********
Jingga menuruni tangga dengan langkah bersemangat menuju lantai bawah, kakinya lantas melangkah ke ruang makan di mana kedua orang tuanya sudah menunggu untuk sarapan bersama.
“Pagi-pagi begini udah rapi, mau kemana, nih Putri Mahkota?” Sambut Ayah begitu Jingga sampai di sana dan langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan.
Pagi itu Jingga tampil sporty dengan pakaian tenis lapangan. Dia mengenakan kaus jersey warna putih dengan aksen biru yang dipadukan dengan rok pendek biru muda, sehingga memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Selain wajahnya yang cantik, Jingga diberkahi dengan tinggi badan dan bentuk tubuh ideal, sehingga apapun yang dikenakannya akan selalu terlihat cocok untuknya. Bahkan teman-teman satu kelasnya mengatakan jika Jingga adalah ciptaan Tuhan yang terlalu sempurna karena dia juga dilengkapi dengan otak yang cerdas serta kemampuan psikomotor yang membuatnya hampir menguasai berbagai bidang olahraga.
“Klub tenis, masa ngemall ke sekolah pake baju kayak gini. Lagian ini, kan, Minggu.” Jawab Jingga seraya membalik piring di hadapannya untuk diisi makanan.
“Lho, kan kamu udah janji mau nemenin Bunda belanja bulanan.” Bunda tampak tak setuju, membuat Jingga yang sedang mencentong nasi goreng menghentikan gerakkan tangannya.
“Bukannya Bunda bilang minggu depan?” Tanya Jingga dengan kening berkerut.
“Ya Bunda majuin waktunya. Persediaan makanan kita udah mau habis soalnya.” Jawab Bunda santai.
“Lho, kok gitu?” Protes Jingga.
“Ya suka-suka Bunda, doong.” Bunda kembali menanggapinya dengan santai, membuat Jingga mengerucutkan bibirnya lucu.
“Ihh, enggak, ahh. Sama kak Bintang aja. Aku, kan, udah ada rencana hari ini, Bun.” Ucap Jingga penuh penolakan seraya melirik sang kakak yang baru saja tiba.
“No, aku juga udah punya rencana hari ini.” Sahut anak laki-laki dengan wajah bantal, namun tidak mengurangi ketampanannya. Dia lantas bergabung di meja makan, Bintang.
Bintang Bimasena William, kakak laki-laki pertama Jingga yang terpaut usia enam tahun dengannya. Wajah Bintang sangat mirip dengan Jingga, sehingga jika dia mengenakan pakaian perempuan, orang lain akan mengira itu adalah Jingga, pun sebaliknya.
“Ya ampuuun, Bunda punya anak tiga, tapi nggak ada satu pun yang berguna.” Bunda mendesah kesal.
“Ya udah, sih. Hitung-hitung hiasan rumah aja, Bun.” Celetuk Jingga asal, membuat Ayah yang mendengarnya geleng-geleng kepala. Ada-ada saja jawaban anak gadisnya itu.
“Oke. Dua anak di sini cuma bisa jadi hiasan rumah, dan satunya lagi di luar sana. . . .” Bunda mengambil napas sejenak untuk kemudian melanjutkan kalimatnya. “Bunda yakin dia udah nggak tahu jalan pulang.” Lanjutnya, mengingat Sagara William putra keduanya yang sedang menempuh pendidikan di London, Inggris, yang sangat menyukai travelling menjelajahi berbagai Negara. Hobinya itu membuat Sagara jarang sekali pulang walaupun sedang libur semester.
“Kayaknya kita perlu lahirin anak satu lagi, deh, Yah.” Ujar Bunda beralih pada Ayah yang sedang sibuk megunyah nasi gorengnya.
“Eum…” Ayah tamppak berpikir “Bisa dipertimbangkan. Anak cewek kayaknya lucu, biar Putri Mahkota ada temannya.” Lanjutnya kemudian diiringi senyum geli.
“No, big NO.” Protes Jingga heboh.
“Tuhan bilang, Dia udah menakdirkan aku jadi yang paling cantik di keluarga ini. Kalian nggak boleh punya rencana kayak gitu.” Jingga merengut lucu, membuat Ayah dan Bunda memandangnya dengan tatapan geli dan gemas sekaligus. Dan hal itu juga membuat Ayah dan Bunda tergelitik untuk menjahili Jingga dengan kata adik sehingga suasana sarapan pagi itu terdengar begitu heboh dengan teriakan kesal Jingga.
