuk Jingga dan cowok itu. Raut wajah curiga pun terlukis di wajahnya.
Namun baik Jingga maupun si cowok, tidak ada yang berniat ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi, tidak peduli Pak Gareng memikirkan hal aneh pada mereka. Keduanya hanya sama-sama ingin segera pulang.
“Makasih, Pak.” Ucap Jingga setelah pintu gerbang terbuka.
“Duluan, ya.” Pamit Jingga pada cowok itu sambil tersenyum kaku, kemudian berlalu dari sana.
Cowok itu membalas senyum Jingga, dan detik berikutnya dia ikut beranjak, berjalan menuju parkiran untuk mengambil mobilnya.
********
Jingga duduk di halte bus sekolah. Gadis itu tenggelam dalam lamunannya sambil menggenggam ponsel setelah beberapa detik lalu menghubungi Ayah untuk menjemputnya.
“Gara-gara orang gak jelas, nih. Aku jadi pulang kesorean gini.” Umpat Jingga dalam hati, menyalahkan si pengirim foto anonym yang mengajaknya bertemu. Dia jadi mengira jika seseorang sedang sengaja mengerjainya.
Tak lama, Honda Jazz berwarna putih berhenti tepat di hadapannya. Jingga terheran-heran, keningnya mengernyit karena mobil Ayah bukan seperti ini.
Pintu mobil lalu terbuka, dan keluarlah cowok tampan yang tadi bersama Jingga menghampirinya.
“Ayo, aku anterin kamu pulang.” Ajak cowok itu yang kini sudah berdiri di hadapan Jingga.
Jingga tertegun. Aneh sekali cowok ini, baru pertama kali bertemu sudah memberi tawaran untuk mengantarnya pulang. Jingga bukannya berpikiran buruk, cowok itu bahkan terlihat seperti anak baik-baik. Hanya saja, sebagai seorang perempuan dia harus berhati-hati.
“Maaf, tapi aku nggak bisa pulang bareng orang asing.” Ucap Jingga polos. Cowok itu tersenyum gemas mendengarnya.
“Oke. Kalau gitu ayo kenalan. Aku Biru. What’s your name?” Tanya cowok bernama Biru itu seraya mengulurkan tangannya.
Jingga memandang ragu uluran tangan Biru sebelum akhirnya menerima untuk meraih uluran tangan tersebut. “Jingga. . . .”
********
To be continued. . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
nah kan, penguntit itu jelas Biru😍😍😍
2021-02-19
0
🌹Dina Yomaliana🌹
kayaknya ngak mimpi deh itu si Jingga di cium cowok😄😄😄😄
2021-02-19
0
Bibit Iriati
bi itu biru namanya
2021-02-08
0