********
Langit duduk di pinggir lapangan tenis dengan kipas angina portable merah jambu yang dihadapkan ke lehernya sehingga dia mendapatkan sedikit kesejukan setelah lebih dari satu jam bergelut dengan raket dan bola tenis melawan Jingga yang seperti tidak ada lelahnya. Gadis itu bahkan sekarang masih bermain dengan Bima, si ketua klub tenis.
Jika diperhatikan, Jingga sudah seperti pemain tenis professional. Dia terlihat menguasai semua teknik dalam bermain tenis lapangan sehingga dia bisa memukul bola dengan baik dan mengalahkan lawannya dengan mudah. Tidak hanya itu, Jingga juga bisa membuat lawan mainnya kewalahan.
“Gue saranin, kalian ikut olimpiade buat ngewakilin klub kita, deh.” Ujar Bima seraya menyerahkan air mineral dingin pada Jingga yang kini ikut mendudukkan diri di samping Langit.
“Kalau mau, kami udah jadi perwakilan sekolah buat olimpiade dari dulu.” Sahut Jingga sebelum kemudian menenggak air mineralnya.
“Dari awal masuk ke sini, gue sama Jingga, kan, cuma mau seneng-seneng doang, Bang. Nggak seserius itu buat sampai ikutan olimpiade.” Jelas Langit mengingatkan.
Prestasi akademik yang didapatkan di sekolahnya saja sudah sangat merepotkan mereka, karena kecerdasan keduanya membuat pihak sekolah mengikutsertakan mereka dalam berbagai olimpiade mulai dari bidang sains, fisika, matematika, dan masih banyak lagi. Selain itu, mereka juga dituntut untuk menjadi tutor sebaya bagi teman-teman mereka yang memiliki kemampuan belajar rendah.
“Ya elah, udah dikasih kelebihan sama Tuhan, ehh nggak dipake. Pinter-pinter bego kalian emang.” Bima menggerutu kesal sambil melempar botol plastik bekas ke arah Jingga dan Langit. Sementara kedua remaja itu hanya terkekeh.
“Kalau gue dilahirin lagi, gue bakal milih jadi anak biasa dengan kemampuan rata-rata.” Gumam Langit sambil menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jingga tersenyum dan mengangguk kecil mendengarnya. Sementara Bima memasang wajah heran karena menurutnya Jingga dan Langit kurang mensyukuri anugerah yang sudah Tuhan berikan kepada mereka.
Namun, bukan seperti itu. Hanya saja, banyaknya keterampilan yang dimiliki keduanya membuat mereka tidak bisa hidup normal. Di sekolah, mereka terlalu dijunjung tinggi dan dielu-elukan, itu sangat tidak nyaman. Teman-teman di sekolah banyak yang mendekati mereka dengan berbagai tujuan, dan itu sangat tidak tulus.
Karena itu pula, Jingga dan Langit menutup diri untuk memiliki teman lain. Mereka boleh ramah, tapi tidak untuk dekat sebagai teman.
Sejak dulu, Jingga dan Langit hanya saling memiliki satu sama lain sebagai teman. Tidak ada teman lain. Ditambah kedekatan kedua orang tua mereka, serta Bintang yang akan segera menikah dengan Senja yang merupakan kakak perempuan Langit, membuat hubungan keduanya semakin erat layaknya saudara, dan mereka merasa tidak membutuhkan teman lain.
********
Waktu menunjukkan pukul 14. 30 WIB.
Terlihat aktivitas sekolah baru saja selesai sore hari itu. Semua murid berdesakkan keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang. Deru mesin kendaraan dan tingkah jahil khas anak SMA semakin menambah keramaian suasana sore itu.
Jingga berjalan ke belakang kelas menuju loker miliknya untuk menyimpan beberapa buku pelajaran yang dirasa cukup berat untuk dibawa pulang. Jingga membuka pintu loker lebar-lebar dan memasukkan bukunya. Namun saat dia hendak menutup pintu lokernya kembali, tiba-tiba sebuah foto polaroid melayang jatuh tepat di kakinya.
Jingga kemudian membungkukkan badannya dan mengambil foto polaroid tersebut. Keningnya berkerut kala melihat fotonya yang sedang duduk membaca buku di perpustakaan sekolah tadi siang saat waktu istirahat. Hal ini mengingatkannya pada foto yang dia dapatkan di hari ulang tahunnya beberapa hari yang lalu.
Jingga membalik foto tersebut, tidak ada sketsa gambar. Hanya sebuah tulisan. Pandangannya langsung menyorot tajam pada tulisan tersebut.
Taman belakang sekolah jam tiga sore
Let’s meet
Bi…
Jingga mengerjap, lalu membaca kembali tulisan yang seperti sebuah pesan itu. Keningnya merengut, heran saja masih ada orang memberi pesan melalui tulisan seperti ini.
“Who is Bi?” Jingga bertanya-tanya dalam hati akan orang sok misterius yang mengiriminya foto itu.
“Ji, ayo pulang.” Tepukan Langit di pundaknya yang tiba-tiba membuat Jingga sedikit berjengit kaget, tapi tidak membuatnya berbalik.
“Hey, lagi ngapain, sih?” Langit heran karena Jingga yang masih mematunng di depan loker memunggunginya. Jingga yang sadar lantas buru-buru menyembunyikan foto ke dalam saku baju seragamnya.
“Eung, kamu pulang duluan aja, Lang. Aku nanti bisa minta jemput sama Ayah.” Mendengar itu Langit langsung merengut bingung, tidak biasanya gadis itu menolak pulang bersama.
“Lho, kenapa?” Tanya Langit dengan sebelah alis terangkat.
“Aku mau ke perpus dulu. Kayaknya butuh buku buat tugas kimia Pak Koswara.” Jelas Jingga sedikit berbohong.
“Ya udah aku temenin.”
“Nggak usah!” Sahut Jingga dengan suara sedikit tinggi dan terlihat panik, membuat Langit memicingkan matanya keheranan.
“Soalnya aku sekalian mau ngajarin Laura. Tahu, kan, kalau nilainya Laura paling kecil?” Buru-buru Jingga menambahkan, dan masih berbohong tentunya. “Jadi bakalan lama kalau kamu nunggu aku.”
“Ohh.” Langit manggut-manggut tanpa curiga. “Yaudah, kalau gitu aku pulang duluan. Kamu jangan pulang terlalu sore nanti.” Pesan Langit sambil mengacak rambut Jingga. Cowok itu kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Jingga di kelas seorang diri yang masih penasaran tentang orang yang menyimpan foto di dalam lokernya.
********
Jingga berjalan sepanjang koridor sekolah menuju taman belakang. Suasana sekolah mulai sepi, hanya ada beberapa siswa yang melakukan kegiatan ekstakulikuler.
“Bi, ambil bolanya.” Teriakan siswa laki-laki terdengar oleh Jingga begitu dia melewati lapangan basket indoor. Terlihat bola basket terlempar ke luar dari area lapangan.
“Oke.”
“Bi?” Gumam Jingga dalam hati, atensinya dengan cepat teralihkan pada seorang siswa laki-laki yang berlari mengejar bola basket.
“Obi?” Gumam Jingga sedikit terkejut menegtahui siswa yang mengejar bola itu Obi, cowok manis berkacamata dari kelas sebelah yang pernah Jingga ajari matematika.
“Hai, Ji.” Dan ternyata Obi mendengar gumaman Jingga. Cowok itu tersenyum ramah.
“Hai.” Jingga nyengir kaku. Jingga bertanya-tanya dalam hati, apa benar Obi yang mengirimnya foto? Tapi kenapa? Obi bisa langsung mengirimnya pesan karena mereka sudah bertukar nomor.
“Belum pulang?” Tanya cowok manis itu.
Jingga menggeleng sebelum kemudian berujar. “Bentar lagi.” Gadis itu kembali tersenyum dipaksakan. “Aku duluan, Bi.” Lalu beranjak dari hadapan Obi yang memandanginya hingga punggung Jingga tak terlihat.
********
To be continued. . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
alina
aku mampir
2021-05-19
0
🌹Dina Yomaliana🌹
nama para tokohnya keren keren😍😍😍 Jingga, Langit, Bintang, Saga, Senja dan Biru👍👍👍👍 mantap kak, lanjut terus
2021-02-19
0
🌹Dina Yomaliana🌹
Wah ternyata Jingga sama kayak Dhina ya😍😍😍 sama-sama anak bungsu dan punya kakak laki-laki banyak🤭🤭🤭
2021-02-19
0